UNIVERSE

Nadine Mandira
Chapter #8

COMULONIMBUS - GEMURUH TANGISAN

“Ada ya orang yang apa-apa share ke sosmed,”

“Ya mau gimana lagi? Kan dia gak punya temen,”

“Iya juga, sih,”

Begitulah bisik-bisik di sepanjang lorong. Antari sudah menyiapkan hatinya untuk kemungkinan yang terburuk. Siapa sangka berita itu menyebar luas dari bibir ke bibir, sampai kemungkinan terburuk yang Antari takutkan langsung terjadi sehari setelahnya.

“Eh, selebgram[1], lo dipanggil dosen!” seru salah seorang yang mengarah ke Antari.

“Minggir, guys, bucin[2] mau lewat,” sindir salah satu seniornya saat berpapasan dengan Antari.

Antari berusaha keras untuk menunjukkan wajah tegarnya, ia mengubah tujuannya menjadi ke ruang dosen. Berkali-kali ia mengembuskan napasnya, menutup telinganya dari berbagai cibiran. Banyak yang menunjukkan ekspresi tidak suka kepadanya, ada juga yang tampak kasihan.

Sesampainya di ruang dosen, Antari mendapat nasihat tanpa henti. Dosennya mengatakan kalau Antari memiliki kepribadian yang buruk, mereka bahkan tidak memberikan Antari kesempatan untuk menjelaskan kebenaran dari sudut pandangnya. Meski ia sudah terpojokkan, Antari tetap berusaha menahan air matanya sampai akhirnya ia dipersilakan untuk pergi.

Antari berlari menuju keluar dari kampusnya, sejauh mungkin sampai tidak ada satupun yang bisa melihat tangis Antari mengalir dari pelupuk matanya. Antari menaiki bus yang menuju rumahnya, tanpa memedulikan seseorang sudah mengikutinya sejak awal. Pria itu pun duduk di samping Antari.

“Buruk banget ya, padahal belum rumornya tersebar kurang dari sebulan,” komentar pria itu.

“Berisik!” tukas Antari.

Tepat di Halte Sari Raya, Antari memutuskan untuk turun. Layaknya bayangan, Semesta-pun ikut turun. Hari ini alam menyesuaikan perasaan Antari, awan mendung menyelimuti kota sepanjang hari. Seharusnya siang ini terik matahari menyengat kulitnya, tapi justru angin yang menghiburnya. Semenjak turun dari bus, Semesta selalu mengikutinya. Layaknya bulan yang setia mengorbit bumi, Semesta tidak meninggalkannya.

“Ngapain sih daritadi ngikutin terus?” protes Antari yang sudah tidak bisa menahan emosinya.

“Hm, mungkin karena kamu menarik perhatian saya?” Semesta menjawab tidak pasti.

Perasaan Antari sedang kacau, ia terduduk di bangku halte dengan wajah yang ia tutupi dengan kedua tangannya. Semesta terdiam, memerhatikan Antari yang masih belum mau membuka dirinya.

“Kayaknya kamu tersakiti banget, ya?” tebak Semesta. “Kalau dilihat dari cara respon kamu ke masalah ini, kayaknya pacar kamu nggak tau kamu lagi ada masalah, ya?”

Antari berdecak.

“Hm, apa jangan-jangan kamu nggak suka menceritakan masalah, ya? Atau mungkin… kamu nggak punya temen?” lagi-lagi Semesta menebak. “Saya pernah bilang kalau saya bisa membantu kamu, kan?”

“Bantu kayak gimana? Apa yang bisa Kakak bantu di situasi kayak gini? Karir aku hancur, hidup aku juga… ah, sial banget, sih!” Antari meracau, jemari tangannya mulai menjambak rambut hitamnya.

Semesta menarik tangan Antari, berusaha menghentikannya. “Gimana saya mau bantu kamu kalau kamu sendiri nggak percaya sama saya?”

“Terus? Apa yang bisa dipercaya dari kakak? Kakak itu siapa? Kita nggak saling kenal!” Antari melepaskan genggaman Semesta darinya.

Lihat selengkapnya