“Bego!”
Sudah sepuluh tahun sejak ia menangis seperti ini. Hatinya hancur memikirkan kebodohan yang ia lakukan. Raditya pernah berjanji untuk tidak mengecewakan Ibunya, tapi kemudian ia mengingkarinya. Sekarang ia pun mematahkan kepercayaan wanita yang sangat ia sayangi.
Suara menggemaskan milik kekasihnya lantang terdengar jelas di memorinya, gadis itu mengumumkan betapa bangganya ia memiliki seorang matahari di sisinya. Kenangan manis berputar di kepalanya mengenai liburan musim panas satu tahun setelah mereka berpacaran.
“Teriak aja, di sini nggak akan ada yang dengar kok,” ujar Raditya sembari melepas rangkulannya.
Mata Antari menyapu sekeliling pantai, kakinya berlari menyusuri dermaga kayu yang mengarah ke laut. Raditya tidak menyangka kejutan kecil ini mampu membuat senyuman selebar itu. Sebenarnya Raditya memang membawa Antari karena ia melihat Antari kesulitan mencari inspirasi akhir-akhir ini, jadi mungkin laut bisa menjadi penawarnya.
“Dit, kamu malu nggak sama aku?” tanya Antari dengan nada ragu.
Raditya menggeleng dengan cepat. “Nggak, dong. Kamu cantik, pintar, baik, lucu … apa lagi yang kurang dari kamu?”
Antari tersenyum tipis. Matanya sedikit berair, tapi ia buru-buru menatap senja.
“I love you, my personal sun!” serunya sore itu. Kepalanya berputar ke kanan dan kiri, memandang takjub ombak yang menyapu lautan.
Mereka berdua duduk di jembatan itu sembari bercengkrama.
“Gimana? Sudah dapat idenya?” tanya Raditya.
Antari mengangguk mantap.
“Wah, kasih tau, dong!” pinta Raditya, ia menggeser bokongnya agar bisa duduk lebih dekat dengan Antari.
“Like the ocean meet the shore, the wave is my heartbeat.” Antari tersenyum simpul, alisnya bermain seakan meminta pengakuan betapa hebatnya dia kepada pacarnya.
“Hahaha … emang hebat pacar aku!” Raditya tertawa seraya bertepuk tangan, kebiasaannya ketika ia merasa sangat lucu dan takjub di saat bersamaan. “Sini, peluk dulu.”
Keduanya membicarakan hal-hal seputar sekolah dan terkadang menggosipi teman-temannya yang merupakan langganan guru BK. Raditya sangat tahu mengenai impian Antari untuk menjadi angkasawan, begitupun Antari yang mendukung hobi Raditya di bidang kerajinan tangan. Raditya sangat suka membuat guci dan anyaman, persis seperti almarhum ayahnya.
“Suatu saat aku akan membuat inovasi mengenai sampah luar angkasa, Dit. Di salah satu artikel menyebutkan data sampah antariksa mencapai ratusan, aku ingin membuat suatu gagasan untuk menanggulangi ini. Kalau nggak, bumi akan kena dampaknya.” Papar Antari.
“Tentu, kamu pasti bisa melakukannya. Karena apa yang ada di sini,” Raditya menunjuk kening Antari, “sangat cerdas! Berhubungan dengan bumi, kenapa kamu selalu mention tentang kita sebagai matahari dan bumi? Tell me,”
“Arabella means Bumi, Dit, and you are my sun.”
Raditya tersenyum hangat. “Oke, sekarang aku paham..”
“Kalau kamu, Dit, kenapa kamu suka banget sama keramik?” tanya Antari mengganti topik.
“Hm, mungkin karena ayah aku dulunya pekeramik, hahaha,” jawab Raditya. “Ayah aku selalu bilang gini, Tar, ‘Jadi orang harus sekuat tanah liat, jangan bermental kaca. Meskipun tidak indah, saat hancur serpihannya tidak akan menyakiti.’. Nah, dari filosofi itulah aku mau mengembangkan kerajinan ini.”
“Ayah kamu hebat, Dit!” puji Antari kemudian.
“Yah, dia emang hebat, hehe. Bahkan saat sebelum meninggal, dia membuat satu guci untuk Mama aku.”
Wajah Antari berubah muram. “Makasih ya, Dit. Kamu orang pertama yang tulus sayang sama aku, bahkan lebih dari ayah kandung aku sendiri,” tiba-tiba saja mata yang menatap takjub senja berubah sendu.
Raditya merangkul tubuh mungil Antari tanpa berkomentar apapun.
“Dulu ayahku meninggalkan ibu aku karena wanita yang jauh lebih cantik. Padahal ibu yang selalu menemani ayah sampai sesukses sekarang, tapi semuanya kandas.” Antari menghela napasnya. “Aku takut kalau suatu saat kamu…,”
“Hus, nggak usah mikir yang nggak-nggak. Aku bukan tipe kayak gitu, aku nggak mungkin ninggalin kamu,” kilah Raditya saat itu.
Bodoh sekali, pikirnya, bisa-bisanya ia menjanjikan itu kepada Antari. Namun seperti halnya matahari, ia terbit dan terbenam. Yang tadinya menghangatkan sepanjang hari bisa sangat mendinginkan di malam hari. Bukankah Raditya bentuk dari kekecewaan ketika langit berubah gelap? Layaknya serigala di bawah sinar purnama, Raditya menelan matahari ke perutnya dan menjadi liar.