Unidentified Romance

jojoann
Chapter #3

Identifikasi II

Selama libur pergantian semester, Yong dan Becca jarang bertemu. Hampir tidak pernah, hanya beberapa kali saja. Itu pun karena mereka tidak sengaja bertemu di warung jus depan gerbang kompleks perumahan. Saat Becca ke rumah Yong untuk memberikan sajak permintaan Yong pun, mereka gak ketemu. Yong masih menginap di rumah temannya ketika Becca datang bertamu. Mereka juga tidak saling bertukar kabar. Kadang kepikiran, tapi akhirnya mereka memilih untuk lupa. Becca asyik dengan kekasih barunya, sedang Yong asyik dengan dunianya sendiri.

Awal yang baru di semester genap pun dimulai. Otot tangan yang sudah jarang dipakai untuk menulis perlu dilenturkan lagi untuk kerja rodi. Begitu pula dengan otak yang sudah mulai membeku. Hari pertama selalu memberi semangat yang berbeda bagi para siswa, setidaknya untuk kembali bertemu teman-teman. Bercengkerama dan bertukar cerita.

“Yong! Ke mana aja lu? Bau-baunya jarang kecium,” sapa Michael alias Koko, teman Yong yang namanya pernah disebut Becca. Ingat kan? Becca pernah kira Yong itu namanya Koko. Yong jadi geli sendiri kalau ingat kejadian itu.

“Biasa, Ko. Kasarean7 di jamban,” jawab Yong asal.

“Hahaha, dasar lu. Bercanda bae8. Untung keluar-keluar masih bentuk jalma9.”

“Mau jadi apa lagilah? Jadi lele koneng mah ngan bisa ngambang wungkul. Mun jalma mah pan bisa renang gaya bebas10.”

Koko ketawa. Yong ikut bersamanya.

“Najis lu! Kepikiran aja lagi. Kecerdasanmu sia-sia, Yong!”

Koko dan Yong ketawa lagi. Mereka bertemu di warung tenda biru, tempat tongkrongan Yong dan teman-temannya. Lokasinya hanya beberapa meter sebelum sekolah kalau dari Perumahan Ciriung. Tempat itu cuma semacam gardu kecil bercat putih yang berukuran 2 x 3 meter, dengan lubang jendela di depannya. Di salah satu sisinya dibuat sebuah pintu sehingga penjualnya bisa masuk ke dalam bangunan tersebut. Di bagian depan, disediakan bangku dan dipasang patok-patok untuk membentangkan kain terpal berwarna biru di atasnya. Warung itu dimiliki oleh Om Ali Kumis yang biasa disapa Omlikum oleh anak-anak yang nongkrong di sana. Kadang orang lain, yang tahu panggilan akrab Bapak Ali yang berkumis tebal itu, juga ikut memanggilnya Omlikum.

Gak ada yang tahu gimana awal mula warung tenda biru itu bisa jadi tempat nongkrong sejuta umat. Siapa saja yang merasa nyaman, boleh gabung ikut kumpul di sana. Tidak peduli dia kelas berapa, laki-laki atau perempuan—walau memang, jarang ada siswi yang mau ikut gabung di sana. Mereka sering berkumpul sebelum jam sekolah dimulai. Sambil menunggu bel masuk, mereka betemu dan bercanda dengan teman-teman satu tongkrongan. Kadang mereka juga nongkrong sepulang sekolah, tapi Yong jarang berlama-lama di sana kalau siang.

Gak lama, Aldi datang bergabung dengan mereka. Yong sedikit terkejut dengan perubahan pada penampilan temannya itu. Aldi yang biasanya berantakan, pagi ini tampil rapi. Rambutnya klimis disisir ke sebelah kanan. Kemejanya dikancing sampai ke kerah dan diselipkan ke celana seragamnya. Dan, ini… perubahan terekstrem darinya. Tercium aroma sabun ketika dia mendekat. Aldi ternyata mandi pagi ini.

“Widih, resolusi tahun baru nih!” celetuk Koko.

Aldi mesem-mesem. Menganggapnya sebagai pujian. Lalu dia langsung menyalami mereka satu per satu.

