Unidentified Romance

jojoann
Chapter #4

Identifikasi III

Suara mencekam dari backsound film horror yang sedang ditonton para gadis itu terdengar hingga ke luar kamar. Kedua pasang mata mereka nampak tegang mengikuti gambar bergerak di layar komputer. Gak jarang mereka ketakutan dan menutup wajahnya masing-masing pakai bantal. Padahal Dina sudah menonton film ini di bioskop, tapi sudah lupa kapan akan dikagetkan. Sekalinya ingat dan bersiap diri, malah makin terkejut.

Malam ini, Dina memaksa Becca untuk menontonnya juga. Becca sebenarnya gak terlalu suka film horror, tapi berhubung dia gak tidur sendiri malam ini, dia mau. Nonton film seram sudah jadi agenda wajib mereka kalau Becca main ke rumah Dina.

Malam sudah begitu larut ketika mereka terduduk lemas. Capek. Serius, nonton film horror menguras energi. Perut Dina keroncongan. Bunyinya membuat mereka tertawa. Dina mengajak Becca untuk turun mencari makanan di dapur. Sayangnya sudah gak ada apa-apa. Masakan yang dibuatkan mamanya tadi sore sudah langsung habis dalam sekali makan sekeluarga. Termasuk untuk Becca yang sedang menginap di rumahnya. Lalu mereka pun memilih untuk membuat mi instan saja.

“Kenapa lu gak main sini pas liburan panjang kemarin? Pas kita lagi sibuk latihan cheers, lu malah main sini,” komentar Dina ketika mereka baru mulai memasak.

“Gak kepikiran, Din.”

“Alesan. Bilang aja sibuk sama pacar baru.”

Bibirnya terkulum. “Ya… itu improvisasi.”

“Improvisasi apaan dah?” Dina ketawa. Disusul Becca yang ikut ketawa.

Mereka lalu melanjutkan memasak tanpa banyak bicara. Ketika sudah duduk di meja makan dengan sendok dan garpu di tangan masing-masing, Nona Rumah pun kembali membuka percakapan.

“Kamu mulai pacaran sama Bang Leo dari kapan sih, Bec?”

“Hahaha. Kok kamu baru penasaran sekarang?”

Dina menggulung mi gorengnya dengan garpu. Dalam sekali suap, gulungan mi itu pun masuk ke dalam mulutnya. Terlalu besar. Dina salah perhitungan. Dia gak sanggup mengunyahnya sambil bicara. Setelah menelan setengahnya, dia baru bersuara.

“Lu kan sensian. Gua nunggu mood lu bagus aja buat nanya.”

“Elah, lebay. Gak segitunya juga kan gua.”

Dina mendecak lalu tertawa menggoda temannya yang pemarah.

“Lu sendiri kenapa gak cari pacar?” Becca berusaha mengalihkan topik.

“Ah gua bukan tipe yang gampang pacaran kayak lu, Bec. Harus beneran suka, baru bisa pacaran.”

“Ck, alesan…” Becca balas menggoda temannya itu, meskipun dia percaya Dina berkata jujur.

“Jadi kapan?” Dina kembali mengarahkan pembicaraan mereka malam itu pada hubungan Becca dan Bang Leo.

Cewek itu membuang napasnya melihat kegigihan Dina. Dina balas meringis. Memperlihatkan sisa-sisa mi yang nyelip di antara deretan giginya.

“November. Tanggal 19.”

“Ih tanggalnya jelek!”

“Kok gitu?” Becca merengut.

“Februari ngerayain Valentine trus lima hari kemudian ngerayain tanggal jadian dong? Mepet. Boros kalau ngerayain dua event sekaligus,” kata Dina. “Siapa yang nembak?”

Becca tertawa. Menjelaskan, mereka tidak suka merayakan tanggal jadian mereka seperti pasangan kebanyakan. Entah dengan Valentine. Seminggu lagi adalah Valentine pertama yang akan mereka lalui.

“Dia yang nembak. Awalnya aku kira dia baper gara-gara diaku-kamuin. Orang Jakarta kan gue-elo banget. Walaupun kuliah lama di Bandung, dia tetep ngomong pake gue elo sama temen-temen kampusnya. Panggilannya juga Abang. Macam Si Bram, bocah basket itu deh,” ceritanya kemudian.

“Taunya dia serius?”

Becca mengangguk.

