Pagi-pagi benar Becca sudah siap dengan seragam sekolahnya. Buku-buku pelajarannya sudah dia siapkan tadi malam. Jemarinya menggapai selembar kertas di meja belajarnya. Kertas berwarna merah muda yang sudah ditulisinya semalam, sambil senyum-senyum sendiri. Dengan terampil ia melipat-lipat kertas itu menjadi origami pesawat tempur. Atau mungkin pesawat sipil. Apa sajalah, Becca gak peduli.
Ibu mengetuk pintu kamarnya, mengingatkannya untuk sarapan. Becca segera keluar membawa tas ransel dan jaket klub cheers-nya. Menyimpannya di sofa ruang tamu lalu menuju ruang makan. Ia duduk bersama Ayah untuk sarapan. Ayah sempat menanyainya soal Bang Leo. Lebih tepatnya, Ayah baru berani menanyakannya.
“Masih canggung sih Yah, kalau ketemu di sekolah. Apalagi kemarin ini malah ketemu terus seharian. Tapi yaudah, lama-lama juga bakal biasa.”
“Iya, apalagi kebantu sama Yong,” celetuk Ibu tiba-tiba.
“Apaan sih, Buuu? Pagi-pagi udah nyebut nama Yong?”
Nampaknya Ibu diam-diam curiga, Yong turut ambil bagian di balik putusnya Becca dan Leo. Tapi buat Ibu itu sah-sah aja. Namanya juga masih pacaran, belum tahu siapa yang benar jodoh. Jadi Ibu ketawa-ketawa aja melihat perjalanan putri bungsunya seperti itu. Dulu waktu masih muda, Ibu juga begitu. Ya dong, waktu muda Ibu gak kalah populer dari Becca.
“Loh emang gak boleh? Anaknya udah nangkring di depan dari tadi. Ibu suruh masuk, gak mau.”
Becca terbelalak. Ibu ikut kaget. Ayah sih gak terganggu dan tetap melanjutkan sarapannya dengan tenang. Becca mengintip keluar melalui jendela. Dilihatnya cowok itu sudah siap dengan jaket abunya. Tanpa menyapa Yong sama sekali, dia kembali lagi ke meja makan, menyelesaikan makannya cepat-cepat. Ibu senyum-senyum memperhatikan Becca.
“Ini bekelnya Ibu masukin tas ya.”
Becca mengangguk-angguk pasrah. Dia fokus dengan sarapannya. Ditenggaknya segelas air putih yang sudah disiapkan Ibu dengan tergesa-gesa. Sehabis memakai jaket klub cheers-nya, Becca pamit, lalu cepat-cepat keluar. Kaki Becca sudah satu langkah di luar batas pintu ketika Ibu memanggilnya.
“Tasnya?” tanya Ibu.
Becca balik lagi dan menggendong tas ranselnya.
“Heran bisa ketinggalan, segitu tas sama jaket sebelahan,” komentar Ibu setelah Becca berdiri di luar bersama Yong. Yong cengengesan mendengarnya. Becca mendadak salah tingkah. Entah karena ketahuan buru-buru ingin pergi bareng Yong, entah karena ingat surat pesawat tempurnya, entah karena bertemu Yong, entah karena semuanya.
“Emang Bu, Becca belakangan ini aneh. Ada yang korslet kayaknya. Masa kemarin dia nyebut-nyebut kutang di depan saya?”
Ibu ketawa berderai. Yong mulai membahas detail peristiwa hutang-kutang yang terjadi kemarin sore. Sampai kemarin malam pun, sebelum dia tidur dan tiba-tiba ingat peristiwa itu, dia langsung ketawa ngakak. Bibinya sampai datang menghampiri. Mendengar itu, Becca gak terima. Dibilangnya Yong salah dengar lalu langsung ngeloyor pergi. Yong yang sudah menunggunya dari tadi malah ditinggal duluan. Cowok itu pun pamit lalu berlari mengejar Becca yang belum jauh.
