Unidentified Romance

jojoann
Chapter #2

Identifikasi I

Cibinong bukan daerah yang romantis. Namanya juga gak ada kesan romantis sama sekali. Kalau matahari sedang terik, udaranya seakan menghukum budak cinta yang tengah mencari romantisme di seluruh pelosok Cibinong. Kalau hujan mengguyur, giliran murid-murid SMAN 98 yang merasa dihukum. Alasannya sederhana: karena gak bisa belajar di luar kelas. Bagi mereka, kisah kasih di sekolah bisa terjadi kapan saja. Saat jam pelajaran di luar ruang kelas salah satunya. Bertemu dengan pujaan hati yang berbeda kelas di jam pelajaran punya daya tariknya sendiri. Mereka gak peduli kalau Cibinong gak romantis, yang penting kisah kasih mereka sudah menggebu manis di benak masing-masing.

 Gedung sekolah SMAN 98 ini saksinya. Banyak cerita romantis yang terjadi di antara para siswa. Bahkan, saking banyaknya, beberapa sampai diangkat ke layar lebar. Begitu kata Kepala Sekolah mereka saat pertemuan orang tua murid baru. Di samping itu, banyak juga yang patah hati. Tapi fenomena patah hati regional ini gak disebutin sama Kepala Sekolah. Masalahnya, kepala sekolahnya juga gak tahu kalau ini adalah kondisi serius. Butuh ditangani para ahli.

Ini serius gak berlebihan. Penyebabnya tak jauh dari Becca. Naik ke kelas XI, tersiar kabar bahwa Becca punya pacar! Kabar ini tersebar juga ke beberapa sekolah di sekitarnya. Pasti tersiarnya cukup cepat karena letak SMAN 98 itu berdekatan dengan beberapa sekolah yang lain. Cowok-cowok yang sudah jatuh bangun mengejar Becca tentu saja mendengarnya. Mengenai siapa pacarnya, masih jadi desas-desus. Ada yang bilang itu Yong, ada yang bilang bukan. Orang-orang curiga kalau itu Yong karena mereka sudah sangat dekat sejak lama. Mereka sering pergi-pulang sekolah bareng. Beberapa kali juga pernah terlihat makan bareng di kantin. Ketika ditanya, Yong cuma senyum-senyum sambil bilang amin berulang kali. Rata-rata anak cowok juga pasti akan mengamini kalau ada di posisi Yong.

Bel sekolah berbunyi. Tak lama, para remaja berseragam putih-abu mulai berhamburan keluar dari kelas masing-masing. Mereka memakai sepatunya sebelum pulang. Itu memang kebiasaan mereka. Melepas sepatu sebelum masuk ke dalam kelas. Kalau ditanya kenapa, ya supaya kelas tidak terlalu kotor. Tapi jadinya mereka sering malas pakai sepatu lagi kalau harus keluar-masuk kelas. Lalu telanjang kaki ke mana-mana di sekolah. Atau pakai kaos kaki saja. Gak apa yang penting gak telanjang badan, nanti dikira punya kelainan.

Kumpulan remaja yang sudah pakai sepatu itu pun mulai gerak berpencar. Segerombol ada yang langsung pulang naik ojek yang lewat—gak boleh ojek online ya, nanti dicegat. Ada yang berjalan menuju tempat parkir mengambil motornya sendiri—gak boleh motor orang lain ya, nanti kuncinya gak masuk. Ada juga yang berjalan kurang lebih sepuluh meter jauhnya dari sekolah untuk nongkrong di warung tenda biru atau ke para pedagang kaki lima.

Para remaja SMA tersebut membeli jajanan untuk mengasihani perut mereka yang keroncongan sejak jam pelajaran terakhir. Salah satunya adalah seorang gadis cantik yang menjadi penyebab fenomena patah hati regional: Becca Meida. Perutnya rindu dijamah telur gulung, bahkan dari kemarin. Begitu melihat pedagang telur gulung dan gerobaknya ada di seberang sana, matanya pun langsung berbinar. Secepat kilat Becca menghampiri, mumpung belum ada yang beli.

