Purnama yang cerah.
Jemari Antari berusaha menggapai bulan yang sedang memamerkan kecantikannya. Tidak banyak yang ia lakukan semenjak kembali dari kampusnya, ia butuh waktu untuk menenangkan hatinya. Sesekali Salma khawatir dan memaksanya untuk tidak melewatkan makan malam, tapi Adam bersikeras membiarkan Antari sendiri. Sepertinya kabar tentang pernikahan Raditya sudah tersebar.
Biasanya ia selalu memegang kendali atas angin yang mengarahkannya, tapi malam ini semuanya berbeda. Antari membiarkan angin itu berkecamuk, memuncak, dan meledak sampai tangisnya tak terbendung. Apapun yang terjadi, ia tidak akan membiarkan dirinya berakhir seperti ibunya. Hidupnya selalu berjalan sempurna semenjak Raditya datang, Antari yakin bukan ini akhir dari kisah mereka.
Saat itu Antari baru berusia tiga belas tahun, tepatnya ia masih duduk di sekolah menengah ketika ayah dan ibunya bertengkar hebat. Mereka menunggu sampai Adam dan Antari tidur, lalu berargumentasi tanpa menyadari bahwa salah satu anaknya terbangun. Dari kamarnya, Antari bisa mendengar teriakan-teriakan orang tuanya.
“Apa karena aku nggak secantik dia, makanya kamu berpaling?” tanya ibu di sela-sela tangisnya.
“Ini bukan karena dia lebih cantik, Sal, tapi saya merasa Kirana lebih bisa memahami saya!” seru ayahnya.
“Terus apa artinya belasan tahun pernikahan kita?” balas ibu, nada bicaranya meninggi. “Kita sudah punya dua anak. Kamu mau ninggalin keduanya demi cewek yang deketin kamu hanya karena sekarang kamu sukses? Kamu lupa selama ini aku yang selalu ngebantu kamu? Dari kamu masih jadi karyawan dan berniat membuka usaha, aku yang berjuang agar kamu mencapai impian kamu!”
Tidak terdengar suara ayah membalas perkataan ibu.
“Aku… aku akan maafin kamu. Akhiri hubungan kamu dengan Kartika, kembali ke keluarga kita lagi.” Perintah Ibu, suaranya mulai tenang.
“Ta-tapi, Salma, aku…,”
“Aku nggak peduli apapun kesalahan kamu, aku… aku cuma mau kamu selalu di sisi aku. Aku akan maafin kamu, karena kita layak mendapatkan akhir yang bahagia sebagai keluarga. Jadi, lakukan yang terbaik sebagai suami aku.”
Terdengar ayah menggeram. “Maaf, tapi aku bener-bener nggak bisa.”
Antari bisa dengar suara Salma yang membalas penolakan ayahnya, tapi suaranya sangat pelan. Tak lama setelahnya, suara pintu yang dibanting terdengar. Ya, ayahnya pergi meninggalkan keluarganya.
Semenjak kejadian itu, ayahnya jarang sekali kembali pulang ke rumah. Terakhir, ia hanya berpamitan tanpa menjanjikan kapan ia akan kembali. Salma sangat terpukul, ia mengurung diri selama berhari-hari layaknya berkabung akan kehidupan barunya sebagai orang tua tunggal. Namun Adam selalu berusaha mengisi kekosongan yang hilang di hati Salma. Adam percaya ibunya sudah baik-baik saja, tapi tidak dengan Antari. Antari-lah yang selalu mendengarkan tangisannya di puncak malam. Dari saat itu, Antari bertekad untuk tidak membiarkan siapapun menyakitinya. Bahkan kalau bisa, ia rela mengumpulkan tiap pecahan gelas kaca dan menyusunnya agar kembali menjadi bentuk semulanya.
Ini hanya konflik biasa, pikir Antari. Ia berada terlalu dekat dengan matahari, karena itu ia akan mundur selangkah. Apapun yang terjadi, Antari akan selalu menunggu Raditya kembali menyinari bumi.
Suara ketukan pintu menyadarkannya. Antari menoleh dan mendapati Adam membuka pintunya sedikit, meminta izinnya untuk memasuki area milik adiknya, dan akhirnya ia duduk di tempat yang biasanya diduduki oleh Raditya. Adam bersusah payah menarik boks cokelat yang tingginya hampir sama dengannya ke dalam kamar kecil di loteng ini.
