Keringat dingin membasahi sekujur tubuh Shiro-Issi yang berlari tunggang langgang, kabur dari monster – monster mengerikan ciptaannya sendiri. Sosoknya yang sok kuasa dan arogan, dibuat tak berdaya. Kini, Sang Profesor tak lebih dari pria tua malang yang ketakutan.
“Sial, sial.” sengal Shiro-Issi, menghambur masuk ke dalam kantornya yang remang – remang untuk berlindung. Dengan rusuh menyambar benda – benda yang sanggup dijangkaunya untuk memblokir pintu.
“Butuh bantuan, Profesor?” sebuah suara berkata di dalam kegelapan.
Shiro-issi terlonjak kaget. “Siapa itu?”
Terdengar bunyi klik pintu kantor yang terkunci secara otomatis, disusul lampu – lampu yang menyala.
“Saya sarankan anda memasang kunci manual juga untuk lain kali. Seandainya sistem kunci otomatis anda tidak berfungsi.” suara itu berkata lagi.
Shiro-Issi berbalik dan mendapati seorang perempuan pendek berkacamata yang tak asing, sedang tersenyum menatapnya.
“Emma?” sengal Shiro-Issi heran.
“Profesor.” Emma membungkuk sekilas.
“Mau apa kau di sini?” selidik Shiro-Issi.
“Menunggu anda, Profesor.” kata Emma, suaranya tenang. Tidak gugup seperti biasanya.
“Menungguku?”
“Ya, banyak yang harus kita bicarakan.” Emma merogoh sakunya lalu menodongkan pistol, sambil tersenyum dingin.
Shiro-Issi menatap waspada, pistol di tangan Emma.
“Silahkan duduk.” kata Emma pelan.
Shiro-Issi menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa dengan kemarahan yang menggelegak. Diperintah untuk duduk di kantor pribadinya, oleh asisten juniornya sendiri, sungguh melukai harga dirinya. Dialah yang seharusnya memberi perintah, bukan Emma.
Perempuan jahanam. Shiro-Issi mendelik gusar pada Emma, yang menyusulnya duduk di sofa yang berseberangan. Aku akan membuat perhitungan denganmu.