“Bec, udah baca yang dari aku?” tanya Yong setelah akhirnya bisa menyusul Becca. Dia nekat nanya. Udah siap mental sejak bangun tidur pagi ini.
“Udah,” jawab Becca singkat dan ketus, tapi Yong gak ciut. Dia tahu Becca cemberut karena hal yang lain.
“Gimana?” Yong meringis menunggu tanggapan Becca. Sepintas Becca tersenyum.
“Kenapa harus anjing?”
“Gak tau. Gara-gara yang di luar pagernya anjing.”
“Hah?”
Yong tertawa kecil. Merasa gak perlu membahas soal surat itu lagi. Dia cukup memancingnya supaya Becca ingat untuk membalasnya. Yong belum tahu kalau Becca ternyata sudah menyiapkannya.
Sambil terus jalan, Yong meregangkan tubuhnya lalu mulai berbasa-basi. Becca menanggapi seadanya. Bukannya malas, cewek itu kembali teringat akan kegelisahannya: Yuyun dan pesawat tempurnya. Dia ingat kemarin Yuyun bilang kalau dia tahu kondisi Yong tapi gak boleh bilang pada siapa pun. Ketika mereka berbelok ke jalan utama, ia memberanikan diri untuk bertanya.
“Yuyun tau soal keluarga kamu?” Becca bertanya dengan hati-hati. Setelah lama berpikir, dia berhasil memilih kata-kata yang terhalus.
“Enggak. Rumah kita emang sebelahan pas kecil, tapi dia udah pindah ke luar kota sebelum orang tua aku meninggal.”
“Terus pas dua hari gak masuk itu kamu cerita sama dia?”
Yong menggeleng. Becca terdiam. Dia jadi curiga, kenapa Yuyun harus berbohong mengenai sesuatu yang sebenarnya tidak diketahuinya.
“Kenapa emang?” Yong bertanya balik.
“Enggak, aku kira dia tau,” jawab Becca. Ada sedikit rasa lega di dadanya.
Yong menatap Becca lugu. Kemudian melihat anak-anak tongkrongannya sudah ramai berkumpul. Tepat sebelum mereka sampai di warung tempat nongkrong Yong, diam-diam Becca menyelipkan origami pesawat tempurnya ke saku jaket Yong. Saku kanannya sekarang sudah berisi surat Becca! Yong yang sudah sibuk menyapa teman-temannya, tidak menyadari apa yang dilakukan gadis itu.
Buru-buru Becca kabur sebelum Yong sadar. Di tengah jalan, dia sempat berpapasan sama Koko. Minta maaf gak ngabarin kalau Becca udah ketemu Yong kemarin. Koko gak marah. Toh sekarang juga bisa tanya pada Yong langsung, begitu jawaban Koko. Becca pun senyum dan lanjut berjalan ke sekolah.
Dari warung, Aldi memperhatikan Becca dan Koko saat mereka berpapasan tadi. Ingat Aldi kan? Bocah terklimis di awal masuk semester ganjil. Bocah itu sudah tidak serapi dan seklimis awal masuk semester, tapi untunglah dia masih konsisten soal mandi pagi. Saat Koko gabung dengan mereka, Aldi mulai berkoar-koar.
“Eh Tong, lu harus tau kelakuan Si Koko pas gak masuk,” Aldi mengadu pada Yong.
“Kenapa?” Yong penasaran. Dia tersenyum lucu. Lesung pipitnya terbentuk.
“Nah kan. Ini nih, kompor…” komentar Koko.
Aldi tidak menggubrisnya. Dia meminta teman lainnya untuk pura-pura jadi Becca dan dia jadi Koko. Dia memperagakan potongan adegan Koko yang mendorong punggung Becca saat mereka hendak mencari Yuyun ke kelasnya.
“Ah gak gitu!” Koko gak terima.
