Bertambahnya jarak dan berkurangnya waktu, tak langsung membuat rasa hilang. Hanya menjadi lemah dan teralihkan pada yang lain.
Riuhnya suasana bandar udara melanda gendang telinga. Soekarno-Hatta. Bandara tersibuk di Indonesia itu tak pernah absen dari bisingnya suara. Juga dari derap langkah para manusia. Kaki-kaki jenjang yang beralaskan sepatu pantofel menjadi salah satu sumbernya. Beberapa pasang kaki itu dimiliki oleh para pramugari yang melintas di tengah kerumunan. Mereka terlihat bercanda ria selepas sempat tegang di udara. Namun, satu di antaranya justru terlihat murung.
“Bec, ngeliatin apaan sih?” tegur temannya.
“Eh enggak kok, Mir. Gak liat apa-apa,” balas Becca.
Becca berbohong. Setiap kali memikirkan profesinya, Becca selalu teringat akan ucapannya dulu tentang menjadi pramugari. Terlebihnya, kepada siapa dia mengucapkannya: Yong Al Komar. Apa kabar ya lelaki itu? Sudah selesai pendidikan polisikah dia? Seperti apa dia sekarang? Terlebih lagi, masih ingatkah dia soal sajak kelima yang masih tertunggak? Becca cuma bisa menjawab dengan tersenyum pahit.
Dua tahun berlalu dengan cepat. Sejak pesta kelulusan dari SMA, Becca dan Yong meniti karier dan jalan hidup mereka masing-masing. Becca berhasil menjadi pramugari seperti yang ia pernah katakan pada Yong, meskipun maskapai penerbangannya belum sesuai harapan. Gadis itu akan mencoba peruntungannya lagi nanti, setelah kontraknya habis. Kurang lebih sekitar dua setengah tahun yang akan datang. Sedangkan Yong… Becca pun tak tahu bagaimana kabarnya sekarang. Mereka putus kontak secara perlahan.
Dina bilang, mungkin Yong mengganti nomornya dan gak memberi tahu Becca. Dina juga gak tahu nomor baru Yong. Kalaupun tahu, dia akan mengaku enggak tahu. Koko juga, mungkin karena sudah diancam oleh Dina yang sudah terlalu sensi pada Yong. Jangan tanya soal sosial media. Yong benar-benar orang yang anti dengan kehidupan sosial di dunia maya seperti itu.
Becca sadar, meskipun sempat berpacaran dengan seorang pilot di maskapainya, dia gak bisa bohong kalau bayang-bayang Yong masih sering menyelinap masuk di pikirannya. Yong yang dulu selalu menemani hari-harinya di masa SMA, kini sudah jauh dari jangkauannya. Cowok itu, yang dulu nekat mendekatinya saat ia sudah berpacaran dengan Bang Leo dan dengan berani mengaku sebagai penyusup kehidupannya, sampai Becca mau menuliskan sajak untuknya. Ah, sajak kelima itu… Sajak kelima yang tak pernah bisa dilupakannya. Dia bahkan hafal seluruh kata di dalamnya. Di malam dia teringat pada Yong, dia pasti menulis ulang sajak itu. Bodohkah aku, Yong?
“Beeeec, Becca?” teman sejawatnya, Mira, memanggil-manggil Becca. Dia sampai mengguncang-guncang tubuh Becca karena sejak lepas landas tadi, ketika berjalan di tengah ramainya bandara, hingga di tempat menunggu jemputan sekarang, Becca bengong melulu.
“Hey,” Becca membalasnya dengan senyum.
“Ya ampun ini anak. Segitunya ya habis putus sama Tora?”
Becca ketawa lalu berkilah. “Bukan soal Tora,” katanya. Memang bukan Tora, pilot mantan pacar Becca itu, yang jadi beban pikirannya sekarang, tapi seseorang sebelum Tora. Mira yang memang dasarnya doyan lelaki langsung terkikik centil. Ia tersenyum manja sambil menutup bibir merahnya.
“Asyik, boleh dong Tora jadi milikku?”
“Ambil,” jawab Becca sambil tertawa. Disambut Mira yang menjerit senang.