“Lo sendirian aja dari tadi, ibu khawatir tau.” Adam membuka obrolan. “Gue mau mastiin adek gue kesurupan apa nggak, soalnya betah banget di balkon gini.”
Antari memutar kedua bola matanya.
“Oh iya, gue beliin lo hadiah!” seru kakaknya, berharap adiknya terkesan.
Meski tidak menjawab, tapi Adam tahu adiknya cukup penasaran.
“Nah, ini, buat lo.” Adam menyerahkan boks raksasa itu kepada adiknya, tapi ia menarik kembali kadonya saat Antari berusaha mengambilnya. “Eits, ada syaratnya, tau! Sekarang lo cerita sama gue semuanya. Biarpun tampang playboy gini, gue cukup bisa mengerti wanita, Dek. Jadi, gue mau lo cerita sama gue,”
“Ish, ribet banget!” gerutu Antari. “Udahlah, aku nggak mau bahas dulu!”
Sorot mata Adam terlihat berbeda, giginya sesekali menggertak. “Dek, kamu tau sekarang ‘cowok itu’ dimana?”
“Nggak tau dan apa pentingnya tau itu sekarang? Semuanya udah terlam…,”
Tinju Adam mendarat ke meja kayu yang berada di tengah-tengah mereka. Antari terkejut melihat kakaknya yang biasa membuatnya tertawa sangat berbeda ketika marah.
“Ya penting lah! Seenaknya dia ngelamar adek gue, sekarang dia ninggalin lo tanpa penjelasan! Bajingan tuh cowok. Tega banget dia ngebuat lo nangis berhari-hari sampai lupa makan, bahkan ibu ikut khawatir. Setan tuh orang!
“Gue pikir akhirnya adek gue bisa ngebuka diri, gue pikir akhirnya lo punya teman yang benar-benar sayang sama lo, gue pikir dia layak ngedapetin lo. Cowok itu udah janji sama gue, Dek, dia janji untuk jagain lo. Bego banget gue berpikir bisa ngelepas lo ke dia.”
Buliran air mata memaksa untuk keluar dari kantung mata Adam, wajahnya memerah. Jujur, ia merasa malu karena menangis seperti ini ke adiknya.
“Akhir-akhir ini ibu selalu nangis, Dek, dia takut lo kenapa-napa. Gue nggak bisa ngeliat ibu nangis lagi, dia udah cukup hancur pas ayah ninggalin kita. Sekarang gue harus ngeliat lo nangis karena bajingan lainnya. Kalau nanti gue ketemu sama dia, gue pasti...–”
“Bang Adam,” gumam Antari lirih. Tanpa basa-basi, ia menghampiri kakaknya dan langsung memeluknya erat.
Amarah di hatinya perlahan padam. “Dek, lo itu adek gue, gue mohon satu hal: jangan buang-buang waktu lo untuk cowok yang udah ninggalin lo.”
Pelukan Antari merenggang. “Aku akan usahain itu.”
Senyuman terbit di wajah Adam, ia mencium kening adiknya, lalu memintanya untuk makan malam sebelum membuka kado darinya. Antari tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti instruksinya. Ibu terlihat bahagia karena putrinya mau turun dan tidak melewatkan makan malam hari ini.
Malam masih panjang dan kenangan Antari terus berputar. Ia ingat betul ketika Raditya mengumumkan hubungan mereka, banyak sekali kicauan buruk mengenai dirinya. Mulai dari, ‘Si Raditya ganteng banget ya, tapi pacarnya biasa aja gitu,’ sampai ke yang paling ekstrem, ‘Palingan cuma sesaat doang, nanti juga putus,’. Sebaliknya, hubungan Raditya dan Antari semakin kuat. Antari masih bisa merasakan bangga yang ia rasakan ketika mereka menghadiri reuni dan dengan percaya diri Antari mengatakan mereka sudah bertunangan. Momen itu seperti balas dendam terbaik yang pernah ia lakukan. Namun ternyata ia diputuskan sepihak dan harus menerima kenyataan Raditya akan menikahi gadis lain. Bisa Antari bayangkan seburuk apa cemooh teman-temannya sekarang. Ah, lebih tepatnya lagi, sebejat apa cemooh yang Ghea lontarkan. Sulit untuk mengakuinya, tapi ia akan melakukan apapun agar teman-temannya percaya kalau Raditya benar-benar mencintainya.
Getaran ponsel di saku celana pendek Antari membuatnya terkesiap, ia pun meraih gawainya, lalu membuka pesan yang dikirimkan Denise di grup WhatsApp miliknya.