“Asli, Tong! Asli! Nyok mau taruhan berapa dah?” Aldi menantang Koko.
“Tau dari mana lu?” tantang Koko balik.
“Lah kan gua sekelas sama Becca, Tong! Hahahah.” Aldi menggunakan kartu asnya. Dia memang tidak komen apa-apa saat itu. Hanya diam-diam memperhatikan dari kursi belakang kelas. Mendengar itu, Koko terdiam kalah.
Yong cengengesan melihat tingkah kedua temannya. Dia sama sekali tidak tersinggung, malah ikut berkomentar memojokkan Koko untuk menghidupkan suasana. Sambil ngobrol, Yong refleks memasukkan kedua tangannya ke saku jaketnya. Yong merasa tangan kanannya menyentuh suatu benda asing di dalam saku itu. Dia mengambilnya keluar. Origami pesawat lecek dari kertas HVS berwarna pink. Dengan barisan-barisan kalimat di salah satu sisinya. Gawat! Sepertinya pesawat tempur Becca telah memasuki zona musuh. Bersiap perang.
“Apaan tuh, Tong? Surat cinta ya?” tanya Aldi iseng. Dia mencomot kertas itu dan membukanya sebelum Yong sempat bereaksi.
“Oooh… puisi! Puisi! Nyok, nyok Entong semua pada kumpul di mari!” teriak Aldi. Anak-anak lain mulai berkumpul di belakang Aldi. Ikut membaca isi surat tersebut.
Yong pasrah. Dia duduk di bangku warung. Dilihatnya Omlikum ikut menjulurkan kepalanya ingin mendengar, puisi seperti apa yang dibuatkan untuk Yong. Dia menggengam segelas kopi di tangan kirinya. Yong menghampiri. Dia duduk di bibir pintu warung sambil meminta kopi dari gelas Omlikum sesesap dua sesap.
“Gua bacain nih ye?” tanya Aldi minta izin Yong, tapi ujung-ujungnya dia tidak perlu persetujuan yang punya surat, “wahaha lucu nih! ‘Anjing Tanpa Tuan’ judulnya,” dengan penekanan pada kata ‘anjing’.
Anak-anak menyimak sambil berkomentar sesekali. Mereka mulai berkumpul lebih rapat.
“Buruan, keburu masuk nih!” seru Manta, si cowok tengil yang selalu memakai topi.
Aldi berdeham. Suara cemprengnya mulai berkumandang. Diikuti oleh sorak-sorai para pendengar tiap kali Aldi selesai membaca sebaris. Yong pura-pura ngobrol dengan Omlikum di dalam warung. Omlikum yang sebenarnya ingin mendengar puisi yang dibacakan oleh Aldi jadi tidak bisa berkonsentrasi karena diajak ngobrol.
“…anjing ini tak bertuan, sama seperti tuan yang tanpa puan,” Aldi semakin menghayati membaca puisi itu. Pendalamannya berlebihan.
Belum selesai puisi itu dibacakan, bel tanda dimulainya pelajaran sudah berbunyi. Aldi membacanya cepat-cepat, tapi tangan Yong sudah berhasil merebutnya kembali. Dia buru-buru kabur menuju kelasnya.
Selama jam pelajaran, tangan Yong gatal ingin membuka surat itu lagi. Dia sendiri belum membacanya secara langsung. Tapi gak bisa. Ada saja yang membuatnya gak bisa membaca surat itu diam-diam. Saat pergantian jam pelajaran, Yong berlari ke toilet. Setelah lama di dalam, Yong keluar dari salah satu bilik sambil senyum-senyum. Dia jadi teringat hari di mana dia menulis sajak untuk Becca. Waktu Yong nulis, Becca masih berpacaran dengan Leo. Yong sama sekali gak tahu kalau Becca akan putus beberapa hari kemudian. Lewat surat sajak yang ditulisnya, Yong berharap Becca bisa mengerti maksudnya meminta Becca menuliskan sajak untuknya selama ini. Dan kelihatannya, Becca memang mengerti! Yong bisa menangkapnya dari surat pesawat tempur Becca. Senyumnya semakin lebar.