“Gak sekalian sungkem, Di?” tanya Yong disambut tawa dari Koko dan Aldi.

“Eh Tong, Si Becca pacaran ye sama Si Leo? Orang mana sih dia?” tanya Aldi pada Yong. Aldi senang memanggil teman-teman cowoknya dengan sapaan Entong11.

“Gak tau,” Yong berbohong.

“Masa sih lu gak tau, Yong? Kan kalian deket, sering pulang bareng,” tanya Kartika nimbrung.

“Gak tau. Serius, gak tau.”

“Terus lu gimana dong, Yong?” tanya Koko dengan nada prihatin. Di antara teman-temannya, Koko yang paling tahu kalau Yong suka dengan Becca.

“Gimana apanya? Ya gak apa, dianya demennya sama Bang Leo.”

“Kalau Yongnya demennya sama siapa?” pancing Kartika genit.

“Hahahah, ditanya lagi. Itu sama aja kayak menabur garam di atas borok!” serobot Aldi.

“Menabur garam di atas luka kali…” koreksi Kartika.

“Ini mah beda, Tik. Udah jadi borok. Udah bernanah.”

“Najis!” Kartika menepak bokong Aldi, lalu ngacir pindah ke gerombolan yang lain. Tidak kuat membayangkan ‘borok’ bohongan yang dimaksud. Di lain pihak, Aldi meringis kesakitan.

“Tenaga kuda euy. Linu sampe ke tulang ekor.”

Mereka semua tertawa. Yong merasa pilihannya pagi ini memang tepat. Sengaja Yong datang lebih pagi dari biasanya supaya bisa mampir ke tempat tongkrongan itu. Rindu juga dia rupanya. Dan kerinduan itu pun terbayar. Dia punya waktu sedikit lebih banyak untuk dihabiskan bersama teman-temannya. Lima menit sebelum bel tanda masuk berbunyi, anak-anak yang sudah semakin banyak di warung tenda biru itu pun bubar jalan. Mereka menyeberang bersama-sama menuju sekolah. Kekompakan itu jarang terjadi. Mungkin hanya satu kali dalam satu semester. Yong berasumsi, bukan hanya Yong saja yang merasa rindu.

Setibanya di sekolah, Yong dan Koko langsung berjalan menuju kelas mereka, XI IPS 3. Mereka melewati XI IPS 1, kelas Becca. Tepat di depan kelas gadis itu, Koko berjongkok. Pura-pura membetulkan tali sepatunya. Sengaja supaya Yong nungguin, terus bisa ngeliat Becca. Untungnya beneran. Yong ikut berhenti. Seketika itu juga namanya dipanggil. Becca Meida, siswi favorit berbagai kalangan itu, berjalan menghampiri.

Yong tersenyum. Lesung pipit tunggalnya terbentuk di pipi kanannya. Yong memandang matanya dalam-dalam. Daya pikat Becca tidak pernah bisa dihindarinya. Meski mungkin menyusup ke dalam hidupnya lebih jauh lagi hanya akan berujung pilu, Yong masih menyambut datangnya bahaya itu dengan tangan terbuka. Bisa jadi perempuan itu pun salah satu alasannya ingin datang lebih awal hari ini. Atau barangkali justru dia alasan terbesarnya. Yong gak peduli mana yang paling benar. Biar waktu yang menjawab.

“Gimana kabar kamu?” tanya Becca renyah.

“Dia kangen kamu, Bec,” celetuk Koko mendahului.

Becca menahan senyum. Dia tahu itu bercanda, tapi dirinya jadi jengah karena orang lain yang mengatakannya. Belum lagi dia ingat akan surat sajak yang sudah dititipkannya untuk Yong. Becca gak tahu surat itu udah dibaca atau belum.

“Yee baper,” canda Yong. Dia mencoba untuk bersikap seperti biasa. Padahal aslinya jantung Yong pun bertalu-talu. Makin lama makin kenceng. Sampai takut Becca bisa dengar.

“Enggak! Bwee….” Becca ngeloyor setelah menjulurkan lidahnya pada Yong.

