Ketika malam sudah bergeser di kaki langit, embus angin yang seolah menyambut kedatangan sang raja dan bersujud di sekitarnya hadir di setiap detiknya. Titik-titik air menghiasi pucuk di setiap dedaunan.
Beberapa jalanan berlubang terisi oleh sisa hujan semalam. Perlahan senja mulai terlihat, garis jingga yang tergores di kanvas sana membuat para penikmat begitu senang mereka hadir di bumi. Tapi lain halnya dengan cewek berusia enambelas tahun tersebutã…¡sebenarnya besok dia sudah genap tujuhbelas sih. Peluh mengitari seluruh dahi, napasnya terengah-engah saat menaiki sebuah tanjakan. Hilang sudah penampilan feminimnya hari ini.
Padahal dia sudah berdandan sedikit dari biasanya. Rambut sebahu diurai yang hampir menyentuh punggungnya. Jepit rambut berwarna merah muda disematkan di antara poni sebelah kanannya. Serta parfum yang susah payah dia kumpulkan uangnya hanya untuk harga yang begitu fantastis. Cewek itu mendengkus, pasti bau badannya tercampur sama parfum.
"Kayaknya gue harus usul ke presiden buat bikin paket sepeda tanpa pedal, biar gue gak harus tiap hari lakuin hal yang sama." Entah sudah berapa kali dia mengeluh, mengisi kekosongan pagi yang tenang dengan ocehannya.
"Kenapa sekolah jauh banget sih? Gue berasa tinggal di pelosok banget sampe harus bangun subuh-subuh, haaaahhhhhh," Kanei menghela napas, berhenti sejenak untuk meregangkan ototnya. "Gila, nih sepeda kok makin lama makin berat sih? Heh sepeda! Lo pasti nih kebanyakan dosa, makanya jadi berat begini!" Untung saja keadaan masih sepi dan hanya satu-dua mobil yang lewat.
"Lo jadi memperlambat perjalan gue buatã…¡" Kanei melotot hingga matanya nyaris keluar dari sana.
"Aaaaaarrrrrgggggggh! Mobil bego! Kalo jalan liat-liat dong! Punya mata gak sihhhh? Aiiissshhhh baju gue jadi kotor." Sebenarnya itu bukan salah mobilnya sih, salahkan saja Kanei yang berhenti di pinggir jalan dan bukannya dekat-dekat paving block. Sudah gitu tempat berdirinya strategis banget buat jadi mangsa siraman rohani.
"Aduh, mana sekarang lagi pake baju putih lagi. Padahal udah wangi begini, mana bisa gue balik lagi. Untung masih sepi. Gue bisa dianggep gila kalau ngomong sendiri, kenapa perjalanan jadi sejauh ini coba?" Sekarang matahari sudah sukses merangkak di antara kaki langit.
Mentari pagi biasanya bagus untuk kesehatan, terutama sekolah yang hari ini hendak melakukan upacara bendera. Setidaknya Kanei harus merasakan itu, tapi dia terus-menerus dan tak henti menyumpah serapah pada mobil yang menyiramnya barusan.
Bahkan ingatannya begitu jelas plat mobil serta warnanya. "Awas aja kalo ketemu nanti, itu mobil gue bawa ke reparasi biar spare partnya gue ambil dan gue jual!" Sepertinya Kanei memang sedendam itu sama mobil tersebut. Meski dengan baju yang kotor dan basah, dia harus tetap melanjutkan perjalanan. Setidaknya dia tidak ingin menambah kesialannya ini. Jadi dia harus cepat sampai, baru saja setengah jalan dia mengayuh sepeda.
Kanei kehilangan keseimbangan, ia banting setir ke kanan dan kiri. Wajahnya panik, karena melewati turunan yang sedikit curam Kanei malah menambah laju sepeda membuat rem serta rantainya tidak berfungsi.
"A-aduuhhhhh! Ini gimana ini?" Kanei benar-benar panik, ia dengan sembarang mengarahkan sepedanya ke arah taman kota.