September tahun lalu, tepatnya hari pertama Antari kuliah, keluarganya mengadakan pesta kecil-kecilan. Tak lupa Salma menelpon Raditya untuk memberikan sedikit kejutan di hari bahagia putrinya. Senyuman bahagia Antari masih terpahat di ingatan Raditya.
“Terima kasih ya, Dit, udah sempetin dateng. Padahal ibu ngabarin dia pagi tadi, tapi Raditya langsung naik kereta untuk ke sini,” puji Salma saat makan malam berlangsung.
“Iya dong, kan aku prioritasnya!” Antari menyombongkan dirinya. “Ngelebihin Alice Coffee itu.”
“Andrie’s Coffee,” Raditya mengoreksi.
“Iya, iya, aku lupa terus.”
Raditya dan Adam tertawa mendengar celotehan Antari.
Sebenarnya Raditya sudah berjanji kepada Ursa untuk menemaninya ke kelab malam ini, tapi ia tidak bisa mengecewakan tunangannya. Dari kedatangannya, Antari sudah menyadari gelagat Raditya yang tidak tenang. Berkali-kali Raditya mengecek ponselnya dan menerima telepon dari nomor yang sama. Dari ekor matanya, Antari bisa melihat kalau ?wallpaper? ponsel Raditya bukan lagi dirinya. Antari menyingkirkan pikiran negatif dari kepalanya, ia yakin Raditya bukan pria berengsek.
“Hm, Tari, bisa ngomong sebentar?” bisik Raditya setelah acara makan malam selesai.
Raditya menarik tangan kekasihnya ke luar ruangan. Ia gelisah, tidak ada satupun kata-kata yang disusun dengan benar.
“Kenapa, Dit? Ada masalah, ya?”
Mata Raditya membulat, ia pun menjawab dengan gugup. “I-iya, Tar, aku harus pergi… mitra aku mendadak minta, hm, itu… revisi perjanjian kontrak! Jadinya aku harus menghadirinya besok. Aku sebenernya mau bilang itu ke kamu, tapi aku nggak bisa menolak ajakan Ibu kamu. Hm, jadi aku…,”
Seketika senyuman di wajah Antari terbenam.
“Ta-tapi mungkin aku bisa atur ulang jadwalnya,” kilah Raditya yang tidak tega melihat wajah sedihnya.
“Nggak apa-apa, Dit, bisnis itu penting untuk kamu.” Antari mencoba untuk kembali tersenyum. “Aku nggak akan banyak protes, aku akan selalu dukung keputusan kamu.”
Raditya merangkul Antari ke dalam pelukannya. “Aku bener-bener minta maaf, tapi aku nggak bisa meninggalkan urusanku. Aku harus ke bandara untuk mengejar waktu.”
“Urusanmu, ya?” gumam Antari kecewa. “Aku penasaran sepenting apa urusanmu.”