UNIT 721

Januard Benedictus
Chapter #14

BUNGKER

Airmata Laras meleleh tanpa henti. Hatinya tertusuk – tusuk. Kepedihan yang bertahun – tahun ditahannya, mengalir keluar. Sederas tsunami di hari ulang tahunnya, yang merenggut satu – satunya anggota keluarganya yang tersisa. Kebahagiaannya disapu bersih dalam sekali terjang.

“Papa sempat membawaku kabur, ke tempat yang lebih tinggi. Aku selamat, tapi dia—.” suara Laras bergetar, penuh penyesalan. “Seandainya aku berhasil menolongnya, mungkin Papa masih hidup.”

 “Sejak saat itu, aku menenggelamkan diri dalam kegiatan kemanusiaan. Dengan bodohnya mengira, itu bisa menebus kegagalanku.” Laras menggeleng, terisak keras. “Tapi tidak, rasa bersalah itu tak pernah hilang. Aku tetap merasa diriku pecundang. Pecundang yang gagal total.”

“Kau bukan pecundang.” kata Yoshi, bergeser mendekat ke sebelah Laras yang sesenggukan.  

“Aku gagal menyelamatkan Papa-ku, Yoshi.” Laras berusaha menghapus airmatanya yang menderas. “Dan banyak orang lain sesudahnya. Tak semua yang kutolong berhasil kuselamatkan, pada akhirnya.”

Yoshi menghela nafas,“Kau memang tidak bisa menyelamatkan semua orang, Laras.”

“Karena aku memang pecundang, kan? Perempuan sok, yang dengan bodohnya mengira, dirinya sanggup jadi penyelamat.” sahut Laras getir.

Yoshi menggeleng. “Bukan. Bukan karena kau pecundang, tapi, karena kau masih manusia biasa. Manusia biasa yang punya keterbatasan. ” tangannya meremas lembut pundak Laras. “Jangan menghakimi dirimu sendiri, untuk sesuatu yang memang tak bisa kau kendalikan.”suara Yoshi menguat. “Kau bukan pecundang.”

“Begitukah?” tanya Laras serak, matanya merah dan bengkak.

“Kau cuma perlu berdamai dengan kenyataan.” kata Yoshi lugas.

Laras menoleh, sepasang mata coklat tua milik Yoshi sedang menatap ke arahnya. Menyorot tulus dan hangat. Tangisan Laras berangsur meredup. Dua bulatan coklat tua itu bagai pusaran ombak yang dengan lembut menyapu pedihnya dan merengkuhnya dengan ketulusan.

Laras terhenyak.  

Setelah sekian lama, untuk pertamakalinya,  dia merasa…aman

***

TANGGA besi melingkar itu berdentang – dentang, terinjak kaki Lucy yang tengah berjuang menapak ke puncak mercusuar. Bobot kehamilan memaksanya mengeluarkan tenaga dua kali lipat. Belum apa – apa, Lucy sudah banjir keringat. Beberapa kali tangannya yang licin tergelincir dari pegangan tangga..

Sedikit lagi.

Dengan nafas terputus – putus, Lucy menandaskan sisa anak tangga yang ada, dan mendapati dirinya telah tiba di dalam ruangan bundar, berdinding kaca, di puncak mercusuar. Lucy melangkah pelan, mencari sesuatu yang mungkin berguna, untuk persalinan daruratnya, tapi ruangan itu nyaris sepenuhnya kosong. Hanya berisi lampu raksasa dengan lensa – lensa kaca berselimut debu, yang berdiri tegak di tengah ruangan.

Dikitarinya lampu raksasa itu, dengan perasaan was-was, karena, bisa jadi usahanya naik ke atas sini, tidak membuahkan hasil yang sepadan.

Lucy nyaris menyelesaikan satu putaran penuh, ketika matanya menangkap sebuah kotak besi kusam, yang menyembul dari bawah kaki lampu raksasa. Dengan semangat terangkat, ditariknya kotak besi itu.

Engsel – engsel kotak berderit nyaring, ketika Lucy membuka tutupnya. Kotak itu sarat dengan aneka perkakas: Tang, obeng, palu, gunting, bungkusan kertas berisi paku dan alat tukang lainnya.

Lucy menghela nafas, tercabik antara rasa syukur dan pasrah, ketika melihat gunting hitam legam, yang terselip di dalam kotak itu. Ini bisa kupakai. Dia mengelus perutnya, sambil berulang – ulang memohon maaf dalam hati kepada jabang bayinya, yang terpaksa harus dilahirkan dengan peralatan yang bisa dibilang, brutal dan primitif.

Diambil dan diletakkannya gunting itu di lantai. Lucy mengaduk lagi isi kotak besi, dengan hati – hati. Memeriksa ulang, kalau – kalau masih ada yang berguna. Jemarinya berhenti bergerak, ketika menyentuh sesuatu yang terbuat dari kulit, tertindih di bawah kunci – kunci mekanik. Disingkirkannya rentengan kunci itu, dan tampaklah sebuah jurnal bersampul kulit yang sudah lusuh.

Didorong rasa penasaran, Lucy mengambil jurnal itu, membukanya dan langsung disambut oleh dua baris tulisan tangan yang rapi. Terukir rapat dalam goresan pudar tinta hitam, di atas lembaran yang menguning:

JURNAL ENTRI. UNIT -721

Prof. Shiro-Issi.

***

Lihat selengkapnya