Laras berguling resah dalam tidur. Alam mimpinya tengah dibanjiri arus air yang bergolak dan menggulung buas. Menerjang tanpa ampun dan menghanyutkan semua yang dilewatinya. Dalam kengerian itu, dilihatnya sepasang tangan menggapai dari dalam air, menjeritkan permintaan tolong bisu.
”Maafkan aku.” Laras mengigau, keningnya berkerut.
Salahmu. Salahmu.
“Salahku. Salahku.” racau Laras, dalam bisikan penuh penyesalan.
Salahmu.
Laras tersentak bangun. Angin pagi yang segar menghembusi wajahnya dibarengi kicau burung dan debur ombak. Lucy dan Rick masih tertidur. Tergolek dengan mata terpejam di depan tumpukan abu dan bara yang padam.
Mimpi itu lagi. Dia menghela nafas panjang sambil menyibak rambut panjangnya yang menutupi wajah.
Laras duduk termenung, menatap bola merah menyala yang merekah di cakrawala. Bertahun – tahun sudah lewat, namun kejadian itu tetap mencengkram kuat di memorinya. Nyaris tiap malam dirinya dihantui mimpi yang sama. Penyesalan yang sama. Kenangan buruk, ketika tangannya luput menyelamatkan orang yang dia sayangi.
Hidupnya diombang ambing rasa bersalah sejak saat itu. Diayun siksa, tak tentu arah, seperti kotak yang terapung dipermainkan ombak di depan sana.
Tunggu. Laras memicingkan mata, lamunannya langsung buyar. Apa itu?
Intuisi Laras mendongkrak kedua kakinya berdiri lalu memacunya setengah berlari ke bibir pantai. Dia berkecipak, masuk ke dalam air setinggi betis, tempat kotak itu terapung.
Kotak itu berukuran sedang, terbuat dari plastik warna abu gelap, diikat dan ditambatkan pada sebatang kayu yang tertancap ke pasir. Di atasnya tercetak huruf – huruf berwarna putih:
Survival Kit. Unit 721-AvZ, Batch-L.
Buru – buru, Laras membebaskan kotak itu dari ikatan, lalu menyeretnya ke darat.
Tas berlogo palang merah, adalah yang pertama terlihat ketika tutup kotak itu membuka. Dengan girang Laras mengeluarkannya dari peti, lalu memeriksa isinya. Obat – obatan dan keperluan medis standar yang cukup lengkap. Lucy pasti senang. Laras menaruh tas medis itu di pasir, lalu lanjut memeriksa dua tas lain yang ada di dalam kotak.
Tas yang satu berisi enam pak biskuit dan sebotol besar air. Sedangkan tas satunya berisi aneka perkakas: Senter, tali pancing, kompas, pisau kecil, segulung tali dengan kait dan….
“Pemantik api!” Laras bersorak girang. Tak perlu lagi pakai cara manusia goa untuk menyalakan api nanti malam. Sayonara, Tom Hanks.
“Ada apa ribut – ribut?” Rick bergumam mengantuk, tersentak bangun oleh sorakan Laras.
“Semuanya oke?” terdengar suara cemas Lucy yang juga terbangun.
Laras menyampirkan tas medis di bahunya, lalu menyeret kotak temuannya ke hadapan Lucy dan Rick. “Lihat ini.” kata Laras dengan mata berbinar. Menyerahkan tas di bahunya kepada Lucy, mengeluarkan dua tas lainnya, lalu menunjukkan isinya dengan bersemangat “Semua yang kita butuhkan. Makanan dan alat-alat bertahan hidup.”
“Dimana kau mendapatkan semua ini?” kata Lucy takjub, memeriksa isi tas medis.
Rick menyambar tas berisi perkakas dengan mulut ternganga “Pulau ini punya supermarket?” dengan gerakan perlahan nyaris memuja, dia mengeluarkan isi tas, satu demi satu, masing-masing diiringi tatapan terpesona.
“Surga.” ucap Laras penuh syukur, sambil membuka satu pak biskuit. Cukupan untuk mengisi perutnya yang keroncongan sejak semalam. “Ambil ini.” kata Laras dengan mulut penuh. Disodorkannya bungkusan biskuit itu pada Lucy.
“Kau menemukannya begitu saja?” Lucy bertanya, mengambil biskuit dengan sedikit ragu.
Laras mengangguk. “Tertambat dan terapung di pantai.”
“Kemarin belum ada, kan?” Lucy mengunyah pelan biskuitnya, dengan kening mengerut.
“Seingatku tidak.” Laras membenarkan. Mengambil sekeping biskuit lagi.
“Artinya ada orang lain di sini semalam.” kata Lucy tajam.
Kunyahan Laras melambat.
“Mereka yang meletakkannya dengan sengaja di situ.” Lucy melempar tatapan khawatir pada Laras.
“Ya, dan mereka juga meninggalkan peta.” gumam Rick pelan. Dia menarik carikan kertas tebal yang terlipat rapi dari dalam tas. Laras dan Lucy bertukar pandang dengan tegang.
“Apa kalian memikirkan apa yang kupikirkan?” kata Lucy, menatap lekat peta di tangan Rick.
“Kalau semua ini bukan kebetulan?” sahut Laras kaku.
“Ya.” timpal Lucy serius “Siapapun yang meninggalkan benda – benda ini…pasti ada kaitannya dengan orang yang membawa kita ke sini.”
“Ayo kita cek.” kata Rick, merapat pada Laras dan Lucy, lalu digelarnya peta itu. Tampak petak – petak koordinat dan alur garis yang melingkar. Pulau itu berbentuk bulat tak sempurna. Dengan garis pantai lebar di satu sisi, dan barisan bukit-bukit karang di sisi berlawanan. Bagian tengah didominasi hutan lebat dengan topografi naik turun.
“Kita di timur.” Lucy menunjuk.
“Ya, dan lihat. Ada dermaga di barat pulau.” kata Rick, mengetuk satu titik di peta. “Kalau ada perahu tersisa di sana, kita bisa memakainya.”
“Tiket keluar.” desis Laras. Rick mengangguk.
“Mungkin.” Lucy berkomentar dengan nada sangsi. “Entahlah.”
“Apa yang membuatmu khawatir, Dok?” tanya Rick, mencomot satu biskuit lalu memasukkannya bulat-bulat ke mulut.
“Entahlah, ini terlihat terlalu mudah.” kata Lucy enggan “Seperti sudah diatur.”