Dunia Shiro-Issi amblas dalam sekejap mata. Belasan tahun kerja kerasnya luluh lantak di tangan asisten junior yang dianggapnya tak berharga. Perempuan kutu buku yang selalu tampak gugup itu rupanya menyimpan sisi lain. Musuh dalam selimut yang tak terdeteksi.
“Sejak kapan kau merencanakan semua ini?” kata Shiro-Issi dengan dada naik turun menahan emosi.
“Sejak anda memperlakukan ide – ide saya seperti sampah.” mata Emma menyipit geram. “Saya selalu mengagumi anda, Profesor. Tapi anda tak pernah peduli, selalu memandang sebelah mata semua yang saya kerjakan.”
“Hanya karena itu?” cibir Shiro-Issi.
“Awalnya.” balas Emma tenang. “Sekarang, tujuan saya berbeda." Emma mengacungkan pistolnya lurus – lurus ke arah Shiro-Issi.
Shiro-Issi tersuruk mundur ke sandaran sofa.
“Tidakkah anda merasa janggal, dengan hasil uji coba kali ini, Profesor?” Emma menyeringai. “Sembilan puluh persen dari mereka sudah tergigit—”
“—tapi tak semuanya bertransformasi.” air muka Shiro-Issi berubah, setitik pemahaman terjentik di benaknya.
“Ya. Itu karena, ada dua antivirus yang diuji kali ini.” seringai Emma melebar.
“Dua antivirus….” mata Shiro-Issi melebar kaget. “Kau—”