Ruang dan waktu seolah terhenti dalam benak Laras. Alam pikir yang biasanya gaduh itu kini senyap dan kosong. Tanpa mimpi - mimpi yang mekar dan kenangan yang berputar. Segalanya membeku di satu titik kemudian lebur dalam satu momen hampa. Membuainya dalam nyaman. Senyaman yang dia rasakan dulu, sebelum dunianya jungkir balik.
“Teruslah begini.” Laras memohon agar dirinya direngkuh selamanya dalam keheningan.
“Bangun.” Satu suara tiba – tiba berdering nyaring dalam kekosongan. Merasuk entah dari mana.
“Tidak. Izinkan aku tinggal.” balas Laras memelas.
Namun suara itu membalas lantang. “Bangun.”
“Izinkan Aku tinggal.” Laras memohon lagi. Kehampaan yang mengelilinginya mulai luruh.
“Bangun!”
Keheningan di alam bawah sadar Laras rontok sepenuhnya. Suara mengerikan itu menghantam dan melontarkannya kembali ke dunia nyata. Kehangatan mulai menjalari jari – jarinya. Jantungnya kembali berdenyut. Paru – parunya kembali memompa udara. Dirinya yang tadi seolah melayang bebas tanpa tubuh, kini ditarik kembali dalam cangkang daging dan tulang.
Kelopak mata Laras membuka dengan enggan, segalanya tampak silau dan buram.
Aku bermimpi. Dia membatin. Mimpinya menyenangkan. Untuk pertamakalinya setelah sekian lama, dia bisa mencicipi lagi bunga – bunga tidur yang indah, meskipun hanya sesaat.
Jam berapa sekarang? Setengah sadar, Laras meraba pergelangan tangan kirinya. Kosong. Jam tangan -nya tidak ada. Mungkin tadi kulepas. Matanya kembali terpejam. Laras meraih ke sisi kiri tempat tidurnya, mencari permukaan meja nakas, tempat dia meletakkan ranselnya. Namun, bukan permukaan kasar meja yang disentuh jemarinya, melainkan butir-butir halus.
Laras tersentak ke posisi duduk. Kelopak matanya terbuka lebar.
Dimana aku? Laras memandang sekelilingnya dengan ngeri.