“Ih, Si A’a1icalan2? Kemarin aku cariin gak ada. Sok atuh A’, aku mau sepuluh tusuk. Saosnya disatuin aja,” cerocos Becca tanpa jeda.

Pedagang itu dengan irit cuma menjawab, “Siap.” Lalu dengan sigap, Si A’a pun melayani pesanannya. Baru jadi dua tusuk, pesanan yang lain sudah mulai berdatangan. Si A’a jadi kelimpungan. Becca menunggu dengan sabar. Demi perutku yang kesepian, hiburnya pada diri sendiri.

Sepuluh tusuk telur gulung sudah di tangannya. Lengkap dengan saos yang melumuri jajanan kesukaan Becca itu. Setelah membayar makanannya, gadis langsing itu pun menerobos kerumunan pembeli yang kian berlapis.

“Eh, aku duluan ya! Dadah semua!” Becca berteriak lantang. Senyumnya lalu terpoles di bibir tebalnya. Sejudes apa pun dia sama cowok, tapi Becca termasuk ramah pada cewek-cewek. Hal itu jugalah yang selalu menarik di mata lelaki yang menyandang status sebagai pacar Becca saat ini. Seorang lelaki yang masih dipertanyakan identitasnya.

“Becca pulang sama siapa?” tanya salah satu dari temannya di sana.

“Sendiri aja. Kan deket rumah aku mah, santuy3.”

“Gak pulang sama pacar?”

Teman-teman cewek Becca mulai ramai bersahut-sahutan. Pipi Becca merona lalu langsung berlari meninggalkan mereka. Gosip cepat sekali menyebar. Baru satu bulan yang lalu dia dan lelaki itu mulai berpacaran. Ia tidak cerita pada anak-anak perempuan di kelasnya. Bahkan pada Dina pun, sahabatnya, Becca tidak cerita. Bukannya tidak mau cerita, hanya saja Dina yang berbadan kecil dengan wajah dan tingkahnya yang menggemaskan itu seringkali membicarakan sesuatu dengan suara nyaring. Paling berbahaya kalau hal itu bersifat rahasia. Becca belum siap mental. Jadi Becca hanya bercerita pada Ibu dan…

Becca membuang napas. Dia gak mau berpikir kalau orang itu yang menyebarkannya. “Rasanya gak mungkin juga,” katanya pada diri sendiri. Dia masih terus memikirkannya di sepanjang jalan pulang. Mungkin mereka pernah gak sengaja lihat aku sama pacarku, pikir Becca lagi.

“Ya udahlah, terserah,” katanya pada dirinya sendiri.

Mulutnya lalu sibuk mengunyah telur gulung idolanya satu per satu. Seringkali telur itu dicelupkannya lagi ke dalam saos banyak-banyak. Lalu diratakan ke setiap ujungnya. Becca terlalu asyik dengan makanannya, sampai-sampai tak memperhatikan jalan.

“Cantik-cantik kok makan sambil jalan?”

Tak digubrisnya celetukan itu. Suaranya dibuat-buat, entah siapa yang bilang. Becca sempat melirik sekilas dan hanya melihat jaket abu-abu yang dikenakannya. Becca takut dia bukan orang yang dikenalnya. Remaja itu tak mau melihat wajahnya. Risih. Mengingat berita yang banyak tersebar belakangan ini, Becca takut diperkosa di siang bolong. Belum lagi di seberang sekolahnya terdapat kebun yang ditumbuhi pohon bambu di beberapa tempat. Cukup rimbun sebagai penghalang dari jalan raya. Jadi dia pun terus berjalan cepat, sampai seseorang menepuk halus pundak kanannya.

Becca menoleh cepat. Digenggamnya tusukan sisa telur gulungnya itu erat-erat. Tangannya sudah mengambil ancang-ancang untuk menusuk orang yang menepuk pundaknya tersebut, tapi sosok itu malah tertawa terkekeh. Ternyata…

“Yong!” teriak Becca gusar, tapi lega juga.

