Unlimited Hope

Lailatul Ramadhani
Chapter #2

POTRET ARUNIKA

Hembusan angin yang sejuk menyapaku pagi ini

Kicauan burung yang terbang bebas menghiasi arunika

Rupanya mentari tampak sedikit malu menampakkan sinarnya

Hai apa kabar mentari?

Kabut tipis disampingmu masih terlihat jelas

Apakah pagi ini kau akan muncul atau masih ingin bersembunyi di balik selimut putihmu?

Aku akan melihatmu pagi ini

Dan mungkin seterusnya

Aku merindukanmu

Tunggu aku…

Arunika…

 

Pagi ini aku melihat arunika di balik jendela kamarku. Tak sabar rasanya ingin segera keluar rumah, setelah dua minggu aku melewati rutinitas di minggu pagi untuk sekedar menghirup udara segar di pagi hari dan berjalan santai sambil bermain bulu tangkis bersama keluargaku. Beberapa hari lalu aku ujian tengah semester, aku begadang sampai larut malam hingga tak bisa bangun pagi. Tapi, kali ini pagiku semangat sekali.

“Pagi Papa… Mama… Esa…” kataku dengan perasaan senang, aku menuruni tangga dan menghampiri meja makan yang sudah di penuhi buah dan minuman. Maklum, keluargaku terbiasa makan di pagi hari karena kalau tidak makan kami akan merasa lemas dan tidak bertenaga. Tapi bukan makan nasi, kami biasa makan buah-buahan dan minum susu untuk mengisi perut kami yang kosong. Kalau makan nasi, kami akan cepat lelah dan ngantuk.

“Pagi sayang…” kata Papa, lalu meminum segelas susu yang sudah dipegangnya dari tadi.

“Ayo di minum dulu jus jambunya” Mama memberiku segelas jus jambu kesukaanku tanpa gula tanpa susu, aku lebih suka jus yang tanpa tambahan apapun, karena itu tidak akan mengurangi keaslian rasanya.

“Ini susu buat adik yaa” sedangkan adikku lebih suka susu putih yang manis, adikku yang lucu ini namanya Mahesa, panggil saja Esa umurnya masih 10 tahun.

Kami pun berangkat menuju lapangan yang cukup jauh dari komplek rumah dengan berjalan kaki, kami lebih suka olahraga pagi karena tidak begitu banyak warga komplek yang ikut olahraga sepagi ini dan suasana lapangan juga masih sepi.

Aahhh… akhirnya aku menghirup udara segar pagi ini. Tak lupa aku segera mengambil ponsel untuk mengabadikannya.

Arunika di pagi hari bersama keluargaku.

Cekrek… Post…

Aku mempostingnya di instagramku.

Instagramku dipenuhi oleh foto pemandangan alam yang ku potret sendiri, aku suka pemandangan alam, karena alam tidak pernah berbohong.

“Kakak, ayo lomba lari sama aku. Kemarin aku juara satu lomba lari tingkat sekolah loh” ajak Esa dengan penuh semangat. Tumben sekali dia mengajakku lomba lari biasanya dia tidak kuat olahraga berat apalagi lari, aku dan Papa sangat suka olahraga sedangkan Esa dan Mama tidak terlalu suka olahraga, mereka lebih cepat lelah meskipun hanya sebentar.

“Hahaha ayoo…” jawabku, kulihat dia sangat antusias sekali dan mulai berlari dengan cepat.

“Mama mau lomba lari juga?” tanya Papa.

“Nggak Pa, Mama kurang enak badan hari ini. Papa lari sama anak-anak saja ya” Mama terlihat sedikit pucat dan lemas, suaranya pun terdengar pelan.

“Yasudah… Mama duduk saja di kursi itu ya” kata Papa sambil mengantar Mama ke kursi putih di pojok lapangan.

Mama duduk tenang di kursi itu pandangannya mengarah ke langit merah untuk melihat arunika, sesekali Mama tersenyum. Entah apa yang dipikirkannya.

Kulihat Esa masih jauh, aku mempercepat langkah kakiku.

Ah… sebentar lagi mencapai garis finish… dan…

Wwuusshh…

“Yeay… aku menang” teriakku kegirangan sambil loncat-loncat.

Tapi, di mana Esa…

Kulihat ke belakang ternyata, Esa dan Papa berhenti di sana. Aku segera lari menghampiri mereka.

Setelah aku menghampiri mereka ternyata Esa pingsan.

“Pa… Esa kenapa?” tanyaku dengan perasaan khawatir melihat Esa tak sadarkan diri di pangkuan Papa.

“Asmanya kambuh lagi, untung saja Papa bawa inhaler. Harusnya kalian tadi jalan santai saja tidak usah lomba lari seperti itu” Papa merogoh kantong celananya untuk mengeluarkan inhaler dan matanya menatapku dengan tatapan yang tajam, Papa marah padaku…

“Maaf Pa… tadi Esa yang ajak aku untuk lomba lari, terus…” jelasku dengan suara pelan dan takut. Aku takut Esa kenapa-kenapa.

“Sudahlah… panggil Mama, kita pulang sekarang” Papa memutus pembicaraanku, dan segera menaruh inhaler di lubang hidung Esa. Aku pergi meninggalkan mereka dan menghampiri Mama yang tertidur pulas di kursi putih itu.

Lihat selengkapnya