[2024, Oktober 14]
Seusai menyelesaikan semua kelasnya hari itu, kira-kira lewat pukul tiga sore, Jane meninggalkan rumah. Ryu datang menjemputnya sendirian kali ini, sementara Yuki tetap di apartemen karena menghadiri sebuah pertemuan daring dengan tim kepolisian Jepang.
Agenda hari itu adalah untuk bertemu dengan Rina kembali untuk menyusun strategi. Rencananya kepala pengurus panti jompo ini akan didapuk untuk mengawasi gerak-gerik Patricia selama bekerja di sana. Mereka bertemu di sebuah kafe yang tidak jauh dari panti demi efisiensi.
"Hai, Bu Rina. Selamat sore. Apa kabar?" Jane menjabat tangan wanita berpakaian bunga-bunga itu segera saat melihatnya.
Rina tersenyum lebar. "Selamat sore, Bu Jane. Pak Ryu," sapanya bergantian menjabat tangan pria itu. "Silakan duduk."
Berada di antara kedua wanita Indonesia itu, Ryu mempersilakan mereka untuk memesan sesuatu. "Mungkin bisa beri saya rekomendasi juga?"
Jane menerima buku menu dari pelayan yang kemudian datang untuk melayani. "Sejujurnya ini baru pertama kalinya saya ke sini. Jadi, Bu Rina atau Mba ini bisa kasih rekomendasi?" Ia merujuk pada sang pelayan juga dengan gerakan kecil tangan kanannya.
"Kalau saya sih biasanya cuma pesan kopi. Saya penggemar berat kopi," ujar Rina dengan kekehan. "Tapi saya tahu mixed platter di sini enak."
Ryu mengamati halaman dengan minuman di sana. "Hmm, saya pikir Vietnam Drip oke," katanya.
"Wow. Ada dua penggemar kopi di sini ya." Jane meniup poninya sambil meletakkan buku menu tersebut di atas meja.
"Kamu nggak suka kopi?" tanya Ryu dengan dahinya mengernyit.
Jane menggeleng dan membalas, "Bukan nggak suka kopi, cuma bukan kesukaan saya."
"Eh? Saya pikir Pak Ryu dan Bu Jane itu suami istri." Rina menggaruk kepalanya. "Kok nggak paham satu sama lain?"
Sontak Ryu dan Jane saling bertukar pandang. Mereka hanya terdiam sambil menahan geli.
"Apa saya yang salah atau nggak dengar ada penjelasan lain?" tanya Rina, ingin tahu lebih banyak. Ia memandang Jane dan Ryu bergantian, meminta penjelasan.
Jane mengacungkan telunjuknya di depan dada. "Mm, kita selesaikan pesanan dulu baru lanjut lagi. Gimana? Kasihan si Mba nungguin," usulnya; tidak ingin orang asing mendengar percakapan mereka.
Semuanya setuju lalu menyebutkan pesanan masing-masing. Setelah gadis muda yang melayani mereka pergi, obrolan dilanjutkan kembali.
"Sebenarnya kemarin saya sudah bilang sama dia. Tapi yah... belum sempat aja. Jadi, silakan Bapak Ryu. Tolong jelaskan," ucap Jane dengan tangan kirinya terbuka ke arah pria itu.
Ryu menampakkan senyuman di pipinya yang sebelah lalu menghela napas. "Oke," ucapnya memulai. "Jadi Bu Rina, kami sebenarnya hanya—" Matanya tiba-tiba terbelalak dan ia menoleh ke kanan dan kirinya, seperti mencari sesuatu.
"Ryu? Kenapa? Kok berhenti?" tanya Jane kebingungan, melihat gelagat yang aneh dari pria itu.
"Jane, tolong percaya saya. Dan maaf," bisik Ryu yang kemudian melingkarkan tangannya di bahu wanita di sampingnya.