Yang dipanggil masih tertawa terpingkal-pingkal. Ditatapnya cowok itu dengan jengkel. Lebih jengkel karena Yong tahu, Becca paling tidak suka diganggu oleh cowok di jalanan. Rasanya Becca selalu ingin melaporkan kelakuan tidak sopan semacam catcalling itu supaya pelakunya mendapatkan ganjaran yang setimpal. Tapi, Becca tidak tahu pada siapa dia mesti melapor.

“Aku kira ada orang gila yang mau gangguin aku! Gua bantai lu! Rasain! Rasain!” Becca mencubiti perut kurus Yong bertubi-tubi. Tote bag yang dibawanya sampai terjatuh gara-gara serangan agresifnya.

“Hahaha. Sorry sorry…

Tawa Yong mulai mereda bersamaan dengan serangan dari Becca. Kini tawa itu berganti. Cowok di hadapannya meringis kesakitan sambil memegangi perutnya.

“Rasain!” gertak Becca.

Yong tidak membalas. Dia malah menarik sampah plastik dari tangan perempuan di depannya. Tote bag milik Becca yang tadi terjatuh pun dipungutnya. Dibawakannya tas itu. Kemudian celingukan, sebelum berjalan menjauh.

“Heh! Mau ke mana?”

“Buang sampah, bawel. Rebek banget…”

“Oh.”

Bibir tebal Becca mengembangkan senyum. Kakinya melangkah mengikuti bayangan Yong yang terjejak di tanah.

“Jangan injekin aku dong,” tegur Yong tanpa menoleh. Maksudnya jangan injak bayangannya.

“Enggak,” Becca berbohong.

Yong melirik lalu tersenyum tipis.

“Kebiasaan.”

Mereka sengaja tak berbalasan lagi. Pikiran Becca kembali mengawang ke permasalahan yang sedang asyik dipikirkannya tadi. Mungkin dia sedang memilih-milih ingin menceritakan itu pada Yong atau tidak. Ini pertama kalinya dia ragu untuk bercerita pada lelaki itu. Akhirnya dia lebih memilih untuk berjalan dalam diam.

Sejak kejadian salah paham itu, Yong dan Becca semakin dekat. Gedung SMAN 98 juga tahu itu. Gedung sekolah mereka kan saksi bisu. Lucunya lagi, tak lama sejak Yong dan Becca semakin sering terlihat bersama, surat cinta dari penggemar Yong itu berhenti! Gak tahu kenapa. Sampai sekarang pun, gak ada yang tahu siapa yang kirim surat itu ke Yong. Anak-anak di warung tenda biru (tempat tongkrongan Yong) dan teman-teman kelasnya Yong juga bilang, bisa jadi cewek itu patah hati. Karena gak tahu siapa cewek yang dimaksud, Yong pun jadi bingung harus minta maaf ke siapa. Lagian dia juga lupa, gara-gara sudah dekat sama Becca.

Kedekatan mereka dimulai dengan sering pergi-pulang sekolah bareng, jalan kaki. Masing-masing merasa diuntungkan jika mereka berjalan bersama. Becca merasa aman ketika berjalan kaki dengan Yong. Maklum, siswi populer itu kan punya banyak penggemar. Sampai-sampai bisa bikin patah hati tingkat regional begitu. Pesonanya benar-benar keluar secara alami sejak ia tampil sebagai bases4 bersama tim cheerleader SMP-nya. Di sisi lain, Yong merasa senang bisa berjalan dengan cewek secantik Becca.

Yong juga sering bermain ke rumah Becca, sekedar bercanda atau menyapa. Tidak jarang juga menanyakan pelajaran. Apalagi sekarang jurusan mereka sama. Ilmu sosial. Hanya beda kelas saja. Yong juga sudah hafal dengan ayah dan ibu Becca. Ayahnya seorang pegawai bank, tapi gak ingat bagian apa. Ibunya ya ibu rumah tangga. Becca juga punya kakak perempuan, namanya Bella. Lalu belakangan Yong yang usil itu tahu, bahwa Becca memang manusia biasa. Dia gak sempurna. Ceroboh dan agak pemarah. Tapi dia gampang sekali dibujuk.

