UNIT 721

Januard Benedictus
Chapter #17

AROMA KEMATIAN

Laras dan Yoshi menekap hidung mereka dengan tangan, untuk memblokir aroma busuk kematian yang melayang pekat memenuhi seluruh koridor. Keduanya bergerak ekstra hati – hati, layaknya melewati ladang ranjau. Setiap langkah dilakukan dengan pertimbangan penuh, memastikan kaki mereka menjejak tepat ke petak - petak  ubin koridor yang tidak ditutupi mayat.

“Mungkin sebaiknya kita tidak berpencar.” kata Yoshi dengan suara teredam telapak tangan, begitu mereka tiba di area koridor yang bebas mayat. “Aku akan menemanimu.” Yoshi menatap khawatir Laras yang berjalan di sebelahnya dengan wajah pucat pasi.

Laras menggeleng. “Terlalu lama.”

“Kau yakin?”

“Yoshi, kau membuang – buang waktu.” tukas Laras tak sabar, melangkah lebih cepat.

“Oke.” Yoshi menghela nafas, mengalah. “Baiklah, kita berpencar. Ambil sebanyak mungkin yang sanggup kau bawa. Kita bertemu di koridor ini lagi, begitu selesai.”

“Mengerti.” sahut Laras sambil mengangguk.

“Sampai ketemu.” Yoshi berbelok ke kiri, memisahkan diri dengan Laras di percabangan koridor.

Setengah berlari, Laras memasuki koridor sebelah kanan. Matanya bergulir cepat ke kiri dan kanan, membaca papan nama ruang di atas pintu – pintu yang dilewatinya. “Ruang medis.” Laras mendorong pintu di sisi kanannya dengan bahu, lalu menerobos masuk.

Ruangan itu sama kacaunya dengan lobi di depan. Kursi – kursi terbalik, ranjang – ranjang pasien bertebaran tak keruan, tirai – tirai penutup tempat tidur menggantung lepas dari relnya dengan kondisi tercabik – cabik.

Tanpa buang waktu, Laras menyambar bantal yang tergeletak di lantai, menarik lepas sarungnya, lalu dengan tergesa menghampiri lemari kaca retak berisi obat – obatan, di sudut ruangan. Laras membuka lemari dan mulai menjarah isinya. Tangannya menyapu kotak – kotak obat ke dalam sarung bantal.

Tidak muat. Laras memandang sarung yang sudah penuh sesak, padahal belum sampai seperempat isi lemari obat yang masuk ke situ. Aku butuh sesuatu yang lebih besar. Laras celingukan mencari sesuatu yang bisa dipakai. Tatapannya kemudian mendarat ke seprai putih kekuningan yang membentang kusut di atas ranjang pasien, di sebelahnya.

Laras menaruh sarung bantal yang terisi penuh ke tengah ranjang, lalu dengan cekatan mengambili kotak – kotak obat yang masih tersisa di dalam lemari. Dilontarkannya semua itu ke atas ranjang. Tak sampai lima menit, seluruh isi lemari sudah berpindah, menjadi tumpukan semrawut di atas ranjang pasien. Laras menarik lepas ujung – ujung seprai, menyatukannya menjadi ikatan yang membungkus semua kotak obat ke dalam satu buntalan besar. Disampirkannya buntalan itu ke bahu. Saatnya ke dapur. Laras balik badan.

Laras sudah setengah jalan menuju pintu, ketika tiba – tiba terdengar suara berderit dari ranjang pasien yang baru saja dia lewati. Laras menoleh dengan waspada. Detak jantungnya melonjak cepat.

Ranjang itu berderit lagi. Keras.

Sepenuh hati, Laras ingin kabur, tapi kakinya mendadak tak bisa diajak kompromi. Dia hanya bisa berdiri mematung, dengan mata memelotot ngeri, ketika sepasang tangan kisut sepucat tembok, merangkak perlahan, muncul dari kolong ranjang.

***

Lihat selengkapnya