[2024, Oktober 19]
Sesuai dengan kesepakatan bersama, kedua pria Jepang itu akan disuguhi pengalaman mencoba jajanan kaki lima malam hari sebelum mereka kembali ke negaranya. Mengikuti usulan dari Christine, mereka berlima mendatangi alun-alun Pasar Johar. Berbagai makanan digelar untuk dipilih di sana.
Sekitar pukul setengah enam, mereka berjalan di sekitaran pasar yang populer di kalangan turis domestik itu. Beruntung hari itu tidak terlalu padat.
"Semuanya di sini bikin ngiler kan, Jane?" komentar Christine mengamati semua makanan yang menarik di mata itu.
Jane mengangguk setuju. "Iya loh. Baru tahu aku tuh. Orang Semarang nggak tahu Semarang tuh ya aku," sambungnya geli. "Oh ya, tapi kalau diinget-inget, sebenernya ini tuh mirip... hmm, apa tuh namanya waktu kita di Jepang? Yang di Osaka itu. Duh, lupa namanya pula. Tapi yah, kayanya sih bagus di sana ya."
Christine ikut terkekeh.
Mendengar percakapan itu, Ryu ikut menimbrung dari sebelah Jane, "Tapi untuk saya, ini lebih bagus. Karena ini berbeda."
"Oh ya? Biasanya orang asing emang bilang gitu ya," sahut Jane yang langsung disetujui oleh kedua temannya.
"Apa ada rekomendasi untuk kami?" Ryu merasa perlu untuk bertanya pada orang lokal yang pasti jauh lebih tahu.
Jane berpikir sejenak. "Hmm, kamu aja yang kasih rekomendasi, Tine. Kamu yang ngusulin tempat ini," tukasnya.
"Oke. Kita ke arah sana ya." Christine menunjuk ke sebelah kirinya.
Kelimanya masuk lebih dalam, menerobos kerumunan pecinta kuliner yang juga memburu beraneka makanan di sana. Lampu-lampu yang terang dengan musik dari pengeras suara menambah kemeriahan suasana. Pilihan mereka pun jatuh pada pempek, churros, ayam crispy, salad buah serta es cendol. Agaknya Ryu dan Yuki benar-benar mendapatkan kepuasan.
Kira-kira satu jam dihabiskan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain, menikmati semua jajanan itu. Hanya saja tampaknya mereka masih hendak mencoba jajanan lain.
Namun, berbeda dari yang lainnya, Jane justru sudah merasa kekenyangan. "Hei, guys. Kayanya mendingan aku duduk nunggu kalian aja deh. Perutku udah penuh dan kakiku rada capek tiba-tiba. Mana gerah lagi," beritahunya; ia meniup poninya, mengelap dahinya lalu mengelus perutnya dengan telapak tangan kanannya. "Jadi tolong temenin Ryu sama Pak Takahashi ya. Tawarin aja makanan lainnya. Kalau kalian udah selesai, bisa susul aku di atas sana." Ia menunjuk ke arah yang dimaksud.
Sementara Christine dan Bobby kompak mengangguk, Ryu justru berkata, "Jane, aku ikut kamu. Aku juga kekenyangan."
"Tapi kalau Pak Takahashi butuh terjemahan?"
"Dia bisa sedikit bahasa Inggris, kan?"
Jane tersenyum, mengingat broken English-nya berhasil digunakan untuk berkomunikasi. Ia mengangguk setuju.
Jane berjalan lebih dulu, tapi mempersilakan Ryu mengikuti dari samping. Keduanya berhenti di area tangga paling atas, dekat rerumputan.
Tengah menikmati suasana, angin bertiup cukup kencang, membuat sampah plastik keluar dari tempatnya. Pemandangan itu kurang menyenangkan, tapi justru membuat Ryu merasa geli.
Tiba-tiba, sesuatu dari belakang Jane menyentuhnya. "Astaga. Apa itu barusan?" Ia tertawa mencari sumber rasa kagetnya. Rupanya itu hanya mainan anak-anak dengan lampu berkelap-kelip yang terdorong angin menjatuhi tangannya.
"Kamu baik-baik saja?" Ryu memastikan.
"Ya, ya. Nggak papa kok." Jane mengacungkan jempolnya. Pandangannya dilayangkan ke depannya, di mana ada kerumunan tercipta. "Wah, rame banget di situ."
Ryu ikut mengarahkan matanya ke sana. "Bisa jadi lagi ada promosi makanan populer di salah satu tenda yang kita lewati. Tadi saya sempat lihat ada yang ramai sekali," sahut Ryu dengan gerakan bahu ke atas seraya memberikan pendapat.
"Ya, bisa jadi." Jane mengangguk-angguk.
"Ngomong-ngomong, kamu beneran kenyang? Padahal saya lihat kamu hanya mencicipi. Dibanding Christine sama Bobby, kamu makan sedikit ya." Ryu membuka percakapan baru.