Dilipatnya kertas sajak dari Becca yang baru dibacanya tadi. Lalu dimasukkan ke saku celana seragamnya. Tapi sedetik kemudian dikeluarkannya lagi, berpikir itu bukan tempat yang aman. Dia mengeluarkan dompet yang sudah lusuh dari saku belakang celananya. Diselipkannya kertas surat itu di sana. Semoga lebih aman, batinnya.
Anjing Tanpa Tuan
Sedang apa ya Tuan itu?
Dari tadi mengamati anjing liar di depan rumahku
Apa dia mengira anjing ini tinggal di rumahku?
Kau salah, Tuan
Anjing ini tak bertuan
sama seperti Tuan yang tanpa Puan
Aku sungguh tak keberatan
jika anjing liar itu dipelihara Tuan
dan kau melihatku sebagai perempuan
Yang ketiga dari Becca untuk Yong
Cibinong, 12 Maret 2019
*
Beberapa hari terakhir, siswa SMAN 98 tengah disibukkan dengan persiapan ujian tengah semester. Lepas dari minggu UTS, kegiatan belajar-mengajar di sekolah kembali seperti biasa. Tapi, bagi anggota Faboola, kesibukan mereka justru bertambah. Mereka akan mengikuti kompetisi cheerleading yang diadakan oleh salah satu universitas di Jakarta. Kompetisi itu rutin diselenggarakan setahun sekali. Pesertanya datang dari seluruh SMA se-Jabodetabek. Waktu yang tersisa untuk persiapan mereka tinggal dua minggu lagi. Makanya jadwal latihan mereka kian ketat tiap minggunya. Hal serupa dialami oleh klub basket dan futsal. Mereka pun akan mengikuti kompetisi dari penyelenggara yang sama.
Hitungan satu sampai delapan terdengar nyaring dari dalam aula, memantul begitu saja di telinga Becca. Becca Meida, gadis itu jadi tidak bisa berkonsentrasi sejak Yuyun bicara dengannya barusan. Dia baru saja kembali menikmati kesibukannya berlatih cheerleading setelah sekian lama berkutat dengan ujian. Tapi, tiba-tiba Yuyun malah masuk menabrak rutinitas itu, mengatakan hal-hal yang menyebalkan dengan cara halus yang dibuat-buat.
“Kakak kan udah pacaran sama Kak Leo, kenapa masih bikin Yong bingung?” tanyanya ketika berpapasan dengan Becca menuju ruang ganti.
Becca maklum dengan asumsi Yuyun saat itu. Memang banyak yang belum tahu kalau dia sudah putus dengan Leo. Dia pun gak ingin bilang yang sebenarnya pada Yuyun. Lagipula, memang dia mau percaya kalau Becca dan Leo sudah putus? Jadi, Becca diam saja. Dia terbiasa gak menanggapi nyinyiran orang-orang di sekitarnya. Walaupun sering dipuja-puji oleh teman-temannya, dia juga cukup sering dicibir oleh cewek-cewek di sekolahnya. Oleh mereka yang iri dan mungkin merasa tak mampu, lalu mencoba menutupinya dengan mencibir Becca. Seolah itu akan mengubah situasi.
“Kakak tau orang-orang bilang apa tentang Kakak?” tanya Yuyun lagi. Dia mengikutinya sampai ke ruang ganti.
Telinga Becca mulai panas. Dia paling benci dengan pertanyaan ini.
“Temen kelas Yuyun bilang, Kakak itu—”
“Aku gak mau denger!” sentak Becca.