*
Semenjak masuk SPN18, Yong hilang kontak dari dunia luar. Bahkan dia seperti punya kehidupan baru. Dia juga mengganti nomor ponselnya. Terpaksa. Demi sinyal yang lebih kuat saat bertugas ke pelosok negeri katanya. Karena Yong malas harus punya dua nomor, dia pun membuang nomor lamanya. Beberapa kawan sempat dihubunginya setelah dia mulai bertugas di lapangan sebagai Bripda. Koko salah satunya, tapi Becca enggak.
Saat itu, Yong sedang mendekati seorang gadis yang juga ditugaskan di tempat yang sama dengan Yong. Tapi, baru juga sebentar, tanggapannya sudah negatif. Akhirnya Yong memutuskan untuk fokus melayani masyarakat. Lagipula, dia setengah hati. Dia sebenarnya masih sering teringat Becca. Waktu itu, kenangan yang tiba-tiba muncul, membuatnya semakin ingin menghubungi Becca. Namun, kemudian dia dengar gadis itu sedang berpacaran (lagi) dengan orang lain. Seorang pilot. Entah asisten atau pilot beneran. Intinya buat Yong, dirinya sudah dilupakan.
Yong bersyukur karena kesibukannya semakin menjadi. Dia pun perlahan bisa mengubur perasaan rindunya pada Becca. Gak jarang dia bekerja bagai kuda. Pulang ke rumah bibinya di Ciriung, hanya untuk makan dan tidur. Saking sibuknya, buang air besar pun kadang di luar rumah. Tapi tetap pada tempatnya. Kalau enggak, nanti berceceran dan meresahkan masyarakat.
Malam ini, sepulang bertugas dari daerah Pakansari, ingatan janji yang belum ditepati itu tahu-tahu menghantam dirinya. Meski remang, tapi Yong masih bisa mengingat janji itu. Sepanjang jalan pulang, dia mengemudikan motornya dengan perasaan yang oleng. Di depan rumahnya, dia berhenti sebentar. Memandangi pertigaan jalan menuju rumah Becca. Sesibuk itukah kami sampai dua tahun ini gak pernah ketemu? Padahal rumah kami berdekatan. Pikirnya. Memang sih, Becca jarang pulang ke Ciriung karena rute penerbangannya yang membuat Becca lebih banyak tinggal di kota lain. Jadwal Yong pun begitu acak tak menentu. Tapi masa sih sampai dua tahun kami sama sekali gak pernah berpapasan di jalan?
Tiba-tiba gonggongan anjing tetangga mengagetkan Yong dari lamunannya. Mata kecilnya segera bergerak mencari arah datangnya suara. Gak jauh dari gerbang perumahan, terlihat seekor anjing dirantai di luar pagar rumah tetangganya. Spontan Yong ketawa. Dia langsung teringat akan sajak yang pernah dibuatnya untuk Becca, ‘Anjing di Luar Pagar’. Aneh rasanya ketika semua hal kembali mengarah pada Becca dalam waktu semalam. Lalu Yong bergerak turun dari motornya. Menghampiri si anjing yang malang.
“Hey, anjing. Kalau lu liat Becca lewat, sampaikan salam gua buat dia ya.”
Anjing itu diam saja gak menjawab. Serem juga sih kalau dijawab!
“Atau, lu ketok pintu gua. Biar gua temuin Becca langsung. Siap, anjing?” tanya Yong sambil mengambil posisi hormat seperti sedang upacara.
Tapi, si anjing melengos tetap gak peduli. Dia malah meninggalkan Yong untuk tidur. Malam sudah larut, bahkan hampir pagi. Semuanya ingin tidur, termasuk si anjing. Yong pun menyerah dan segera merasa bodoh. Lagi-lagi dia ketawa sendiri sambil menggeleng-gelengkan kepala. Lalu menggiring motornya masuk ke garasi.
*
Cibinong bukan daerah yang romantis. Kering. Matahari terik. Tubuh jadi berkeringat. Gak ada alasan untuk menggigil kedinginan dan berpelukan mesra. Namun, Cibinong selalu membekas romantis bagi Becca. Gadis itu sedang pulang ke rumahnya di Ciriung. Berkumpul bersama orang tuanya, juga Teh Bella yang sudah bekerja di Jakarta.