Laras menatap lembut jam tangan yang kembali kini kembali melingkar hangat di pergelangan tangannya. Laras tersenyum. Hartanya telah kembali.
“Maaf.” kata Yoshi pelan “Ku kira kau benar – benar sudah mati, Laras. Aku tak bermaksud meninggalkanmu begitu saja.”
Laras menghela nafas pendek “Kau tidak sepenuhnya salah. Aku paham.” dia tersenyum memaklumi. “Oh, dan terimakasih sudah menjaga jam ku.”
“Nampaknya jam itu berarti banyak buatmu.” tanya Yoshi hati – hati.
“Kurang lebih.” jawab Laras “Seseorang menghadiahkannya kepadaku.” dia termenung “Seseorang yang penting.” lanjutnya dalam bisikan. Bayangan tangan yang hanyut menyeruak sesaat di benaknya. Dengan segera Laras menepisnya.
“Sekarang, jam itu juga punya arti, buatku.” Yoshi, tersenyum tipis “Dia pemandu arah yang baik.”
“Kau betul-betul menjadikannya kompas?” tanya Laras ragu. Masih belum sepenuhnya teryakinkan oleh cerita Yoshi.
Yoshi tertawa pendek, dia mendekat, lalu mengambil tangan Laras. Laras tersentak sedikit. Jaraknya dengan Yoshi sangat dekat, sampai dia bisa membaui aroma musk samar yang menguar dari pria itu.
“Begini.” Yoshi mulai menjelaskan. “Sekarang arahkan jarum pendek, jam mu ke posisi matahari.” dia mengangkat tangan Laras dalam genggamannya “Kau lihat, dia akan membentuk sudut dengan angka dua belas. Kau tinggal mengambil garis tengah antara jarum pendek dengan angka duabelas, itulah selatan dan utara-mu.”
“Kau membuatnya terdengar mudah.” sahut Laras, mencoba mengarahkan jamnya.
Yoshi tertawa renyah. “Begitulah. Yah, triknya akan sedikit berbeda kalau kita ada di belahan selatan. Tapi sama gampangnya. Yang kuajarkan tadi itu trik untuk belahan utara.”
“Kau bisa tahu kita di belahan utara, tanpa peta?” tanya Laras dengan dahi berkerut.
“Peta ku ada di langit semalam.” Yoshi tersenyum kecil. “Bintang Utara.”
Dua kata itu menyedot perhatian Laras seluruhnya.
“Polaris.” kata Yoshi dan Laras berbarengan.