Yuyun kaget. Dia belum benar-benar mengenal karakter asli Becca. Dia pikir cewek yang sering digosipkan dekat dengan Yong itu seseorang yang lembut dan pasrah. Cewek banget. Seseorang yang gak akan melawan kalau ditekan. Tapi analisisnya salah besar.
“Orang mau bilang apa, gua gak peduli! Bukan urusan gua! Nah, elu…” Becca menunjuk Yuyun tepat di mukanya, “gak usah urusin gua! Lu mau suka sama Yong kek, lu kasian sama dia kek, itu terserah elu! Gua gak akan larang. Dan gua mau deket sama siapa, punya pacar berapa, itu juga urusan gua!” bentak Becca marah sambil melangkah pergi dengan gusar. Becca benar-benar terdengar marah.
Beberapa siswi yang ada di ruang ganti tadi sempat mencuri dengar pembicaraan mereka berdua. Termasuk Dina dan teman-teman cheerleader-nya yang juga sedang ganti baju di sana. Dina langsung menghampiri Becca setibanya mereka di aula untuk latihan, tapi tidak sempat bertanya banyak. Lastri sudah mengajak mereka untuk melakukan pemanasan. Cerita pun terputus. Emosi Becca masih belum tersalurkan. Dia masih memendam rasa gelisahnya itu. Di ruang ganti tadi, bisa saja dia kelihatan menguasai diri. Seolah tak terganggu, tapi sebenarnya sangat mengganggu. Kini Becca tidak bisa berkonsentrasi dengan latihannya.
“Meida! Meida! Becca Meida!” teriak Lastri lantang. Semua langsung terdiam.
Becca gelagapan. Dia terlambat tiga ketukan. Bases yang lain sudah membentuk formasi, sedang ia masih sibuk mencari kelompoknya. Lastri menghampirinya garang. Becca merasakan tatapan teman-teman lainnya. Ada yang menatap kesal, ada yang merasa kasihan, ada juga yang menertawakan.
“Meida, kalau kamu gak fokus, kita semua kacau! Mau ikut tim inti atau enggak?”
“Mau, Kapten!”
“Kalau gitu, fokus! Dari tadi kamu telat terus! Gak peduli kamu punya masalah apa, tapi kalau hitungan satu sampai delapan udah dimulai, kamu harus fokus! Kita gak mau celaka cuma gara-gara masalah pribadi kamu! Jelas?”
Lastri marah besar. Becca mengerti kenapa kaptennya bisa sampai marah sebegitunya. Yang ada di depan mata mereka adalah kompetisi bergengsi yang Faboola menangkan tahun lalu. Akan lebih sulit untuk mempertahankannya daripada mencapainya. Apalagi waktunya sudah semakin sempit.
Suasana menegang. Melihat wajah-wajah yang tidak enak, pelatih menginstruksikan untuk istirahat sebentar. Dia memanggil Lastri untuk berdiskusi di pojok aula. Dina menghampiri Becca, mengusap-usap punggungnya sabar sambil menyodorkan sebotol air minum untuk sahabatnya. Becca tersenyum sambil menggeleng. Lalu mengacungkan botol air minum miliknya. Dina memilih diam selama Becca masih enggan untuk bercerita. Becca malah menanyakan gerakan dan formasi-formasi yang masih belum bisa dihafalnya. Setelah kurang lebih sepuluh menit, Lastri memanggil mereka kembali. Dia meminta maaf karena membuat suasana jadi lebih tegang.
“Aku minta maaf ya, tadi sempet bikin kalian kaget,” sifat manisnya muncul, entah dari mana. Dia menatap Becca, “terutama sama Meida. Harusnya aku gak begitu. Ya kalau kamu ada masalah, selesaiin dulu. Kalau butuh bantuan, bilang. Ini berlaku buat semuanya ya. Jangan sampai kita celaka karna kita gak fokus.” Lastri memang seperti punya tombol pengatur karakter di belakang lehernya. Kadang dia manis, kadang dia tegas. Sikapnya bisa berubah kapan pun dia mau.
