Garis pantai yang dilalui Laras seolah mengular tak kunjung usai. Dia berlari terengah – engah dengan peluh bercucuran. Betisnya panas, telapak kakinya nyeri. Berlari memakai sandal gunung memang bukan opsi ideal, tapi dia tak punya pilihan. Seseorang sedang kalut dan menunggu pertolongan di ujung sana. Dia harus bergegas.
“Sedikit lagi.” Laras menggeram. Memaksa tungkainya bergerak lebih cepat.
Tak lama kemudian, Laras menemukan sumber suara yang dia cari. Di depan sana, seorang pria muda sedang berjongkok, sambil mengguncang tubuh seorang wanita yang terbaring di pasir. Menyadari kedatangan Laras, pria itu melambaikan tangannya ke udara.
“Tolong!” serunya lagi.
Laras bergegas mendekat. “Kenapa dia?” tanya Laras cepat. Langsung memeriksa nafas dan denyut di leher wanita itu. Tidak ada.
“Ak-Aku tak tahu.” pria itu menggeleng cemas “Kucoba membangunkannya daritadi.”
Laras langsung menumpukkan kedua telapak tangannya di atas dada wanita itu lalu menekannya keras, berulang ulang. “Ayolah.” Laras bergumam tertekan, terus memompa tanpa henti. Menit – menit berlalu dengan tegang. Wanita itu masih tak sadarkan diri.
“Ap-apa dia sudah mati?” si pria bertanya ngeri.
“Tidak.”sambar Laras tegas, sambil terus memompa, peluh mengalir deras di wajahnya. Tak akan dibiarkannya wanita malang ini mati begitu saja. Dia tak bisa membiarkan hal seperti itu terjadi di depan matanya.
Tiba – tiba terdengar suara tersedak dan terbatuk.
“Dia bangun.”si pria menyeletuk girang. Nyengir lebar. Menatap Laras dengan penuh terimakasih. Kelopak mata wanita itu membuka perlahan. Laras menghela nafas lega, lalu jatuh terduduk di pasir. Dia berhasil.
“Dokter Lucy, kau baik – baik saja?” si pria bertanya.
“Kurasa begitu.” erang Lucy “Kita dimana, Rick?”
“Aku tak tahu.” kata Rick cemas “Aku hanya ingat, keluar dari ruang praktekmu, Dok. Lalu…tahu – tahu aku terbangun di atas pasir, kau terbaring di sebelahku, tak bernafas.”
“Aku tak bernafas? Ya ampun, maafkan aku. Kau pasti panik.” keluh Lucy.
“Bukan salahmu, Dok.” kata Rick mengulurkan tangannya ke arah Lucy. “Untungnya ada yang menyelamatkanmu.”
“Siapa?” kata Lucy dengan suara tertahan. Nampak kepayahan menegakkan punggungnya. Terganjal perutnya yang besar.
Astaga, dia hamil? Mata Laras melebar kaget, melihat perut Lucy. Dia terlalu fokus melakukan CPR tadi, sampai hal semencolok itu luput dari perhatiannya. Pelipis Laras berdenyut pening. Kita betul – betul harus keluar secepatnya.
“Dia.” kata Rick menunjuk Laras “Dia yang menyelamatkanmu Dok.”
Lucy menatap Laras lekat-lekat. “Terimakasih.” katanya sambil tersenyum kecil.
“Sama-sama.” Laras membalas dengan senyum kaku. “Namaku Laras.” dia memperkenalkan diri.
“Namaku Rick dan ini—”
“Lucy.” Laras menyambung.
“Yeah, Lucy. Dokter Lucy.” timpal Rick.
“Kalian tidak tahu bagaimana bisa sampai di sini?” Laras bertanya langsung tanpa basa – basi, sambil mencuri pandang waswas ke perut Lucy.
Lucy menggeleng. “Aku hanya ingat membereskan berkas – berkas setelah Rick pergi. Setelah itu….” Lucy angkat bahu.
“Sama. Aku juga tak ingat.” desah Laras, bertukar tatap bingung dengan kedua teman barunya. Selama beberapa saat mereka terdiam.
“Hei.” gumam Rick tiba – tiba, memecah keheningan “Sejak kapan aku punya tato?”
Secepat kilat Laras menoleh ke arah Rick. Dia juga?
Di lengan Rick yang terjulur, tampak sederet huruf dan angka hitam legam.
“Aku juga.” susul Lucy kaget.