“Bec, aku masuk dulu ya. See ya!” pamit Yong tiba-tiba. Ia lalu menyampirkan tote bag yang dari tadi dibawakannya ke pundak kiri Becca.

Belum sempat Becca bereaksi, seketika saja tubuh jangkung Yong sudah tidak kelihatan. Menghilang di balik pagar rumahnya. Sepanjang jalan tadi Becca asyik melamun, tanpa sadar ternyata mereka sudah berada di depan rumah Yong.

Matahari sore semakin turun, seperti hendak menjajarkan dirinya dengan tanah. Sinarnya memanjangkan bayangan dengan ramah. Becca mengamatinya lekat. Pikirannya kembali terbang hingga dering telepon mengejutkannya. Lamunannya buyar seketika. Becca berharap panggilan itu dari seseorang yang sedang ditunggunya. Melihat nama di layar ponselnya, Becca pun kembali riang.

“Hai, Pacar.”

“Hai,” sapa suara di seberang. Suara tenor yang ramah. “Sudah pulang?”

Lho? Kalau Yong pacar Becca, kok nanyain sudah pulang atau belum? Kan tadi pulang bareng? Bercanda kali nih!

“Iya ini aku lagi di jalan pulang. Kamu di mana?” Becca bertanya balik.

“Aku masih di ruang guru, lagi mau siap-siap pulang. Aku mampir ya.”

“Boleeeh… Ih kamu tau gak? Tadi tuh...” cerita Becca sambil berbelok ke kanan, menuju rumahnya di ujung jalan.

Nah, terjawab sudah. Yong kan baru saja tiba di rumahnya, sedangkan laki-laki yang bicara di telepon dan disapa pacar oleh Becca ini, masih di ruang guru! Jadi memang bukan Yong pacar Becca. Lalu siapa dia?

Becca dan pacarnya terus bicara di telepon hingga Si Gadis tiba di depan rumahnya. Sebuah rumah mungil nan sederhana dengan pagar yang tingginya hanya satu setengah meter. Rumah itu dipercantik dengan batuan alam yang melapisi setengah tembok luarnya. Di balik pagar terdapat sebuah halaman yang cukup luas. Halaman itu biasanya digunakan untuk tempat parkir. Di sisi kanan halaman, nampak teras berlantai semen yang dibuat lebih tinggi dari halaman tersebut. Di muka teras, terdapat dua buah kursi rotan yang menghadap ke taman rindang yang tingginya sejajar dengan teras. Tanaman lebat yang tumbuh subur di taman itu juga berfungsi sebagai pagar rumahnya. Becca sudah tinggal di sana sejak ia dan keluarganya pindah ke Cibinong. Tembok rumahnya sudah dicat ulang dua kali. Namun, warnanya tidak pernah diganti, selalu paduan warna putih dan coklat. Pagarnya pun dicat coklat.

“Pacar, aku udah sampe rumah nih. Aku masuk dulu ya. Kamu cepetan ke sini, oke? Aku tungguin.”

Kekasihnya setuju. Sambungan telepon pun diputus. Becca segera mendorong pagar rumahnya yang tak dikunci lalu menapaki beberapa anak tangga menuju teras depan dan masuk melewati ruang tamu. Seorang wanita berusia empat puluhan berada di sana. Wanita yang dulunya bertubuh mungil itu sedang duduk bersantai di sofa sambil menonton sinetron kesukaannya. Beliau tetap terlihat cantik meski tanpa riasan dan sudah tidak muda lagi. Warna rambutnya tetap hitam karena rajin disemir tiap kali rambut putihnya mulai kelihatan.

Becca menghampiri wanita cantik yang selalu dipanggilnya Ibu itu cepat-cepat. Setelah menyalami ibunya, remaja itu langsung berlari-lari kecil melewati ruang tengah yang dilengkapi dengan karpet dan bantal-bantal tempat bersantai. Kemudian dia berbelok ke kamarnya di sisi kanan ruang tengah, menyimpan tasnya di sana. Lalu mencuci muka dan berganti pakaian. Dia memilih untuk memakai kaus longgar kebesaran dan hotpants-nya sore itu. Lalu duduk di teras menunggu kedatangan pujaan hatinya dengan tak sabar.