“Eh bentar deh. Kalau Bang Leo kuliah di Bandung, kenapa dia jauh-jauh magang di Cibinong?”

Becca tersenyum hangat.

“Katanya, kuliah di Bandung itu permintaan mendiang kakeknya Bang Leo. Beliau ingin punya cucu lulusan kampus tempat Bang Leo kuliah sekarang. Terus pas giliran magang, ibunya bilang ada baiknya kalau di Cibinong, sekalian jagain saudara perempuannya yang juga baru ngekos di tempat dia tinggal sekarang.”

Dina mengangguk-angguk. Dia cukup kagum pada sosok Leo yang jauh dari sifat egois.

“Trus kamu suka sama Bang Leo?”

“Ya suka, makanya aku terima.”

“Masih suka sampai sekarang?”

Becca hanya terdiam. Dia pura-pura sibuk menghabiskan mi rebusnya.

“Kalau Yong?” pancing Dina.

“Kenapa Yong lagi? Dia itu temenku.”

“Kalau Yong suka sama kamu gimana?”

“Ya itu kan hak dia buat suka sama siapa pun.”

“Woooow, Becca udah dewasa nih…” komentar Dina sambil menandaskan isi piringnya. Lalu mencomot kuah dari mi rebus di mangkok temannya. Dia berdeham, “Tapi… kalau Yong nembak lu, gimana?”

Becca tersedak. Buru-buru lari mengambil air minum dari dispenser. Dina tepat sasaran. Pertanyaan itu membuat Becca teringat dengan beberapa perlakuan khusus Yong yang baru ditampakkannya sejak dia mengantar Becca menjenguk Bang Leo tempo hari. Atau mungkin Becca yang baru menyadarinya sejak itu.

“Din, aku cuma cerita ini sama kamu. Jangan bilang siapa-siapa, ya?”

“Sejak kapan aku bawel soal rahasia kamu? Ya kecuali gara-gara suara keras aku. Hehehe.”

Becca meringis. Ia memeluk sahabatnya erat-erat. Dia merasa sangat beruntung bisa bertemu dengan teman yang berhati malaikat seperti Dina. Juga Yong, meskipun ia yang akan menjadi subjek pembicaraan mereka malam ini. Selesai meletakkan peralatan makan yang kotor di tempatnya, mereka kembali naik ke kamar Dina. Dan bercerita segala sesuatunya tentang laki-laki yang bernama Yong Al Komar.

*

Waktu itu, selepas kunjungan Becca yang ditemani Yong ke kosan Bang Leo sore itu, Bang Leo masih bersifat biasa saja. Baru setelah menyadari Yong adalah murid laki-laki yang sering dilihatnya berjalan pulang bersama Becca, pacarnya itu pun mulai mempertanyakan hubungan mereka. Bang Leo pertama kali menanyakannya saat dia menelepon Becca di malam hari, suatu kebiasaan yang mereka lakukan di jadwal yang mereka sepakati. Becca menjelaskan bahwa dia dan Yong memang sudah dekat sejak mereka tahu kalau rumah mereka berdekatan. Dan meyakinkan bahwa mereka adalah teman sejak saat itu hingga sekarang. Di suatu kesempatan, ketika mereka berdua sedang bertemu, Bang Leo sempat menyinggung hal itu lagi.

“Aku juga gak masalah kalau dia ada rasa sama kamu. Selama itu satu arah,” begitu jawaban Bang Leo ketika menerima penjelasan dari Becca. “Tapi… kalau kamu juga suka sama dia, berarti aku yang ngeganggu,” lanjutnya dari seberang sana. Suaranya terdengar cukup lirih.

Remaja cantik itu hanya bisa terdiam mendengar kata-kata pacarnya. Dia begitu dewasa dan bijaksana. Sepertinya itu yang selalu membuat Becca meleleh, dan mau menjadi pacar Bang Leo saat dia ditembaknya. Tapi sekarang sedikit berbeda. Becca tidak bisa menetapkan apa yang sungguh dirasakannya. Ada suatu variabel, atau seseorang, yang mulai menggoyahkan perasaannya.

Bang Leo menangkap gelagat bingung Becca. Dia mengusap pipi halus gadis itu dengan punggung jemari tangannya. Mengatakan dia akan menunggu. Tidak usah terburu-buru. Jawaban terbaik akan dibisikkan oleh semesta melalui waktu. Becca semakin terenyuh.

