[2009, November 20]
Sebuah berlian akan tetap bersinar meskipun dilemparkan ke dalam kubangan lumpur sekalipun. Begitulah wejangan sang papa pada Jane yang terus ia pegang sedari kecil. Hal itu membantunya melewati perundungan yang pernah dialaminya semenjak masa kecilnya. Semakin beranjak dewasa, semakin kuat pula mentalnya.
Karena ungkapan itu jugalah, Jane selalu merasa percaya diri dengan apa adanya dirinya. Ia mungkin bukan yang paling menarik secara fisik, tetapi selalu ada hal yang menjadikannya salah satu incaran para pemuda. Entah karena kharisma yang ia miliki saat berbicara di depan umum ataupun kemampuannya bernyanyi dan bermain musik.
Namun di balik kelebihan tersebut, ada satu hal yang terus mengganggunya. Tidak jarang terjadi kesalahpahaman di antaranya dengan gadis-gadis sebayanya. Sebagai orang bertipe introvert dan tak banyak bicara, hari itu ia dibuat terkejut dengan tuduhan yang dilemparkan padanya sebagai perusak hubungan orang lain.
"Jane, kenapa sih kamu tega ambil Gilbert dari aku?" Seorang gadis SMA kelas tiga dari komunitas pemudanya datang tanpa basa-basi.
Sontak Jane mengernyit tak mengerti. "Sebentar, sebentar, Thea. Kamu ini ngomong apa ya?"
"Ya gara-gara kamu, aku sama Gilbert putus!" serunya lalu menangis dan pergi begitu saja.
Jane menoleh pada seorang teman yang duduk di sebelahnya. "Kak Cyn, itu tadi barusan kenapa coba? Duh, jantungku jadi deg-degan nggak karuan loh sekarang ini," celetuknya sambil memegang dada. Ia memang paling tidak suka diperhadapkan dengan konflik.
Cynthia, gadis yang hanya beberapa bulan lebih tua darinya itu menggeleng. "Sebelum kamu gabung di komunitas ini, Alethea sama Gilbert tuh emang udah banyak masalah, Jane. Putus nyambung udah berkali-kali. Jadi, jangan heran dan jangan dimasukin hati. Oke?"
Mendengar penjelasan itu, Jane merasa sedikit lega. Setidaknya kali ini ia merasa yakin bahwa ia tidak berbuat kesalahan apapun.
Jane dan Cynthia kembali bercakap-cakap, melanjutkan diskusi mereka sebelumnya. Tak lama setelah itu, subjek pembicaraan yang lain datang.
Tanpa ijin dan dengan santainya Gilbert menyentuh lembut kepala Jane lalu duduk di sebelahnya. Ia tersenyum dan menyapa, "Hai, Jane. Kamu dateng lebih awal ya?"
Alhasil, Jane bergeser sedikit dan melemparkan tatapan yang cukup tajam. Setelah dituduh sebagai perusak hubungan, ia tidak ingin terlibat lebih dalam di hubungan rumit Gilbert dan Alethea. "Gil, sorry nih ya. Next time, jangan asal pegang kepala cewek lain kalau kamu nggak punya perasaan untuk dia. Itu bisa bikin masalah," peringatnya.
"Hah? Apa?" Gilbert tampak bingung. "Tapi aku—"
"Kak Cyn, bantu aku cek mikrofon di panggung ya." Jane bangkit dari kursinya dan menggandeng tangan sang kawan. Ia tidak mau berlama-lama di sana dan memperkeruh keadaan.
***
[2022, Desember 14]
"Gua nggak tahu ya. Kayanya mendingan enggak deh." Jane menggeleng-geleng kepala sambil menopang dagunya dengan tangan kirinya yang bertumpu di atas meja.
Amalia mengangguk setuju. "Bener, Ce. Cowok kaya gitu ngga cocok buat Cece. Toxic," tukasnya dengan ketegasan. "Jangan sama yang nggak punya pendirian."
Jane memijat pelipisnya. "Jujur gua heran, Mal. Gua udah cukup sering loh ada di posisi di mana cowok tuh udah ada ceweknya, entah masih dikejar atau bahkan yang sudah jadi tunangan, tapi dianya jadi deket sama gua. Seolah-olah, gua yang jadi pihak ketiga. Malesin banget nggak sih? Padahal gua nggak berbuat apa-apa. Ganjen juga enggak. Godain dia apa lagi," keluhnya, menggunakan dialek ala Jaksel ketika bicara dengan kawannya yang satu ini.