Amukan badai, memberondong keras jendela mercusuar yang kusam, dengan tetes – tetes air yang meluncur secepat peluru. Awan gelap berarak. Petir dan kilat menyalak bersahutan. Langit sedang berkecamuk hebat, tetapi Laras, Lucy dan Rick terlindung aman di balik dinding beton mercusuar.
Mercusuar itu memiliki pondokan kecil di dalamnya, lengkap dengan kamar mandi yang masih berfungsi. Perabotnya memang tak banyak dan sudah mulai rusak di sana – sini. Tapi cukupan, untuk mereka mendapat kehangatan dan air bersih. Setelah dua malam tidur di udara terbuka, bisa duduk di atas sofa reyot yang sudah bolong – bolong dimakan ngengat, terasa seperti surga.
“Punggungku bisa bersandar dengan layak akhirnya.” Rick mendesah puas. Dengan nyaman berayun di atas kursi goyang yang peliturnya sudah terkelupas.
“Jangan terlalu senang dulu.” Lucy memindahkan ceret tembaga yang berasap dari dalam perapian, dengan kaitan besi panjang. Lalu dengan cekatan diambilnya pegangan ceret yang panas, menggunakan lipatan kain perca, “Kita masih harus mencari cara untuk menjalankan perahu itu.” Lucy menuang air panas ke dalam cangkir – cangkir keramik kusam, yang ditemukannya dalam lemari berdebu.
Di dermaga, tertambat satu perahu bermotor, yang sudah dekil digerus cuaca. Sementara ini, itu satu – satunya tiket mereka untuk keluar dari pulau. Masalahnya, tanki bahan bakar perahu terlantar itu kosong. Sebelum masalah bahan bakar ini terpecahkan, mereka masih akan terkurung di pulau.
“Kita bisa mendayungnya.” Rick menyarankan setengah hati. Mengambil cangkir air panas yang disodorkan Lucy.
Lucy memberikan cangkir pada Laras, sebelum mengambil cangkirnya sendiri. “Itu kemungkinan terburuknya.” Lucy menurunkan tubuhnya pelan – pelan ke atas sofa. “Meskipun, itu lebih baik, ketimbang harus berenang.”
“Kau akan terapung, kalaupun harus berenang.” Rick bergumam dengan nada suram, menatap perut Lucy yang besar.
“Mungkin.” kekeh Lucy, mengusap perutnya dengan sayang.
Petir bergemuruh keras di luar, membuat jendela bergetar.
Laras beradu pandang dengan pantulan buram wajahnya, yang terapung dalam cangkir air panas. Pasti ada jalan. Laras berusaha meyakinkan diri. Meskipun kenyataan yang ada membuatnya putus asa. Tidak ada pom bensin di pulau ini. Harapan mereka tipis.
“Apa kita harus menjelajah lagi?” kata Rick dengan nada enggan. “Mencari di penjuru pulau.” suaranya menciut. “Siapa tahu… ada jeriken bahan bakar yang ketinggalan.”
“Bisa jadi itu ide yang bagus, Rick.” Lucy bergumam.
“Aku cuma ngarang.” Rick menyahut tanpa gairah.
“Yang bisa jadi, nyata.” sambung Lucy. “Mungkin saja betulan ada. Mungkin ada di suatu tempat yang belum kita datangi, di pulau ini.”
Tempat yang belum kita didatangi? Laras membeku. Kalimat Lucy memantik sesuatu dalam ingatannya. Laras merogoh peta di sakunya, lalu menggelarnya di atas lantai. Jemarinya menelusuri garis – garis topografi, yang berkilat di bawah pendar cahaya perapian. Mata Laras berhenti di satu titik di peta. Memang ada. Ada yang belum kita datangi.