Tahu-tahu tangan Lastri sudah merangkul Becca di sebelah kanannya dan anggota yang lain di sebelah kirinya. Anggotanya sudah hafal benar dengan tingkahnya itu. Dalam hitungan detik, mereka semua berangkulan. Dengan aba-aba dari Sang Kapten, mereka pun meneriakkan yel-yel. Ketegangan mencair seketika. Konsentrasi Becca pulih. Mereka pun kembali berlatih.
Karna hanya latihan tambahan, tidak ada sesi untuk tampil di depan masyarakat SMAN 98 setelah latihan di aula. Mereka istirahat sebentar. Tak lama, satu per satu dari mereka pergi berganti pakaian lalu pulang. Semuanya sepakat untuk berlatih kembali di hari Jumat, sesuai jadwal ekskur.
Becca mengajak Dina untuk mampir ke rumahnya karena dia ingin curhat. Dina setuju. Ketika kedua sahabat itu berjalan bersama menuju gerbang sekolah, seseorang berteriak memanggil nama Becca. Keduanya menoleh. Seorang cowok dengan kaus oblong kuning dan celana tim futsal sekolah datang menghampiri mereka. Bukan sosok yang familier buat kedua remaja cewek itu.
“Kayaknya kakak kelas. XII IPA… sekian,” bisik Dina, tidak mampu mengingat dari kelas mana tepatnya cowok itu berasal.
“XII IPA masih ikut latihan futsal hari gini? Bukannya mau UN?” balas Becca berbisik. Mulutnya komat-kamit dengan cepat.
Dina mau balas komentar, “kagak ngarti, tanya aja sendiri,” tapi tidak sempat karena kakak kelas itu sudah berada di hadapan mereka sekarang.
Laki-laki itu berbadan tegap, namun tidak terlalu tinggi. Mungkin sekitar 165 sentimeter, tidak terlalu jauh dengan tinggi Becca. Hal yang paling mencolok dari dia adalah bokongnya. Naik. Dan kulit legamnya yang sangat kontras dengan kaos kuning cerah yang dikenakannya. Tapi siapa sangka dia mampu memberikan senyuman maut di balik muka melownya itu. Cowok tersebut menjulurkan tangan kanannya, mengajak Becca bersalaman.
“Aku Si Tampan! Pangeran di lapangan futsal dan di laboratorium kimia. Boleh kenalan gak?” tanyanya dengan suara keras.
Becca dan Dina melotot. Mereka kaget dengan suara keras Si Tampan yang tidak benar-benar tampan. Dia hanya memiliki senyuman maut—dan pantatnya yang naik. Kedua siswi itu saling berpandangan lalu cekikikan. Setengah mati berusaha menahan bahaknya.
Becca akhirnya membalas juluran tangan Si Tampan yang gak beneran tampan itu. Tidak lupa Becca juga sekalian memperkenalkan Dina sebagai teman baiknya. Ketika Dina dan kakak kelas itu berkenalan, ujung matanya menangkap gerombolan cowok futsal sedang memata-matai mereka. Dina berani bertaruh, Si Tampan dan teman-temannya ini sedang bertaruh dan Becca yang jadi taruhannya. Sesuatu yang paling tidak disukai Dina. Prinsipnya: perempuan itu bukan komoditas, tidak semestinya dijadikan bahan taruhan atau candaan.
“Kakak lagi taruhan ya?” serang Dina.
Si Tampan tertawa sambil menggaruk-garuk kepalanya. Dia langsung mengaku.
“Ketauan ya? Hahaha, itu... biasa, anak-anak…” kata-katanya terputus.
Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut, Dina langsung menggamit lengan sobatnya. Ditariknya Becca untuk pergi menjauh dari cowok futsal itu, tapi Si Tampan mencegahnya.
“Sorry… gak maksud nyinggung. Cuma candaan aja,” lelaki itu berusaha membujuk.