Harus diakui bahwa Bang Leo adalah sosok laki-laki romantis. Dalam pendekatannya dia tidak pernah intens mengajak chatting atau menelepon, tapi dengan cara-cara unik yang menurut kebanyakan orang terlalu kuno. Lucunya cara kuno itu justru berhasil pada Becca. Suatu hari dia menghampiri Becca untuk memberikan film Jerman yang baru saja ditontonnya. Katanya, itu film bagus tentang seorang guru yang mengajar bahasa Inggris menggunakan sepak bola di Jerman. Dia ingin Becca menontonnya dan mengajak perempuan itu bertemu di akhir pekan. “Untuk mendiskusikan film itu,” kata Bang Leo beralasan. Becca pun setuju. Maka hari itu pun, menjadi hari pertama mereka nge-date.

Waktu bergulir tak terasa. Seiring berjalannya waktu, mereka menemukan banyak kecocokan satu sama lain. Bang Leo, mahasiswa yang dikiranya adalah seorang yang logis, ternyata masih saja sering mengecek horoskop.

“Untuk lucu-lucuan,” belanya, “kamu zodiaknya apa?”

“Gemini.”

“Cocok dong. Leo sama Gemini kan cocok.”

Becca tertawa. Entah yang dikatakan Bang Leo itu benar atau sekedar mencocok-cocokkannya sebagai modus.

Dulu mengenangnya terasa begitu hangat. Sekarang semua itu malah membuat Becca merasa berat. Seharusnya dia bisa terbang bebas, tapi kebebasan yang diberikan pacarnya saat ini justru malah membuatnya merasa bersalah. Dia merasa berhutang budi. Di sisi lain, Yong seolah membuka pintu lebar-lebar menanti kedatangan Becca. Dan lagi, akhir-akhir ini dia mulai merasa Yong selalu mempunyai magnet yang membuat Becca terus-terusan tertarik ke arahnya.

Becca mereka ulang pertemuan pertama mereka. Jauh sebelum mereka saling curiga karena kesalahpahaman masing-masing. Sebelum Yong mengira cewek itu adalah seorang fans yang sedang menguntitnya. Becca pernah melihatnya berjalan membelakanginya dalam perjalanan pulang. Punggung Yong yang lebar tetap terlihat kokoh meskipun tubuhnya kurus. Dia tahu mereka sekolah di SMA yang sama. Tapi tetap tidak ingin menyapanya lebih dulu, sama seperti sikapnya pada kebanyakan lelaki. Namun lucunya, Becca menunggu disapa oleh Yong.

Lalu dia berpikir. Kenapa dia harus menunggu saat itu?

*

“Terus kenapa kamu nunggu?” tanya Dina. Jari-jari lentiknya menekan-nekan ujung hidungnya. Berusaha membersihkan komedo sambil ngobrol dengan Becca yang sedang berbaring santai di sebelahnya, mengamati apa yang dilakukan Dina dari ujung lain tempat tidur.

“Gak tau.”

“Mungkin sebenernya kamu suka.”

Sesuatu di dada Becca seperti melejit, tapi dia menepis. Denial.

“Ihh… gak mungkin!” katanya buru-buru. Dina langsung mendengus mendengar respons Becca.

“Mungkin aja, tau.... Elunya aja yang dablek gak sadar. Trus Yong sekarang gimana? Kamu malah banyak ceritain soal Bang Leo barusan. Kan gua gak kepo soal dia. Sama dia mah udah ketemu tiap hari. Bosen.”

Betul juga, kata Becca dalam hati. Gak heran Dina bosan dengan cerita soal Bang Leo, Dina kan bertemu guru magang itu hampir tiap hari. Dia kelas bahasa. Pasti Bang Leo masuk kelasnya lebih dari dua kali dalam seminggu.

“Yong minta aku bikinin dia puisi, masa?”

“Hah? Buat apaan?” Dina mulai kembali bersemangat. Matanya berbinar tanda haus akan gosip.

“Gak tau. Aku juga heran. Hahaha…” Becca ketawa lepas.

Tiba-tiba Dina yang berpostur mungil itu berguling-guling di kasur, ke arah temannya. Ketika sudah di depan muka Becca, dia berhenti.

“Eh Bec, ngomong-ngomong, lu tau murid baru di kelas X-5 itu kan?”

“Oh Yuyun? Tau, Yong pernah cerita. Dia temen lama Yong. Kenapa?” Becca gak tahu kalau Yong dulu memang pernah suka pada Yuyun. Yong gak cerita. Mungkin belom, mungkin juga dia gak mau karena hal itu udah lewat dan gak ada hubungannya dengan Becca.

