Unfriended in Japan

Yohana Ekky Tan
Chapter #14

Yang Terikat

[2024, Mei 20]

Disneysea menjadi penutup yang manis liburan dua minggu mereka di Jepang lima hari lalu. Alangkah bahagianya Christine bisa terlepas dari virus bernama Patricia itu sejak pulang ke Indonesia. Kini ia kembali menjalani kehidupannya yang baik seperti biasanya.

Nahasnya, hal itu tidak berlaku pada Jane yang masih harus berkutat dengan kepelikan yang sama. Bak kontrak pekerjaan sebagai rentenir belum genap, ia masih perlu bertahan. Ia sudah berjanji pada Bobby untuk tidak lepas tangan.

Senin pagi itu Jane memiliki janji temu dengan dokter onkologi yang setiap bulan ditemuinya. Ia harus melakukan pemeriksaan rutin dan mendapatkan obat untuk sebulan ke depan. Pukul setengah sepuluh ia sudah menanti di ruang tunggu rumah sakit.

Di tengah puluhan pasien berbagai usia dan latar belakang, Jane membunuh waktu dengan menulis pengalamannya di Jepang yang sudah diniati untuk dijadikan sebuah novel. Tersumpal di telinganya ear pieces yang memperdengarkan lagu-lagu manis yang mudah didengar.

Pikirannya yang terfokus pada karya yang setengah jadi itu tiba-tiba teralihkan ketika ada sebuah pesan WhatsApp dari sebuah nomor familiar. Ia memang belum menyimpannya, tetapi ia tahu milik siapa itu melalui foto profilnya.

'Tuhan... Mamanya Kak Bobby mau bilang apa lagi ya?' Hatinya terasa sesak mengingat pesan beliau yang dikirimkan tepat setelah ia mendarat di Surabaya pada Jumat lalu.

<>

[+628*******] Jane, kamu pernah ngomong ke aku kalau kamu bakalan tanggung jawab tentang uangnya Bobby. Mana? Aku tagih nih. Kok sekarang pada akhirnya uangmu sendiri yang kamu selamatkan? Mana tanggung jawabmu?

<>

Tulisan itu masih tersemat di obrolannya dengan ibu Bobby, ketika Jane membukanya kembali. Nyeri di dadanya muncul lagi. Ingin rasanya ia menyampaikan semua hal yang terjadi serta alasan mengapa ia tidak bisa mendapatkan uang Bobby sekaligus. Tetapi, ia memilih untuk diam lebih dulu dan memikirkan bagaimana cara yang baik dan tidak menyakiti untuk merespons.

Belum sempat dibalas, pesan baru itu didapati berbentuk foto yang dikirimkan tanpa embel-embel teks. Saat ditekan, sebuah kata mutiara terpampang: 'Roda kehidupan itu berputar, hukum tabur tua itu nyata. Jika engkau memainkan sebuah drama untuk menyakiti orang lain, maka ... engkau harus siap menjadi pemeran utama untuk sebuah KARMA.'

Jika tidak sedang berada di ruang publik, Jane akan jatuh tersungkur dan menangis. Ia tidak tahan terkena imbas dari perbuatan jahat Patricia. 'Tuhan, tolong aku. Aku udah nggak kuat. Aku ngerti tante kecewa dan marah. Itu wajar banget. Aku pun sama sekali nggak akan nyalahin. Sekuat yang aku bisa, aku akan berusaha terus pantau. Tapi Tuhan, tolong aku saat ini. Aku beneran nggak kuat rasanya,' batinnya sambil menyentuh dada.

Untuk beberapa waktu lamanya, Jane menarik dan membuang napas dalam-dalam demi menenangkan diri. Beruntung rumah sakit memasang peraturan untuk menggunakan masker sehingga ia bisa menyembunyikan ekspresi sedihnya. Entah berapa lama kemudian, ia menjadi sedikit lebih tenang.

Dibukanya kembali gawainya untuk menulis sebuah balasan yang dikonsepkannya lebih dulu di aplikasi Catatan. Sebagai seorang penulis, Jane tahu betul bagaimana merangkai kata-kata yang baik dan sopan, tapi tetap jelas mengutarakan maksudnya.

Pada awalnya, Jane ingin menyampaikan semuanya pada ibu Bobby secara langsung. Namun, ia merasa bahwa itu bukan ide yang baik mengingat kesehatan wanita lanjut usia tersebut. Dengan segala pertimbangan di kepalanya, ia memilih untuk mengirimkannya pada adik Bobby. Meskipun masih muda, gadis itu bisa jauh lebih mengerti keadaannya.

<>

[Jane] Hai, Angel. Aku nggak berani kirim pesan ini ke mamamu, karena aku nggak mau sampai membuat mamamu syok dan sakit. Jadi, kamu yang tolong filter, sampaikan ini ke mamamu. Pesan terakhir yang mamamu kirim sangat menyakitkan aku, terlebih setelah semua yang kulewati di Jepang dan kulakukan dengan susah payah.

'Halo, Tante. Maaf saya belum balas karena saya belum tenang, bahkan sebenarnya sampai sekarang. Selama ada di Jepang, saya dan Christine ditelantarkan Patricia, bahkan tidak ditemui dari awal. Kami berdua tidak bisa mengandalkan siapapun kecuali Tuhan.

Sampai akhirnya kami mengeluarkan semua uang yang kami punya (dan rekening saya sampai tinggal 34rb rupiah saja), untuk mendatangi Patricia sendiri. Tapi di sana kami seperti disekap 2 hari di rumahnya, dan tidak diurus sama sekali. Makan pun kesulitan karena jauh dari mana-mana. Karena itulah saya tidak bisa dapatkan KTP atau dokumen pribadi dia untuk bukti.

Karena takut, akhirnya kami melarikan diri ke polisi. Situasi hujan, barang banyak, hanya untuk menerima kabar bahwa polisi setempat tidak bisa membantu mendapatkan uang kami kembali. Patricia juga tidak bisa dihukum karena transfer terjadi saat di Indonesia.

Lihat selengkapnya