UNIT 721

Januard Benedictus
Chapter #6

DANAU

Semak dan belukar merebah tanpa banyak perlawanan di tangan Yoshi. Sang Letnan membuka jalan dengan sangat efektif. Rombongan mereka melaju pesat. Penambahan anggota membuat jalan mereka lebih cepat, sekaligus lebih berisik.

“Masih jauh?” Bill menggerutu sinis. “Sudah berjam – jam kita jalan.”

“Baru empat puluh delapan menit.” Laras mendesis.

“Apapun.” Bill menyahut tak peduli. “Jalannya sungguh mengerikan. Terasa berjam-jam buatku. Ah! Sial. Bisa longgarkan sedikit talinya? Tanganku mulai lecet.” Bill mengayun-ayun kedua tangannya yang dibelit tali. Belitan itu tersambung ke seutas tali lain yang ujungnya dipegang Rick. Mereka seperti sedang mengajak jalan-jalan piaran tua yang sangat rewel. Bill, mengoceh lima menit sekali. Berkomentar sinis tentang apapun.

“Apa ada obat bius di tas mu, Dok?” gumam Rick. Memicing sebal ke punggung Bill.

“Tidak.” jawab Lucy pendek.

“Serum euthanasia?”

“Oh, sudahlah, Rick.” balas Lucy malas.

Mereka terus berjalan sambil menegarkan telinga mendengar omelan Bill.

Perlahan, tanah di depan mereka mulai melandai. Membuka ke sebidang tanah lapang, yang dipenuhi rumput liar. Di sekeliling area itu, mencuat barisan pagar besi berkawat duri setinggi tiga meter, yang sudah berkarat dan bertumbangan di sana sini.

Yoshi masuk area berpagar itu. Langkahnya melambat. Dia berhenti di tengah lapang, lalu memandang berkeliling. “Sepertinya, pulau ini pernah dihuni.” Yoshi mendekati salah satu pagar yang tergeletak di tanah untuk memeriksanya. Sisa rombongan menyusul Yoshi, masuk ke area berpagar itu

“Tempat apa ini?” Laras bergumam pelan, menahan keinginan untuk bergidik. Aura tanah lapang di sekelilingnya begitu suram dan dingin. Meskipun matahari masih bersinar terang.

“Tidak ada keterangan.” Lucy mengecek peta. 

Mereka semua berhenti sejenak di tengah lapang. Memandang berkeliling.

“Monster.” Bill tiba – tiba bergumam sangat pelan, nyaris tak terdengar. Suaranya bergetar.

Laras menoleh. “Apa?”

Bill memandang lapangan di sekelilingnya dengan sorot gugup dan wajahnya sedikit pucat. Sikap arogannya yang menyebalkan seperti disedot lenyap. “Kita sebaiknya jalan lagi. Kita harus pergi dari sini.”

“Kenapa?” selidik Laras.

Bill melirik cemas beberapa kali, ke satu sudut lapang yang jauh. “Hawa tempat ini membuatku tak nyaman.” katanya pelan, tampak mengerut, seperti anjing ketakutan. “Sebaiknya kita cepat pergi.”

Laras mengernyit. Tingkah Bill sungguh aneh.

“Kurasa Bill benar.” Yoshi mengangkat plat seng berkarat, berwarna merah lusuh, dari bawah pagar yang diperiksanya. Plat seng itu sudah bolong – bolong, tapi mereka semua masih bisa membaca tulisan yang tercetak di atasnya:

DILARANG MASUK,

BERBAHAYA.

“Ini, tempat berbahaya?” Rick berbisik ngeri.

Yoshi melempar plat seng itu ke tanah dengan ekspresi muram. “Sepertinya begitu.”

Laras dan Lucy saling lirik dengan tatapan tegang.

“Artinya, kita harus segera pergi!” Bill tiba - tiba berseru. Sikap galaknya telah kembali.

“Aku setuju.” Yoshi mengangguk. “Ayo, kita jalan lagi.”

Dengan sedikit tergesa, mereka meninggalkan lapangan suram itu. Kembali menembus semak dan belukar yang tumbuh subur di lantai hutan. Kelimanya menapak dalam diam. Aura suram tanah lapang yang mereka lewati tadi ikut terbawa, ditambah langit yang ikut muram, karena matahari mulai condong ke Barat.

“Danaunya sudah terlihat.” Yoshi berseru dari depan, dua puluh menit kemudian. “Tapi medannya agak berat dari sini.”

Di depan mereka, ada sebuah jalan setapak menurun yang sangat sempit. Sisi kanannya berupa lereng, yang menghujam curam sejauh lima meter, langsung ke dalam air danau yang gelap. Di sisi kiri menjulang tebing berbatu yang licin.

“Pelan-pelan.” perintah Yoshi. “Jalan merapat ke tebing, usahakan jangan lihat ke bawah.”

Yoshi memimpin di depan. Diikuti Bill, Rick dan Lucy. Laras paling belakang.

“Ikatan sial ini benar- benar mengganggu.” Bill mulai menggerutu lagi.

“Tutup mulut dan jalan terus.” hardik Laras. Mereka butuh konsentrasi sekarang, medannya tidak main-main.

“Oh, ya? Coba kau tukar posisi denganku.” Bill berhenti berjalan, menoleh dengan sebal ke arah Laras.

“Sedang apa kau? Jalan.” perintah Laras sambil memelotot.

Lihat selengkapnya