Cukup lama Becca menunggu, hingga akhirnya orang yang ditunggu-tunggunya pun datang. Becca berlari membukakan pagar lebar-lebar untuk memudahkan motor kekasihnya parkir di halaman. Dari balik helm, pacarnya bilang, “terima kasih, Sayang.” Becca mengulum senyum. Gak balas bilang apa-apa. Sengaja. Becca malu. Ia malah cepat-cepat berjalan ke arah pagar. Lalu menguncinya. Setelah reda rasa malunya, Becca kembali menghampiri pacarnya. Namanya Leo, pacar Becca sejak sebulan yang lalu. Dia guru magang di sekolah Becca.

Cowok itu baru saja membuka helmnya saat Becca menghampiri. Rambut hitam bergelombang yang jadi ciri khasnya langsung terlihat. Dia berpaling dan melempar senyum pada Becca. Lalu mereka melangkah beriringan sambil senyum-senyum. Becca mengajak duduk di teras dan menawarinya minum.

“Kopi. Kamu yang bikin,” jawabnya ramah sambil membuka jaket parasutnya. Leo, atau yang kerap disapa Bang Leo oleh Becca, menggulung lengan kemejanya sampai ke siku. Membuatnya terlihat lebih manly. Warna kulitnya yang cerah berhasil membuatnya nampak seperti sosok yang selalu menjaga kebersihan.

“Boleh. Awas kalau gak diminum!”

“Hahaha. Pasti aku minum. Kan buatan pacarku.”

Lagi-lagi Becca tersenyum mendengar janji manis yang dilontarkan Leo. Dia sedikit menutup wajahnya malu. Pacarnya tertawa melihat tingkahnya. Becca pamit ke dalam untuk membuatkan kopi. Tak lama Ibu keluar menemui kekasih buah hatinya yang sedang sendirian di teras itu.

“Oh Leo, kapan datang?” suara bersahabat Ibu menyapa Leo.

“Baru saja, Bu.” Leo bangun dari kursinya membalas sapaan Ibu.

Mereka pun berbincang sedikit sampai Becca datang kembali membawakan segelas kopi. Becca teringat dengan hal yang sejak tadi dipikirkannya. Apa mungkin Bang Leo yang bilang ke orang-orang kalau mereka pacaran? Hal ini juga yang tadi ingin ditanyakan pada Yong. Tapi rasanya gak mungkin Yong seperti itu. Di satu sisi, Becca juga percaya pada Leo.

Remaja perempuan itu sengaja gak pernah menggembar-gemborkan hubungannya dengan Leo karena status pekerjannya saat ini. Lelaki yang usianya lima tahun lebih tua dari Becca itu adalah mahasiswa asal Jakarta yang sedang berkuliah di sebuah perguruan tinggi di Bandung. Jurusan pendidikan bahasa Jerman dan sedang praktik mengajar di SMAN 98, tempat Becca bersekolah. Masa magangnya akan habis sebentar lagi. Barangkali mereka harus bersabar sampai saat itu tiba. Mereka setuju untuk tidak perlu mempermasalahkan itu selama mereka berpacaran.

“Yang penting aku tau kamu pacarku. Aku pacar kamu. Orang lain itu kan hanya orang lain. Gak ada hubungannya,” jawab Becca saat itu.

Lelaki ganteng bertampang cerdas itu tersenyum dan menarik Becca dalam pelukannya saat dia mendapatkan jawaban seperti itu. Itu pelukan pertama mereka. Becca merasa sangat canggung ketika kupingnya bisa merasakan embusan napas Leo saat mereka berpelukan. Jantungnya berdegup kencang tak teratur. Meski senang, Becca benar-benar belum terbiasa. Setelah seminggu resmi berpacaran, Becca meminta untuk tidak terburu-buru melakukan kontak fisik. Awalnya Leo agak tersinggung, tapi kemudian ia mencoba untuk maklum, mengingat jarak umur mereka yang terentang cukup jauh. Hubungan mereka tetap baik, bahkan lebih toleransi mengenai hal-hal yang mereka suka dan gak suka.

