UNIT 721

Januard Benedictus
Chapter #16

CATATAN SANG PROFESOR

Yoshi mengendap hati – hati ke arah pintu bertuliskan: RUANG OPERATOR, di sisi kanan lobi. Laras membuntuti di belakang. Sesampainya di sana, Yoshi merapatkan bahunya ke pintu ruang operator, lalu mengintip ke dalam melalui sepetak jendela kaca yang pecah di pintu.

“Bagaimana?” tanya Laras tak sabar. Sepenuh hati berdoa dan memohon, ada persediaan bahan bakar yang tertinggal di dalam sana, agar mereka bisa lekas pergi.

“Kosong.” jawab Yoshi, mendorong pintu sampai terbuka.

Ruang operator itu berukuran kurang lebih tiga kali empat meter. Sarat dengan monitor – monitor pemantau kamera pengawas, yang mati, di satu sisi, dan lemari – lemari arsip di sisi berlawanan. Yoshi masuk sambil menendang kursi kerja beroda yang menghalangi di tengah ruangan. “Ayo, kita periksa.”

Laras membuka lemari yang paling dekat dengannya dan langsung berhadapan dengan seabreg map – map Dokumen, bertumpuk tak beraturan. Jelas tak ada jeriken bahan bakar di sini. “Nihil.” Laras menggeleng kecewa.

“Di sini juga sama.” Yoshi membanting pelan, pintu lemari yang dibukanya sampai tertutup. “Kita harus mencari ke ruangan lain.”

“Tunggu.” Laras menatap lagi tumpukan map berantakan di depannya. “Mungkin ada hal berguna yang bisa kita cari di sini. Ya. Pasti ada.”

“Maksudmu?” Yoshi memandang heran Laras, yang sekarang sedang menarik map – map keluar dari lemari hingga berjatuhan ke lantai.

“Denah.” engah Laras, duduk bersimpuh, lalu mulai membuka dan membalik dengan cepat, halaman – halaman salah satu map yang berserakan di lantai. “Denah bangunan ini. Pasti ada.” Laras menyibak rambutnya yang jatuh menghalangi wajah. “Jika kita dapat denahnya, kita bisa menentukan ke arah mana kita harus pergi. Kita bisa mencoret ruangan – ruangan yang tidak mungkin. Itu akan mempersempit luasan area yang harus kita cari.”

“Cerdas.” Yoshi menyeringai, menyambar salah satu map dan mulai memeriksanya.  

“Pasti ada. Pasti ada.” Laras bergumam panik. Membuka dan membalik – balik kasar map demi map.

“Um. Laras.” panggil Yoshi.

“Ketemu?” Laras menoleh penuh harap.

“Belum, tapi—.”

“Terus cari kalau begitu.” potong Laras tak sabar, melempar map yang selesai diperiksanya ke sisi ruangan.

Yoshi menghela nafas sabar. Dengan cekatan, digenggamnya tangan Laras, mencegahnya mengambil map baru secara acak.

“Apa?” kata Laras gusar.

“Ada label judul di setiap map.” Yoshi menyodorkan map yang dipegangnya, ke depan wajah Laras. Di sampul map tertulis: DAFTAR PASOKAN MAKANAN. “Kita tinggal mencari yang topiknya sesuai. Kau tidak perlu berusaha seheboh itu.” Yoshi mendengus geli.

Wajah Laras memerah.

***

LUCY menatap jurnal yang tergeletak di kursi, dengan ekspresi jijik. Seperti sedang melihat jeroan busuk. Informasi di dalamnya ternyata lebih mengerikan, jauh dari yang bisa Dia bayangkan. Lucy sudah kehilangan minatnya untuk lanjut membaca. Meskipun sebetulnya secara profesi dan keilmuan, topik jurnal Prof. Shiro-Issi tergolong menarik.

“Dok?” terdengar gumam lemah, diiringi suara derit sofa.

“Rick.” Lucy tersentak kaget sekaligus senang. “Kau sudah sadar.”

“Kepalaku pening.” Rick mengeluh, kemudian terbatuk beberapa kali. “Badanku sakit semua.”

Lucy mendekat, menempelkan telapak tangannya ke kening Rick. Demamnya sudah turun. Lucy menghela nafas penuh syukur.

“Boleh aku minta air, Dok? Haus sekali rasanya.” Rick terbatuk lagi.

“Boleh, tapi mungkin, kau harus bersabar sedikit.” Lucy melirik ceret tembaga di lantai, yang berisi air dan buntalan kain.

“Oke.” erang Rick, menggaruk lehernya yang luka.

Lucy buru – buru menepis tangan Rick. Dia membelalak ngeri, ketika menyadari luka di leher Rick mulai berubah warna, menjadi lebih gelap, ke arah ungu kehitaman. Infeksinya makin parah, tapi kenapa demamnya turun?

“Sori.” Rick menggeliat tak nyaman. “Habisnya gatal sekali.”

 “Kau tunggu di sini. Kusiapkan air untukmu.” Lucy menyambar ceret di lantai. “Jangan – garuk – lukamu.” perintahnya, dengan nada tegas penuh peringatan di setiap kata. Lucy bergegas masuk ke kamar mandi, mengeluarkan buntalan kain dari ceret, menuang air bekas rendaman ke wastafel, lalu membuka keran, untuk mengisinya dengan air baru.

Lucy menatap wajahnya sendiri di cermin wastafel yang retak. Kedua alisnya bertaut.

 Semuanya berhubungan. Lucy membatin. Di benaknya berkelebat gambaran luka Rick, Bill yang bertingkah seperti monster dan Ladang uji coba mayat yang mereka lewati dua hari lalu. Ada benang merah di balik semua ini.

Lucy mematikan keran. Menghela nafas panjang, berusaha menguatkan hati.

“Saatnya membaca lagi.” katanya, bertukar pandang serius dengan pantulan di cermin.

***

TUMPUKAN map sudah menggunung tinggi di sekeliling Laras dan Yoshi, ketika akhirnya mereka berhasil menemukan selembar fotokopian denah bungker, di dalam map: SERVIS & UTILITAS. Yoshi menggelar denah itu di lantai dan mulai mengamatinya. Keseluruhan bungker terdiri atas dua lantai, yang tertanam di bawah tanah.

“Lobi, ruang operator, Laboratorium, kantor.” Yoshi bergumam pelan mengabsen ruangan di lantai pertama satu demi satu. Telunjuknya meluncur cepat di atas denah.“Kantin, dapur—.”

“Dapur!”Laras berseru tertahan “Mungkin ada sisa pasokan makanan di sana. Siapa tahu.”

Yoshi mengangguk – angguk. “Ya. Ada ruang medis juga, kita bisa mengambil persediaan obat – obatan di sana.” Jari Yoshi bergeser ke denah lantai bawah. “Sepertinya kita harus berpencar.”

“Begitukah?” Laras berusaha terdengar berani, tapi gagal, karena suaranya bergetar.

Lihat selengkapnya