“Oh gitu! Pantes mereka langsung akrab. Aku kira dia itu mantannya Yong, yang masih ada rasa sama Yong.”

“Enggak… Mereka temen dari kecil. Gak mungkin—” Kalimat Becca gak sempat diselesaikan. Dina mengangkat tangannya. Telapak tangannya menghadap Becca. Dia terduduk tegak sekarang. Nampak berpikir.

“Mereka mungkin temen lama, tapi bisa jadi ada rasa kan? Even itu cuma salah satunya. How?”

“Mungkin sih…” tanggap Becca setelah mencerna kata-kata Dina.

“Hmm. Ngerasa kesaingan nih…” goda Dina.

“Apaan sih? Enggaklah!” nada Becca mulai naik.

Dina malah makin menggodanya. Becca sempat cemberut, tapi sebentar kemudian dia sudah ketawa lagi setelah dibujuk-bujuk. Lalu dia menceritakan tentang Yong yang mengutarakan kata-kata manis di sore setelah mereka menjenguk Bang Leo. Kejadian itu membuatnya baper di awal semester.

Mereka terus bercerita sampai akhirnya mereka benar-benar kelelahan dan tertidur tanpa melihat jam lagi.

*

Tangannya sibuk mengipasi angin agar bergerak ke arahnya. Udara Cibinong malam itu gerah banget. Bikin orang ingin mandi lagi malam-malam. Makin gerah karena memikirkan hubungannya dengan Si Pacar dan Si Penagih Sajak. Sudah beberapa hari lewat setelah Becca menginap di rumah Dina. Becca teringat kata-kata Dina, juga pertanyaan Dina. Dasar cewek, gampang banget kepikiran macem-macem. Huuuh!

Becca senyum ketika ingat Yong mengusap puncak kepalanya saat itu, juga kalau ingat kata-katanya. Juga karena Yong memintanya dibuatkan sajak oleh Becca. Bukannya itu berarti Becca spesial untuk Yong? Ah, tapi dari dulu Yong udah deket sama aku dan gak pernah ada apa-apa! Bantah Becca lagi. Yong juga gak pernah kelihatan terganggu sama hubungan aku dengan Bang Leo. Atau aku yang gak peka?

Becca jadi merasa semakin mengambang dengan perasaannya. Sebentar lagi Valentine, kata Dina waktu itu. Ah terus kenapa? Kan baiknya juga gak usah ngerayain yang begituan. Menunjukkan kasih sayang kan baiknya setiap hari. Fixed! Aku gak mau nyiapin apa pun buat Bang Leo di hari Valentine nanti, Becca memutuskan.

*

Jarum pendek jam sudah melewati angka dua, sedang yang panjangnya di angka empat. Penanda waktu pulang sekolah bagi kelas X sudah bunyi dari dua puluh menit yang lalu. Tiba-tiba seorang murid laki-laki berlari kencang dari dalam kelas. Dengan helm yang sudah melekat di kepalanya. Juga ransel yang sudah digendongnya. Dia berlari kesetanan, dikejar-kejar oleh beberapa temannya. Sudah habis sepuluh menit siswa berkulit gelap dan berbibir super tebal itu lari kian kemari menghindari teman-temannya. Akhirnya dia tertangkap saat hendak menyambangi motornya di lapangan parkir tengah sekolah. Dua orang temannya berhasil mengambil kunci motor dari saku celana seragamnya. Helm dan tas ranselnya ikut dilucuti. Dia yang ternyata berambut keriting itu, digiring ke warung tenda biru.

Para murid kelas XI dan XII mulai bubar dari kelas masing-masing. Kelas Yong bubar sedikit lebih cepat dibanding kelas XI yang lain. Melihat kehebohan di lapangan tengah, dia segera mengikuti jejak teman-temannya ke warung. Begitu sampai di sana, otaknya langsung menangkap apa yang sedang terjadi. Anak lelaki berkulit hitam, berbibir super tebal, dan berambut keriting itu sedang berulang tahun. Dia sudah basah, kemejanya ditanggalkan. Hanya memakai kaus dalam. Itu pun sudah basah dan kotor terkena noda berwarna cokelat. Entah apa itu. Rambut keritingnya pun kelihatan basah dan berminyak.

Lihat selengkapnya