UNIT 721

Januard Benedictus
Chapter #30

FASE KEDUA

 

Lapar. Itulah yang dirasakan Rick sekarang. Rasa lapar keji yang membuat tubuhnya meronta marah seperti orang gila, dalam kungkungan belenggu metal yang menjerat tangan dan kakinya. Aroma darah segar yang mengalir di pembuluh – pembuluh manusia yang berdiri di hadapan Rick, terasa begitu lezat bagi penciumannya yang kini setajam hiu. Tak ada yang diinginkan Rick selain menerjang maju, mencabik dan mengoyak leher yang menggiurkan itu dengan gigi – giginya sendiri.

Tidak! Sebuah suara di sudut benak Rick yang masih manusia memekik ngeri. Rick terkesiap kaget. Rasa lapar itu lenyap mendadak, berganti takut dan teror. Dia gemetar dari ujung rambut hingga ujung kaki. Bulir – bulir keringat dingin serta merta membanjir. Rick menatap nanar sekelilingnya, nafasnya memburu.

“Halo, Rick.” sebuah suara menyapa.

Rick berpaling, mendapati seorang perempuan bertubuh pendek dalam balutan jas laboratorium tengah tersenyum menatapnya. “S—siapa kau?” Rick tergagap.

“Seorang teman.” perempuan itu menyahut kalem.

“Teman? Kau—bukan—“Rick menggeleng panik “Aku tak mengenalmu!”

“Panggil saja Emma.” kacamata perempuan itu berkilat – kilat. “Salam kenal.”

“Dimana yang lain?” tuntut Rick.

“Yang lain?” sepulas senyum dingin tersungging di bibir Emma.

“Teman – temanku.” engah Rick. Rasa mual bergejolak di perutnya. Perasaan tak nyaman itu kembali lagi, perlahan penciumannya mulai menajam.

“Teman?” alis Emma terangkat, dia berjalan mendekati Rick, jemarinya menari lincah di atas komputer tablet miliknya.

“Jangan mendekat!” Rick menggeram, wajahnya mulai memerah, urat – urat di lehernya bertonjolan. “Kau bisa celaka!”

Emma tidak mengindahkan peringatan Rick. Dia malah melangkah lebih cepat. “Mungkin maksudmu, orang – orang yang meninggalkanmu?” Emma berhenti selangkah di depan Rick, mengarahkan komputer tabletnya.

Rick tercekat. Komputer tablet di depan wajahnya tengah memutar rekaman dari kamera pengawas. “Teman – teman.” Rick berkata lirih, melihat sosok – sosok yang dia kenal melenggang pergi, meninggalkan dirinya yang tergeletak tak sadarkan diri di lantai. “Tidak mungkin…mereka tidak—" Rick menggeliat dan menggeram sedikit. “Mereka pasti tidak bermaksud.” tubuh Rick gemetar hebat, berusaha menahan gejolak membunuh yang perlahan mulai menyeruak.

Emma mendengus sinis. “Aku tak yakin.”

Rekaman kamera pengawas itu berganti. Rick terbeliak kaget. Layar komputer tablet kini menampilkan interior bangunan mercusuar di pulau. Ada dua sosok di sana. Satu sosok yang terbaring lemah di sofa adalah dirinya sendiri dan sosok satunya yang sedang mengacungkan pistol ke arahnya.

“Dokter Lucy?” Rick terisak tak percaya, dadanya sesak. “Dia…dia…”

“Berusaha menghabisimu.” sambar Emma kejam.

“Tidak—tidak.” Rick menggeleng kuat – kuat. Airmatanya menderas.

“Bagi mereka, kau cuma beban…” lanjut Emma tanpa belas kasihan.

“TUTUP MULUT!” Rick berteriak histeris.

“…beban yang harus disingkirkan.”

Rick melolong nyaring, rahangnya mengatup ganas, dia menghambur maju dengan nafsu membabi buta, menyerang Emma.

Dengan cekatan Emma berkelit, mengambil senapan injeksi dari kantong jasnya lalu menghujamkannya ke leher Rick. Seketika, Rick ambruk. Lolongannya menyurut. Tubuhnya menyentak – nyentak sesaat, sebelum akhirnya tergeletak lemas di lantai.

“Ap—apa yang kau lakukan?” tanya Rick dengan nafas terputus – putus. Monster dalam dirinya dihempas lenyap dalam hitungan detik. “Kau menyembuhkanku? Aku—aku sembuh?” kata Rick parau, meraba bekas injeksi di lehernya penuh harap.

“Belum.” Emma menggeleng. “Efeknya hanya bertahan beberapa jam.”

“Apa?” Rick tersedak. Harapannya yang sempat terlambung sesaat kembali jatuh, hancur berserakan. “Sembuhkan aku, tolong.” Rick memelas, dengan tatapan mengiba. “Singkirkan monster ini dari tubuhku, kumohon.” Rick terisak. “Kumohon…”

“Aku akan menyembuhkanmu.” Emma menatap Rick lekat – lekat. 

“Benarkah?” Rick menarik lengan jas Emma “Kau mau? Kau bisa?”

“Sudah kubilang, aku temanmu.” Emma berjongkok di sisi Rick. “Dan teman yang baik pasti menolong, bukan meninggalkanmu seperti sampah.”

Lihat selengkapnya