[Dua belas jam setelah penyelamatan]
Langit-langit putih bersih dan cahaya lampu neon yang benderang adalah hal pertama yang dilihat Laras, ketika kelopak matanya membuka. Laras menengok perlahan ke kiri dan kanan dengan susah payah, kepalanya terasa berat dan sekujur tubuhnya terasa nyeri.
Dimana aku? Laras bertanya bingung di dalam hati, melihat aneka selang dan kabel yang terpasang ke tubuhnya. Laras mengangkat kepalanya sedikit, mendapati dirinya terbaring di sebuah ruangan yang seluruh permukaannya berwarna putih, seperti kamar rumah sakit, tidak ada jendela, hanya ada satu pintu untuk akses keluar masuk.
Pintu itu mengayun terbuka. Dua orang pria berjas putih masuk, tanpa basa-basi langsung mengecek monitor dan kabel - kabel medis yang menempel di tubuh Laras.
“Siapa kalian?” tanya Laras lemah.
“Oh, kau sudah sadar?” terdengar suara lain. Seorang perempuan berjas putih masuk ke dalam kamar. Menghampiri Laras sambil tersenyum tipis.
“Siapa kau?”
“Namaku Lyn. Aku yang bertanggungjawab di sini.”
“Dimana ini?” Laras berjengit risih, ketika Lyn menyorotkan senter kecil ke matanya.
“Fasilitas terbaru Unit Tujuh Dua Satu.” kata Lyn sambil lalu, mematikan senter, memasukkannya ke kantong jas.
“Unit Tujuh Dua Satu? Tunggu—.” Laras memegangi kepalanya yang mendadak sakit. aneka citra membanjir ke benaknya. Memorinya yang sempat hilang, menyeruak tanpa dapat ditahan. “Kalian…kalian….” kata Laras terbata, teringat ruangan putih bersih, orang – orang berbaju putih “Aku pernah melihat kalian.”
“Mungkin kau salah ingat.” Lyn berusaha tersenyum, meskipun sorot matanya kentara sekali, kaget.
“Kalian yang menculikku.” kata Laras ketakutan, mencoba bangkit dari tempat tidur.
“Tahan dia.” perintah Lyn pada dua rekannya. Keduanya dengan sigap memegangi Laras.
Lyn mengeluarkan suatu alat yang mirip pistol dari sakunya, lalu menempelkannya ke leher Laras. “Kau tak seharusnya ingat, nona. Mungkin sebaiknya kau kembali tidur.”
Sesuatu yang tajam dan tipis menghujam kulit Laras dengan menyakitkan. Perlawanan Laras menyurut. Otot – otot dan sendinya melemas. Kepala Laras terjatuh ke atas bantal, kesadarannya mulai menurun lagi.
“Bagaimana kondisinya?” sayup-sayup, Laras mendengar suara seorang pria.
“Profesor.” terdengar suara Lyn “Residen kode nol dua, belum memunculkan simtom apa pun.”
“Bagus. Pantau terus. Jika dia tidak bertransformasi dalam dua puluh delapan jam ke depan, itu berarti antivirus di tubuhnya berhasil.”
“Baik, Profesor.”
Mati-matian Laras berjuang mempertahankan kesadarannya yang menukik semakin cepat.
“Singkirkan tubuhnya segera, jika semuanya sudah selesai.” suara pria itu semakin sayup. “Sebersih dan seefektif mungkin. Aku tak mau ada jejak yang tertinggal.”
Koneksi Laras dengan dunia sekelilingnya kembali terputus. Kepalanya terkulai. Dia tak sadarkan diri.
***
SEUMUR hidup, Hiro tak pernah menyangka dirinya akan setakut ini menghadapi prospek kehilangan seseorang. Saat menemukan Yoshi di pulau beberapa belas jam yang lalu, Hiro mengira Yoshi sudah ‘lewat’ dan tidak bisa diselamatkan lagi. Pikiran itu menghantuinya sepanjang hari. Bayangan dunia tanpa kehadiran kakaknya ternyata begitu mengerikan.
Hiro menghela nafas berat, menempelkan telapak tangannya ke pemindai di sebelah pintu kamar tempat Yoshi dirawat. Terdengar suara klak-klik mekanisme pengunci yang terbuka. Hiro mendorong pintu, lalu masuk.