Banyak yang mereka obrolin di teras rumah Becca sore itu. Terlebih soal kegiatan ekstrakurikuler di SMAN 98. Selama setahun masa magangnya, Leo diminta untuk menjadi guru pendamping ekskur bahasa Jerman, Gewinner. Lelaki berkacamata itu gak diharuskan untuk mengajar di setiap pertemuan karena guru pengajarnya sudah ada. Tugasnya adalah membantu murid-murid yang kurang. Atau menjadi guru pengganti kalau guru tetapnya sedang berhalangan.

 Karena asyik ngobrol, gak terasa hari mulai gelap. Sebelum jam makan malam, Leo pun izin pulang, bertepatan dengan Ayah yang baru saja pulang. Mendengar suara Ayah, Ibu keluar ke teras menyambut suaminya sekaligus untuk mengajak Leo makan bareng Becca dan ayahnya. Tapi Leo nolak secara halus. Alasannya karena dia masih kenyang. Becca gak percaya, tapi juga gak mau maksa. Mungkin pacarnya masih sungkan. Leo pun pamit pulang, meninggalkan segelas kopi yang tidak dihabiskan. Gelas kotor itu Becca bawa masuk dengan berat hati.

*

Malamnya, tak lama dari Bang Leo pamit pulang, Yong tiba-tiba muncul di depan pagar rumah Becca. Didapatinya seorang pria beruban dan berkumis lebat sedang duduk merokok di teras dengan lampu yang temaram. Perut buncitnya terlihat semakin jelas dalam posisi duduknya. Tapi, kalau berdiri, perut itu seakan menghilang termakan oleh tinggi badannya.

“Pak, Becca ada?” suara rendah Yong memecah keheningan.

Astaghfirullah!” Ayah Becca bersiaga dan memicingkan matanya. Mencoba meneliti siapa pemilik suara rendah itu, di antara remangnya malam. Dilihatnya seorang pemuda tanggung berambut kaku berdiri di depan pagar. Dia terlihat memakai kaus oblong putih. Setelah agak lama, akhirnya bentuk wajah itu pun dikenalinya. “Kaget Bapak, Yong.… Ucapkan salam dulu!” pintanya kemudian dengan suara yang menggelegar.

Yong meringis sambil menggaruk-garuk leher belakangnya yang tidak gatal.

Assalamualaikum. Punten5, Pak. Becca ada?”

Waalaikumsalam. Ada.”

Yong menunggu respons selanjutnya, tapi tak kunjung datang.

“Boleh saya masuk?”

“Coba saja.”

Yong ketawa. Lalu mencoba mendorong pintu pagar ke arah dalam. Tak bergeming. Diperiksanya pintu pagar itu. Gelap, tidak terlihat jelas. Tangannya menggapai-gapai selot pagar. Jemarinya merasakan dinginnya kunci gembok di sana. Sepertinya dikunci. Dia menengadah melihat Si Bapak.

“Boleh saya manjat?” tanya Yong lugu.

“Coba saja.”

Yong menanggapinya serius. Tanpa berpikir ulang, dia pun memanjat pagar yang tingginya hanya sedadanya itu. Sedikit kelimpungan dengan sarung abu-abu terang yang ternyata sedang dikenakannya. Untung sarungnya gak nyangkut. Begitu kaki Yong menapak di halaman rumah, ayah Becca bangun terkejut-kejut. Beliau turun dari teras depan menuju pagar.

“Alaaaah Si Yooong teh beneran manjat geura!” komentar ayah Becca keras-keras. Logat Sundanya masih kentara sekali. Mau bagaimanapun, Ayah asli orang Sunda Bandung. Kalau sedang di rumah atau sedang emosional, bahasa Sundanya langsung keluar.

Mendengar suara ribut-ribut dari luar, Becca pun keluar rumah. Bertanya ada apa dan langsung heran begitu melihat Yong ada di teras rumahnya bersama Ayah.

Ieu aya maling tah6! Masa bertamu ke rumah orang teh masuknya manjat di depan yang punya rumah? Pake sarung lagi.”

Lihat selengkapnya