Bulir – bulir embun di rerumputan menciprati kaki Laras, selagi dia melangkah masuk ke dalam tanah lapang yang suram itu untuk kali kedua. Atmosfernya terasa lebih mencekam di pagi hari. Kala langit masih belum terang sepenuhnya dan matahari masih bersembunyi di balik awan.
Laras berjongkok, dengan hati – hati menyibak segerumbul rumput lebat. Di sebelahnya, Yoshi melakukan hal yang sama. Mereka berdua bergerak, masing – masing ke arah berlawanan. Menyisir tanah lapang itu sepetak demi sepetak. Mencari sesuatu yang mungkin mengandung informasi.
“Kau menemukan sesuatu di sana?” tanya Laras lesu, mengorek tumpukan lembap dedaunan mati, dengan sepotong ranting yang ditemukannya.
“Belum.” sahut Yoshi, yang sekarang berada lima meter jauhnya di belakang Laras. “Kau sendiri?”
“Rumput, kerikil dan daun mati.” Laras bergeser, memeriksa petak rumput yang lain. “Baru itu. Tidak ada yang menarik.”
“Aku lebih beruntung kalau begitu.” Yoshi tiba – tiba menyahut.
Laras menoleh, dilihatnya Yoshi sedang membungkuk rendah, sambil melongok ke dalam segerumbul semak rimbun. Sang Letnan memasukkan tangannya ke dalam semak itu. Terdengar suara gemerincing logam yang beradu. Yoshi menarik keluar tangannya dari dalam semak. Dalam genggamannya, menjuntai seutas rantai berkarat yang tersambung pada sebuah gelang besi.
“Apa itu?” Laras langsung bangkit, menghampiri Yoshi.
“Borgol kuno, untuk tahanan.” Yoshi menjelaskan. Mencoba menarik keluar rantai itu lebih jauh, tapi tidak berhasil. Rantainya terpasak kuat ke tanah.
Bulu tengkuk Laras meremang. “Ada yang pernah ditahan di sini?”
“Kurasa, Ya.” Yoshi menjatuhkan rantai belenggu itu ke tanah. “Seseorang atau—sesuatu.”
Laras bergidik.
“Kita periksa lagi, ayo. Siapa tahu ada yang lain.” kata Yoshi.
Berdua, mereka mulai menyibak gerumbulan semak dan rumput lainnya. Betapa terkejutnya Laras dan Yoshi, ketika menemukan puluhan belenggu serupa, bergeletakan di balik pekatnya hamparan rumput liar.
“Sinting.” Laras menggeleng tak percaya. Membayangkan orang – orang malang yang pernah terpasung dalam jerat rantai – rantai berkarat itu.
“Tanah ini betulan bekas penjara.” Yoshi mulai menyisir area dekat pagar, dengan wajah tertekuk muram.
“Orang macam apa yang membangun tempat seperti ini?” Laras merutuk. Berjalan mengekor di belakang Yoshi. “Mereka pasti sudah gila. Tidak war—.” Laras menabrak punggung Yoshi yang berhenti mendadak.
“Setan.” Yoshi mendesis, matanya terpancang ke tanah.
“Kenapa?” tanya Laras kaget, melongok penasaran dari balik punggung Yoshi. Apa yang dilihat Laras kemudian, membuat matanya terbelalak. Di dekat kaki Yoshi, tergeletak selembar plat besi persegi panjang berwarna hijau pupus. Di atasnya tercetak huruf – huruf besar hitam legam: LADANG UJI COBA MAYAT
***
GERIMIS tipis, yang baru terbit di langit mulai merintik perlahan ke atas kepala Bill yang botak. Mengirimkan sensasi dingin yang perlahan meretas kemacetan di ruang pikirnya. Tatapan kosong Bill berangsur memudar. Sensasi mati rasa di tubuhnya pun ikut luruh, mengurai menjadi gempuran nyeri yang menyeruak sekaligus.
Bill tersentak. Menarik nafas hingga tersengal. Rasa sakit itu telah memantik kesadarannya utuh kembali. Keping – keping kejadian beberapa hari kemarin mulai membanjir ke otaknya. Menyatu menjadi rangkaian memori yang mengerikan.
Bill memandang sekelilingnya dengan panik.
Aku harus secepatnya pergi dari sini.
***