Di bawah sinar rembulan, seorang pria dengan secangkir kopi ditangannya sedang bersantai. Senyum manisnya terukir tiap kali ia menemukan lelucon di sosial media. Tidak hanya konten jenaka yang ia sukai, ia juga sangat menyukai hal-hal astronomi dan sajak. Baru-baru ini ia memiliki pengarang sajak kesukaannya, nama penanya Earthella dengan emotikon matahari dan akun instagramnya adalah @uni-verse.
“Like the ocean meet the shore, the wave is my heartbeat. Wah, gokil ini bagus banget sajaknya! Harus gue ss[1], nih, terus masukin ke story Whatsapp!” decak seorang pria di teras rumahnya. “Wah, author-nya juga manis. Pantes banyak endorse di halaman Instagram-nya.”
“Tang, Tang, umur udah tua malah nyari cewek dari ponsel,” keluh bapaknya sembari duduk di sampingnya dengan secangkir kopi di tangannya.
“Udahlah, Pak, Tatang nggak mau nikah sama Erni.” Tukas putranya. “Lagian sekarang Tatang udah kuliah, Pak, sebentar lagi Tatang bakalan kerja jadi peneliti antariksa gitu.”
“Maksudnya, Tang?” tanya ibunya yang ikut gabung bersama anak sulung dan suaminya, tak lupa ia menyajikan singkong goreng di hadapan mereka.
“Iya, Tatang nanti akan meneliti angkasa gitu, Mak. Doain Tatang, ya, Mak,”
“Maksudnya, teh, kamu mau pergi ke luar angkasa gitu? Aduh, di bumi aja atuh, A. Nanti kalo jatoh, emak sedih kehilangan kamu.” Bu Sri bergidik ngeri.
Ia tertawa. “Ya, nggak lah, Mak. Pasti semuanya udah sesuai dengan prosedur K3LH[2].”
“Oh gitu, ya, A. Pinter banget kamu sekarang, emak bangga,” tangannya meraih tangan Semesta.
Malam ini merupakan malam terakhirnya di desa untuk mengunjungi keluarganya. Dari kecil Semesta, atau yang sering disapa Tatang, tinggal dengan neneknya di kota, jadi ia jarang sekali bisa kembali ke kampung karena akses jalan yang lumayan sulit. Sebenarnya ada alasan lain kenapa Semesta jarang mengunjungi keluarganya, salah satunya ialah ia tahu bapaknya ingin menjodohkan dia dengan anak kepala desa bernama Erni untuk melunaskan utang keluarga. Tentunya Semesta merasa terganggu dan memilih untuk menjauh dari keluarga intinya.
Suatu waktu ketika neneknya sakit dan harus dirawat, Semesta sempat meminta untuk dipulangkan ke keluarganya karena takut merepotkan. Saat itu Semesta baru saja lulus SMA dan dengan dalih usia yang sudah cukup, bapak memaksa Semesta untuk menikahi Erni. Makin lama ia makin merasa risi, akhirnya Semesta kabur dan kembali ke rumah neneknya. Kalau disuruh memilih antara menjaga neneknya seumur hidup dan menikahi wanita yang bahkan tidak ia kenal, ia lebih memilih tinggal bersama neneknya selamanya.
Sayang sekali, keluhnya kala itu, padahal panorama langit malam di desa sangat jernih hingga menampilkan bintang-bintang dari angkasa luar. Sampai sekarang pun hal yang paling ia rindukan adalah ibunya, kedua adik kembarnya, dan taburan gemerlap di malam cerah. Begitupun fajar di pagi hari. Hawa segar mengisi paru-paru, embun membasahi dedaunan, matahari terbit dengan penuh percaya diri. Tak lupa pemandangan para petani yang dengan semangatnya membawa cangkul ke tengah sawah, para ibu mengantarkan anak-anaknya ke sekolah, dan tukang sayur yang dengan lantang menyuarakan belanjaannya.
Dunia begitu ramai dan tentram hari ini, tapi Semesta harus kembali ke kota. Senyumnya mengembang sembari mencium tangan kedua orang tuanya dan memeluk kedua gadis kembar yang cukup nakal itu. Beberapa saat setelahnya, bapaknya sudah siap dengan motor bebek kesukaannya untuk mengantar anaknya ke halte tempat Semesta akan menaiki bus menuju kota.