Penyambutan hari wanita di alun-alun menarik perhatian warga di kota kecil ini, sang walikota mengadakan festival jajanan selama seminggu dengan maksud meningkatkan UMKM. Hal itu membuat Ursa dan Elis bersemangat untuk memperkenalkan Andrie’s Coffee lebih luas lagi. Meskipun awalnya Andrie melarang keponakannya karena Yanti bersikeras menutupi kehamilan anaknya, tapi Ursa tidak mengindahkannya.
“Gue kira lo bakalan kabur, Ca,” kata Elis ketika kedai sedang sepi.
“Tadinya, Mbak, tapi bapak gue udah mengancam,” balas Ursa singkat.
“Lagian lo bego banget sih, Ca, emangnya lo nggak pake ‘pengaman’?” cibir Elis sembari menggelengkan kepalanya.
“Namanya lagi high, Mbak, jadi terbawa suasana, hahaha!”
“Bener-bener deh ini anak!” Elis menepuk dahinya. “Terus gimana cowok itu? Masa dia udah enak sama lo, tapi lo lepasin gitu aja?”
"Baru-baru ini dia bilang mau bertanggung jawab, tapi dia masih belum yakin." Ursa menggigit bibir bawahnya, terdapat sorot kekecewaan di kedua bola matanya. “Gue juga masih ragu sama dia, Mbak. Di satu sisi, gue suka sama dia dan gue nggak munafik pengen nikah sama dia. Di sisi lain, gue nggak bisa maksa dia untuk nikah sama gue hanya karena bayi kita. Dia masih sayang sama tunangannya, Mbak, gue nggak mau tersiksa nantinya.”
“Tapi, Ca, masa iya dia bahagia dan lo nggak? Umur lo masih 24 tahun, lo cantik dan pinter. Gue ngerasa gemes aja gitu,”
“Maksud lo gue harus paksa dia menikah sama gue hanya karena gue nggak mau dia bahagia sama orang lain? Gue sempet berpikir kayak gitu, sih, Mbak. Cuma balik lagi… untuk apa gue menikah, tapi ujung-ujungnya jadi duri untuk gue dan dia? Mendingan biarin aja dia bahagia dan pasti nantinya gue bisa bahagia.”
“Iya juga, sih. Kalo dipaksain juga kasian calon bayi lo,” gumam Elis yang akhirnya setuju. “Tapi tetep aja, Ca, harusnya dia kontribusi finansial, kek!”
“Ya kali, Mbak, gue masih ada tabungan. Nggak bakalan gue ngemis kayak gitu, hahaha!” tolak Ursa.
“Sombong, lo!” ejek Elis yang diakhiri dengan tawa keduanya.