Lucy duduk termangu, di hadapan Rick, yang terbaring lemah di atas sofa. Wajah Rick pucat, keringat sebesar – besar biji jagung membasahi keningnya. Tubuhnya menggigil.
“Kau yakin tidak perlu ditemani, Dokter?” tanya Yoshi hati – hati, menyelipkan pisau dan senter ke saku celananya.
Lucy menggeleng, “Aku oke. Aku bisa menanganinya. Kalian pergilah.”
“Aku tak bisa menelantarkan ibu hamil seperti ini, Dokter. Laras bisa tinggal menjagamu.” bujuk Yoshi, bertukar pandang dengan Laras. “Aku akan pergi sendiri.”
“Ya, Aku bisa tinggal.” sahut Laras.
“Aku mengerti kecemasan kalian.” Lucy menatap Laras dan Yoshi sekilas “Tapi sekali lagi, tenang saja. Aku yakin di sini aman.” Lucy menyeka peluh di kening Rick. “Mengingat pengalaman di ladang uji coba mayat, kalian seharusnya lebih cemas terhadap apa yang mungkin akan kalian hadapi di bungker nanti. Kita tak pernah tahu, hal buruk apa yang mungkin ada di sana.”
Laras dan Yoshi terdiam. Argumen Lucy terlalu kuat untuk dilawan.
“Kalian pergilah.” kata Lucy lambat dan tegas.
“Oke, Aku pergi. Tapi ambil ini.” Laras menyodorkan pistol pada Lucy.
Lucy menerimanya tanpa membantah.
“Sepakat.” tandas Lucy.
***
KABUT tipis menggantung di atas kanopi dedaunan, saat Laras meniti jalan setapak kecil yang menembus perut hutan, bersama Yoshi. Matahari masih tertutup awan – awan kelabu, membuat udara pagi itu dingin menusuk, dan membangkitkan kantuk. Laras melangkah dengan lambat dan berat, sambil melirik jam tangannya.
Baru tiga puluh menit. Prediksi Yoshi, perjalanan ke bungker akan memakan waktu sekitar empat jam. Tiga jam setengah lagi. Berjuanglah prajurit. Laras membatin lesu. Setengah dari dirinya sudah ingin kembali ke mercusuar, meringkuk tidur di depan perapian yang hangat.
“Kau lelah?” tanya Yoshi dengan nada khawatir, melihat jalan Laras yang sempoyongan.
“Tidak.” Laras menyanggah, yang langsung disambung kuapan lebar. Laras cepat – cepat mengatupkan mulutnya.
“Kau lelah.” Yoshi tersenyum simpul.
“Sedikit.” jawab Laras pelan.
Yoshi terbahak.
Wajah Laras merona malu. Dia memberengut, lalu meninju pundak Yoshi. “Ayo, jalan lagi.” kata Laras, berjalan lebih dulu, meninggalkan Yoshi, yang masih tertawa.
“Pukulanmu kuat, cocok masuk militer.” sengal Yoshi, berlari kecil, menyusul Laras.
“Nyaris memang.” jawab Laras.
“Kau—nyaris—?”
“Masuk militer…tadinya.” Laras mengangkat bahunya sedikit. “Tapi, akhirnya Aku lebih terpanggil jadi relawan kemanusiaan.”
“Itu juga cocok buatmu.” Yoshi membungkuk, berusaha menyingkirkan patahan dahan besar yang menghalangi di depan mereka.