[Dua jam yang lalu]
Lensa kacamata Shiro-Issi berkilat memantulkan cahaya dari layar besar di depannya. Di balik lensa itu, mata sang Profesor tengah menatap muak wajah – wajah di layar. Segerombolan orang kaya dan berkuasa yang mensponsori proyeknya. Manusia – manusia sok. Shiro-Issi mendelik. Kalau bukan karena kondisi proyeknya yang butuh suntikan dana dan perlindungan dari mata hukum, dia tak akan sudi merendah dan disuruh – suruh seperti ini.
“Kami mengharapkan hasil yang lebih baik, Profesor.” kata seorang perempuan tua berambut keriting pendek di layar, wajah keriputnya memberengut jengkel. “Kelambatanmu bisa merusak semua rencana yang kami susun.”
Tangan Shiro-Issi mengepal geram di atas meja kerjanya.
“Kami perlu antivirus yang matang dalam bulan ini, Profesor.” Lelaki gemuk bertampang menyebalkan di tengah layar mengerucutkan bibir. “Kami tak bisa memulai perang biologis, sebelum memiliki jaminan penangkal di tangan kami. Itu akan menjadi senjata makan tuan.”
Terdengar gumam setuju bersahutan dari sosok – sosok lain di layar, beberapa mengangguk dengan lagak sok penting.
“Tuan – tuan dan Nyonya – nyonya yang terhormat.” sela Shiro-Issi, sesopan dan setenang mungkin,”Seperti yang sudah saya sebutkan berulang kali, antivirus bukanlah makanan cepat saji yang bisa dibuat dalam sekejap mata. Butuh banyak waktu untuk—.”
“Kami sudah memberimu banyak waktu, Profesor.” seorang lelaki berkulit gelap menyela.
“Dan uang.” cibir perempuan berambut pirang panjang. “Banyak uang.”
Wajah – wajah di layar mendongak angkuh.
“Dengar.” Shiro-Issi naik pitam, suaranya bergetar marah. “Kalau kalian mengira—.”
“Akhir bulan ini, Profesor.” potong perempuan tua berambut keriting dengan nada sedingin es. “Tak ada tawar menawar lagi. Selesaikan antivirus itu tepat waktu, reputasimu akan tetap bersih dan kau bisa menerima penghargaan nobel fisiologi yang kaudambakan.”
Shiro-Issi memelotot gusar.
“Kau tahu konsekuensinya jika kau gagal.” tandas si perempuan tua.
Dengan berat hati, Shiro-Issi mengangguk.
“Bagus. Kurasa cukup tuan – tuan dan nyonya - nyonya. Tidak ada lagi yang bisa kita bahas sekarang. Sampai jumpa di akhir bulan.” si perempuan tua melempar tatapan mengancam pada Shiro-Issi, sebelum wajahnya menghilang dari layar. Satu persatu, rekannya ikut menghilang, menyisakan layar kosong yang gelap.
“Keluarlah, Hiro. Pertemuannya sudah selesai.” gumam Shiro-Issi tiba - tiba, melirik sekilas rak buku tinggi di sebelah kanannya. “Aku tahu kau di sana.”
Seorang lelaki berseragam militer keluar dari balik rak buku, menegapkan diri lalu mengangkat tangannya, memberi hormat ke arah Shiro-Issi.
“Puas?” tuntut Shiro-Issi. “Puas melihatku diinjak – injak dan dipermalukan?”
“Tidak, Pak.” jawab Hiro kaku, menatap lurus ke depan, kedua tangannya bertaut di belakang punggung.
“Pembohong.” Shiro-Issi mendengus merendahkan. Memutar kursi kerjanya ke arah Hiro.
Terdengar suara ketukan di pintu.
“Masuk.” kata Shiro-Issi galak.
Pintu mengayun terbuka. Seorang perempuan pendek berkacamata dan berjas laboratorium melangkah masuk, terhuyung - huyung membawa setumpuk dokumen di pelukannya. “Berkas – berkas yang anda minta, Profesor.” cicit si perempuan. Separuh wajahnya tersembunyi di balik tumpukan Dokumen.
“Tinggalkan di kursi, Emma.” gebah Shiro-Issi malas, menunjuk kursi di depan mejanya, lalu kembali berpaling pada Hiro,“Apa maumu?”
Hiro menunduk.
Shiro-Issi tertawa sinis. “Oh, astaga. Seharusnya aku tak perlu bertanya.” dia berdiri dari kursinya, berjalan mendekat ke arah Hiro. “Masih belum menyerah juga rupanya.”
“Belum, Pak.” Hiro menjawab dengan nada tegas, meskipun kepalanya tertunduk.
“Kau ternyata lebih keras kepala dari yang kuduga.” kata Shiro-Issi, menggeleng tak percaya. “Dengar baik – baik, Hiro. Keputusanku tidak akan berubah. Dia seharusnya berpikir dua kali sebelum –.”
Kalimat Shiro-Issi terpotong oleh pekikan Emma yang dibarengi suara gaduh benda - benda yang jatuh ke lantai. Shiro-Issi dan Hiro menoleh. Emma sudah tersungkur di lantai, tumpukan dokumen yang dibawanya berserakan kemana-mana.
“Ma—maaf, Aku tersandung.” gagap Emma, dengan canggung merangkak, memunguti berkas – berkas dokumen di lantai. Hiro langsung bergerak, dengan cekatan membantu Emma. Tak sampai semenit semua dokumen sudah tertumpuk rapi di kursi.
“Selesai? Nah, sekarang menyingkirlah.” Shiro-Issi mengusir Emma dengan kasar. “Ada obrolan penting yang harus kuselesaikan.”
“Oh, ya—maaf sebelumnya Profesor.” cicit Emma gugup. “Ada beberapa hal yang—”
“Tidak tertarik.” potong Shiro-Issi segera.
“Tapi ini tentang an—”
“Keluar!” bentak Shiro-Issi, tanpa belas kasihan.
Emma kabur merunduk – runduk keluar dari kantor Shiro-Issi, menutup pintu di belakangnya sambil terisak.
“Perempuan idiot.” sembur Shiro-Issi.