Koko langsung membisikkan kata maaf karena merasa bersalah. Dipikirnya Becca pergi karena ulahnya. Yong mengibaskan tangannya.

“Gak usah dipikirin. Dia emang gitu.”

Lalu mereka pun berjalan menuju kelas. Betapa terkejutnya mereka melihat seorang guru sudah ada di ruangan. Rasanya bel belum berbunyi. Ternyata memang bukan hanya Yong yang sedang bersemangat ke sekolah hari ini, guru itu pun demikian. Sialnya, guru itu adalah Bu Yani. Belum kenal Bu Yani kan? Beliau ini adalah guru killer di jurusan IPS. Sialnya lagi, mereka datang masih dengan tas masing-masing.

Bu Yani menyuruh mereka keluar, tapi Yong bertahan.

“Bel belum bunyi, Bu.”

Koko menarik-narik tangan Yong supaya segera keluar saja.

“Tapi saya sudah di dalam. Kalian anak baru? Perjanjiannya apa? Ini sudah jam berapa?”

“Tapi bel hukumnya lebih sah, Bu.”

Tangan kanan Bu Yani bergerak. Jari-jari tangannya terbuka dan mengarah ke pintu ruang kelas.

“Tapi, Bu—”

“Keluar!” perintah Bu Yani absolut, bak ratu sejagat raya.

Jam pertama pada hari pertama di semester baru, Yong dan Koko disetrap berdiri di depan kelas. Koko yang memang pada dasarnya berhati lembut, lagi-lagi meminta maaf pada temannya. Yong tertawa pelan. Dia berpikir positif. Mereka malah punya waktu lebih banyak untuk mengobrol. Tapi itu hanya terjadi sementara. Bu Yani datang memisahkan mereka. Disuruhnya Yong berdiri di ujung koridor dekat kelas X-5. Awalnya dia menggerutu, tapi perhatiannya langsung teralihkan oleh murid baru yang sedang diperkenalkan di kelas itu.

Siswi itu berambut ikal panjang. Perawakannya mungil namun betisnya kencang. Kulitnya sawo matang dengan sepasang mata bulat besar menghiasi wajahnya. Sepasang mata besar dan tubuh mungilnya itu yang selalu menjadi daya tariknya. Yong mengerjap-ngerjapkan matanya. Memastikan siapa yang dilihatnya. Ternyata dia mengenal siswi baru tersebut. Sangat.

Jam istirahat tiba, guru di kelas XI IPS 3 sudah keluar, tapi bel penanda istirahat masih belum juga berbunyi. Belajar dari pengalamannya, Yong menyimpulkan bahwa bel sekolah sedang rusak. Barangkali bel tersebut sedang lupa caranya bersuara karena sudah lama gak dibunyikan. Dengan kesimpulan demikian, tanpa menunggu aba-aba bel sekolah lagi, dia pun melesat menuju ruang kelas di ujung koridor.

Dari seberang gedung, Dina mengamati pergerakan Yong. Dia pikir Yong begitu terburu-buru ingin menemui Becca. Lantaran dia sering menangkap basah cowok basket itu berlama-lama menatap ke arah teman baiknya. Tapi lelaki itu melewati kelas Becca begitu saja. Ia salah mengira, ternyata Yong tidak seobsesif itu. Sekilas matanya menangkap Si Jangkung Yong berbelok masuk ke kelas X-5. Tapi Dina gak mau ambil pusing. Lalu dia pun berbalik menuruni tangga.

Di seberang sana, di dalam kelas X-5, Yong berhasil menarik perhatian adik-adik kelasnya. Segera dihampirinya siswi baru itu. Meneliti rupanya dekat-dekat. Yong berkacak pinggang. Perempuan mungil di hadapannya tertawa.

“Yuyun kok masuk sini gak bilang?”

“Yuyun gak tau kamu sekolah di sini. Kontak kamu aja gak tau.”

Yong menulis sesuatu di buku pelajaran yang terbuka di atas meja. “Oke, kamu tau sekarang. Makan yuk! Sekalian ngobrol.”

