Permukaan gagang pistol terasa licin dalam genggaman tangan Lucy yang berkeringat. Sudah semenit penuh dirinya membeku di posisi yang sama. Tembak, sekarang. Kalimat itu bergaung berulang – ulang di kepalanya, tapi Lucy tak kunjung menembak. Dia menghela nafas. Aku tak sanggup. Lucy menurunkan pistol di tangannya, menatap Rick yang terlelap.
Maafkan aku. Lucy membatin menyesal. Rick memang akan berubah, tapi sekarang dia masih manusia. Rasanya terlalu kejam, untuk menghabisi nyawanya sekarang. Lucy menatap sekilas pistol di tangannya sebelum menyelipkannya ke saku. Akan kupakai jika dia berubah. Hanya jika dia berubah.
Terdengar suara gedoran di pintu. Lucy menoleh terkejut. “Laras? Yoshi?”
Rick menggeliat terbangun, terganggu suara gedoran di pintu yang semakin keras. “Siapa itu?” tanya Rick bingung, dengan suara mengantuk.
“Sepertinya Laras dan Yoshi.” Lucy mengernyit. Berjalan pelan - pelan menghampiri pintu untuk membukanya, meskipun firasatnya bergejolak tak nyaman.
Gedoran itu tiba - tiba berhenti.
Langkah Lucy ikut terhenti.
“Dobrak pintunya.” terdengar suara tegas milik seorang perempuan.
Lucy bertukar pandang cemas dengan Rick. Mereka berdua terlonjak dan berteriak kaget, ketika pintu mercusuar berderak lepas dari engselnya dan jatuh ke lantai dengan suara memekakkan telinga. Empat orang kemudian menerobos masuk, menodongkan pucuk – pucuk senapan mereka ke arah Lucy dan Rick yang ketakutan.
***
LARAS berlari kencang tak tentu arah, memasuki jalinan koridor tanpa tahu kemana dia melangkah. Segala detil ingatan mengenai rute bungker sudah buyar, lenyap tak berbekas. Kepala Laras saat ini hanya berisi satu tujuan, menciptakan jarak sejauh mungkin dengan mahkluk – mahkluk neraka yang mengejar di belakangnya. Mayat – mayat hidup itu memburu rapat di belakang Laras. Tangan mereka menggapai – gapai, beberapa kali nyaris mengenai Laras, tapi sejauh ini, Laras masih berhasil menghindar.
Di sebuah persimpangan yang asing, Laras berbelok ke kiri, memacu kakinya menuju pintu di ujung koridor. Laras menerobos masuk ke dalam ruangan yang dipenuhi meja kerja dan kursi – kursi. Dia membanting pintu di belakangnya sampai tertutup, melempar buntalan seprai yang dibawanya ke lantai, lalu buru - buru menarik meja kerja terdekat, untuk memblokir pintu.
Bunyi bergedebukan susul menyusul menghantam pintu yang terblokir meja. Laras menyambar buntalan seprai di lantai, memandang sekelilingnya dengan panik, mencari jalan keluar. Pintu di depannya sudah mulai menganga, meja yang memblokirnya juga sudah mulai bergeser.
Untung bagi Laras, ada pintu lain di seberang ruangan. Kaki Laras melejit, menapak gesit melewati lorong – lorong di antara meja kerja. Ketika para mayat hidup berhasil menerobos masuk, Laras sudah menghilang di balik pintu.
Ruangan berikutnya yang dimasuki Laras tak jauh berbeda dengan ruangan sebelumnya. Hanya saja, di ruangan ini tidak ada pintu kedua yang bisa membawanya kabur. Laras menyadari hal ini dengan panik. Jendela. Benak Laras memekik, melihat deretan jendela kaca yang berderet di dinding sebelah kiri. Laras menyambar pot tanaman mati di atas salah satu meja, lalu melemparkannya ke jendela.
Kaca lebar itu pecah berkeping – keping, membuka jalan ke koridor di baliknya. Laras buru – buru memanjat bingkai jendela, mendorong tubuhnya keluar dengan hati – hati, menghindari pecahan – pecahan yang menempel di jendela.