[2024, Oktober 12]
Restoran di mana mereka makan siang adalah berdasarkan rekomendasi dari Jane. Menu masakan ala Sunda yang cukup terkenal di kota ini membuat kedua pria Jepang itu merasa puas.
"Gochisou sama deshita. Osusume itadaki arigatou gozaimasu, Jane-san[1]." Yuki menyatakan rasa terima kasihnya diiringi dengan acungan jempol.
Dengan pengetahuan minimnya akan bahasa Jepang, Jane menyahut dengan senyuman lebar, "Hai. Douitashimashite[2]."
"Kamu mengerti dia bicara apa?" Ryu tampak terkejut karena ia belum sempat menerjemahkan tapi Jane bisa menanggapi ucapan rekan kerjanya.
Jane mengangkat bahunya. "Yah, hanya sedikit. Kebetulan apa yang pak Takahashi bilang, saya tahu maksudnya," ujarnya.
"Jane-san, nihongo o hanasemasu ka?[3]" Yuki ikut merasa penasaran apakah wanita itu bisa berbahasa Jepang, tak sengaja bisa menyambung pertanyaan Ryu.
"Iie, hanasemasen. Chotto dake.[4]" Jane menunjukkan gestur sedikit dengan telunjuk dan ibu jarinya.
Yuki menggerak-gerakkan kedua tangannya. "No, no. Your Japanese is good[5]," katanya memuji sang lawan bicara.
"Ya, kamu hebat, Jane. Saya tahu kamu bisa bahasa Inggris dengan sangat baik. Lalu bahasa Jepang. Kamu berbicara bahasa lainnya juga?"
Deretan gigi rapi Jane terpampang saat ia tersenyum. "Sedikit Spanyol, Korea dan Mandarin?" Ia merasa sedikit seperti menyombongkan diri setelah mengatakannya.
Meskipun Yuki tidak seratus persen tahu setiap kata yang Jane ucapkan, ia kompak memuji kemampuan bahasa Jane dengan Ryu.
Jane terkekeh malu. "Tapi kamu juga hebat, Ryu. Bahasa Indonesiamu bagus loh. Bahkan ada kemajuan kalau dibandingkan sejak awal kita bertemu," celetuknya kagum. "He speaks good Indonesian[6]." Ia berpaling pada Yuki juga agar tidak lantas terkesan dikecualikan dalam obrolan itu.
Tawa terlepas dari mulut Ryu. "Saya belajar cukup banyak dari obrolan kita. Itu memotivasi saya untuk mendalami lagi lewat beberapa sumber lain. Mungkin sedikit-sedikit bahasa lisan memang perlu. Kamu bisa mengajari saya mungkin?" ujarnya.
"Oh, saya pasti merasa terhormat." Jane menyentuh dadanya, membuat Ryu terkekeh. "Tapi pertanyaan saya, dulu kamu pernah tinggal di Indonesia untuk belajar bahasa ini atau bagaimana?"
Ryu mengiyakan dengan anggukan. "Saya pernah di Bandung enam bulan, lalu di Jakarta enam bulan," jawabnya.
"Wow, keren. Pantas aja bahasa Indonesiamu bagus banget ya," puji Jane.
"Enggak, enggak. Saya tahu kalau saya masih kurang banyak kosakata. Kamu masih ingat, Pak Shimizu, polisi lainnya yang waktu itu? Dia bicara banyak sekali dan saya akhirnya enggak bisa terjemahin semuanya. Mungkin kamu sadar," Ryu mengingatkan kejadian tersebut.
Jane mengangguk dengan geli karena pada saat itu ia memang berharap bisa mendapatkan terjemahan yang baik. "Tapi ya, saya juga pernah jadi penerjemah Bahasa Inggris ke Indonesia. Ada masa di mana kita nggak bisa terjemahin kok. Itu normal," katanya.
"Kamu positif sekali ya. Makasih," ujar Ryu geli. Ia menyampaikan perihal tersebut pada rekannya yang kemudian tertawa.
"Saya penasaran, Ryu. Biasanya saya tanyakan ini ke orang-orang asing yang pernah tinggal di Indonesia. Apa makanan favorit kamu di Indonesia?" Jane membuka topik yang baru.
Ryu menaikkan alisnya. "Hm, apa namanya itu di Bahasa Indonesia? Belit?" Ia mencoba mencari kata yang benar di kepalanya tapi meleset.
Sebetulnya kesalahan itu menggelikan dan hampir membuat Jane tertawa. Tetapi sebagai seorang tutor Bahasa Indonesia, ia sudah terbiasa sehingga bisa menahan diri. "Oh ya, belut," koreksinya. "Unagi ya?"
"Ah ya, belut." Ryu merasa geli akan kesalahannya sendiri. "Apa ada kata 'belit' di Indonesia? Saya enggak bikin kesalahan yang fatal, kan? Soalnya dulu saya pernah bilang, 'kelapa saya pusing, tapi yang saya maksud adalah 'kepala'. Itu memalukan ya."
Demi mendengar itu, Jane melepaskan tawa tanpa menahan-nahan. "Duh, maaf. Sekarang saya yang memalukan," ujarnya sedikit malu. Meskipun tergolong introvert, tawanya cukup khas dan selalu lepas.
"Enggak masalah ya. Justru saya ikut senang karena kamu kelihatan sudah jauh lebih baik. Soalnya saya cukup sedih waktu lihat kamu menangis di depan apartemen Patricia waktu itu." Pengakuan Ryu mengejutkan sang pendengar.
Jane tertegun sejenak. Ia hampir kehilangan kata-kata untuk membalas ucapan pria itu. "Itu kan udah beberapa bulan lalu. Kamu masih ingat?"
Dengan bahu terangkat, Ryu menyahut, "Rasanya seperti kemarin. Mungkin karena ingatan saya tajam?"
Ucapan itu memberikan kesan mendalam pada Jane. "Makasih ya," katanya dengan helaan napas yang cukup panjang. "Well, saya harap kali ini ada titik terang dalam kasus ini."
Ryu mengangguk setuju. "Oh, maaf. Permisi ya. Saya mau ke toilet sebelum kita pergi," katanya.
Mendengar kata sakral itu, Yuki turut bangkit dan agaknya juga ingin menuju ke tempat yang sama.