*

Yuyun Soraya Husni adalah teman masa kecil Yong. Rumahnya tepat dibangun di sebelah rumah Yong, sebelum cowok itu mengalami suatu musibah dan pindah ke rumah bibinya. Orang tua mereka berteman dekat. Tidak heran mereka pun jadi sering bermain hingga menjadi akrab. Mereka sendiri tidak tahu sejak kapan mereka dekat, tapi menurut ibu mereka, sejak Yong berusia tiga tahun dan Yuyun dua tahun. Ketika Yuyun mau masuk SMP, keluarga Yuyun pindah ke luar kota lantaran papanya yang PNS12 itu dipindahtugaskan.

“Terus kenapa kamu bisa balik lagi ke Cibinong?”

“Biasa, Papa pindah tugas lagi ke sini. Harusnya mulai minggu depan, tapi Mama bilang Yuyun duluan aja. Biar pas sama awal semester.”

“Kamu sendirian di sini?”

“Enggak, sama Mama sama dede. Dia udah kelas 2 SD sekarang.”

“Oh Si Bocah Nakal itu? Siapa namanya?”

“Roy. Dia makin nakal. Jangan dibahas, bikin sebel.”

“Hahaha… Siap. Masih basket?”

“Masih dong. Gak liat betis gede gini?”

“Hahaha… Buruan makannya. Entar aku kenalin sama anak-anak klub.”

“Siaaap!”

Sesuai janji Yong, sehabis makan siang, mereka segera melipir ke ruang klub basket. Kadang beberapa anggota senang berkumpul di sana. Perkiraan Yong tepat, walaupun kapten tim cewek sedang tidak ikut bergabung di ruang klub. Bram, kapten tim cowok senang sekali menyambut kedatangan Yuyun.

“Formalnye, lu tinggal isi aja formulir ekstrakurikuler. Minta same Bu Dona tuh. Trus langsung deh gabung sama kite-kite tiap Jumat,” terang Bram dengan logat Betawinya yang sangat kentara. Di bibirnya, kata gue-elo terdengar seperti gua-elu, gak seperti teman-teman lainnya yang kadang bunyinya gua-elu kadang gue-elo.

“Biaya seragam tim gitu gimana, Kak?”

“Nah yang ribet-ribet begitu gua kaga urus dah. Entar lu tanya-tanya aje ye sama Bu Dona atau pelatih kite, Pa Maman atau same Si Kunyuk ini nih,” Bram menyentakkan kepalanya ke arah Yong.

“Yah, gue juga kaga ngarti, Bos,” timpal Yong mengikuti logat Bram.

Obrolan mereka pun mengalir ke kehidupan pribadi Yuyun. Di mana Yuyun sekolah sebelumnya, di sana aktif main basket atau enggak, kenapa pindah sekolah ke SMAN 98, juga pertanyaan dari mana cewek baru itu mengenal Yong.

“Yun, elu harus tau. Pas awal masuk, Si Kunyuk ini punya fans lho.”

“Oh iya iya iya! Gua inget cerita itu. Hahaha,” Karin nimbrung.

“Masa? Yah, gak heran sih.” Yuyun menanggapi.

“Eh udah dong. Dibahas mulu. Malu nih.”

“Sejak kapan Yong punya malu?”

Yong hanya ketawa. Dia pasrah dengan apa pun yang akan diceritakan teman-teman klubnya pada teman lamanya, sekaligus pendatang baru yang akan segera bergabung di klub basket mereka.

“Sampe sekarang masih gitu, Kak?” rasa penasaran Yuyun terpancing.

“Udah enggak, Yun. Sejak dia deket sama Becca,” Alfa yang menjawab.

Dua pasang mata itu langsung tertarik. Gun dan Jaya.

“Oh Si Becca Meida anak cheers ya? Yang rumahnya deket sekolah kan? Emang dia demen sama Yong?” celoteh Gun merepet bagai petasan murahan.

“Saya juga demen kalo sama Becca mah,” timpal Jaya cepat.

“Iya kalau Becca demen sama Yong, saya mau jadi pemain pengganti Yong kalau Yong capek. Gas! Gaaasss!”

Lihat selengkapnya