Di pagi yang sama dengan suasana berbeda, Antari bergegas menuju ke alun-alun kota untuk menemui Ursa. Ia sudah menghubungi Dita dan Denise agar segera menyusul pembimbing dadakan itu. Seperti dugaannya, Dita dan Denise sangat terkejut mengetahui tim mereka akan menjadi Tim Kontra. Sesampainya, Ursa terkejut mendapati Antari membawa dua orang asing lainnya. Terlebih ketika Dita dan Denise terfokus ke perut buncit milik Ursa.
“Bantuan gue? Untuk kontes debat?” Ursa bertanya-tanya. “Apapun itu, gue enggak bisa bantuin kalian. Kalian bisa lihat gue harus buka coffee shop ini.”
“Kita bisa kok bantuin kakak, tapi setelahnya kakak bantuin kita,” tawar Denise. “Please, Kak, untuk hari ini aja.”
“Hm, Mbak Lis, apa kita harus nambah orang?” tanya Ursa kepada Elis yang sedang mengatur meja dan kursi.
“Sebenernya sih nggak perlu,” gumam Elis. “Emangnya kenapa kalian bersikeras banget?”
“Itu karena kita mau bales dendam,” celetuk Denise yang langsung dihentikan dengan cubitan kecil dari Dita.
“Kontes debat ini bisa nambahin nilai kita, Kak,” timpal Dita.
Elis menghampiri mereka dengan tawanya yang khas. “Wah, gue seneng nih dengerin drama anak muda kayak gini. Udah, Ca, terima aja. Lagian mereka bisa bantuin lo ngurusin masalah di kantor juga.”
Ursa mengangguk pelan. “Oke, gue setuju.”
Senyuman mereka mengembang. Ursa membagi tugas mereka bertiga, Antari dan Denise akan membantu Elis melayani pelangggan, sedangkan Dita akan membantu Ursa dibagian kasir dan bagian administrasi lainnya. Untuk hari pertama, mereka cukup baik dalam menerima arahan. Tawa canda disela-sela bekerja membuat mereka jauh lebih dekat. Meski awalnya canggung, tapi Antari berusaha keras untuk membaur.
Elis dan Denise merupakan tipe pelawak dalam grup, kebanyakan lelucon terlontar dari bibir mereka. Terkadang Ursa memarahi Antari karena tidak fokus memberikan pesanan kopi, tapi ia segera memakluminya. Ursa pun memberikan spidol agar Antari langsung bisa mencatat menu di gelas plastik, jadi tidak akan tertukar. Tak jauh beda dari Ursa, Dita pun sesekali menerima arahan dengan nada geram ketika salah mengirimkan alamat surel mengenai penjualan hari ini.
“Akhirnya selesai juga!” Denise menduduki kursi dengan tergesa-gesa. “Kaki gue pegel banget, gila.”
Tak lama setelahnya, teman-teman yang lainnya berkumpul ke dalam tenda.
“Ca, dia hebat, lho! Gesit banget.” Elis memuji Denise.
“Denise gitu, lho!” Denise membanggakan diri.
Semuanya tertawa mendengar celetukkan Denise.
Ponsel Elis berdering. “Gue keluar sebentar, ya, sekalian beli nasi padang dulu.”
“Hati-hati, Tante!” Denise melambaikan tangannya seperti anak kecil.
“Jadi, apa yang kalian ingin tanyakan ke gue?” tanya Ursa.
Dita mengeluarkan beberapa lembar hasil riset mereka, lalu memberikannya kepada Ursa. Mata Ursa membaca garis besar permasalahannya.
“Ini kontes biasa di kampus kalian, kan? Kalian ambisius juga, ya,” gumam Ursa. “Ngeliat kalian susah payah untuk ngejadiin gue narasumber, pasti kalian berharap banget untuk menang, ya.”
“Yah, soalnya nama gue dan Kak Dita jadi ikut digosipin karena rumor tentang Kak Antari," sahut Denise yang lagi-lagi kena cubitan dari Dita.
Ursa mengangguk paham. “Kenapa lo enggak tabok aja mulut-mulut yang pernah bully lo? Antari, lo enggak bego, kan?”
Tangan Antari mengepal.
“Maaf sebelumnya, tapi gue udah tau masalahnya dari Dita. Tar, kalaupun lo ngerasa salah karena pernah meninggalkan temen yang cuma jadi beban doang, ya setidaknya jangan ngebuat harga diri lo diinjak-injak!”
"Masalahnya lebih dari itu," balas Antari ketus. “Cewek cantik kayak kakak enggak bakalan ngerti perasaan gue,”
Ursa mendecak, tidak menyangka. “Kenapa jadi ngebawa paras? Lagian, yang bilang lo jelek siapa?”
“Mereka.” Jawab Antari spontan. “Dit, Den, gue balik duluan, ya,”
Kedua temannya terbelalak, tapi tidak ada satupun yang berani menghentikan Antari. Ursa terbangun dan mengikuti Antari dari belakang.
“Kita jalan udah jauh, lho, lo nggak kasian bikin ibu hamil ngikutin lo?” sindir Ursa. “Kenapa? Lo mau bilang bukan lo yang minta? Mau sampe kapan lo nyingkirin orang-orang yang peduli sama lo?”
Antari berhenti, membalikkan badannya. “Kenapa kakak peduli sama gue?”
“Bukannya gue udah bilang kalau lo ngingetin gue sama diri gue yang dulu. Meskipun keliatan mudah bergaul, dulunya gue kuper dan julid abis. Ada yang ngelakuin hal di luar batas normal gue dikit aja, gue langsung jauhin. Sampai akhirnya gue menemukan titik nyaman gue. Mungkin kesannya agak sok akrab, tapi lo bisa percaya sama gue. Gue nggak akan mengkhianati lo.”
“Tapi…,”
“Tapi apa? Dulu lo pernah segitu percayanya dan dikecewain? Bahkan cowok yang pernah lo sayang juga meninggalkan lo?”
“Cinta itu kutukan, Kak.” Ujar Antari lirih.
“Gue paham untuk sekarang bagi lo masalah ini besar banget, kayak asteroid yang bisa ngehancurin bumi. Percaya sama gue… beberapa bulan dari sekarang, atau mungkin beberapa tahun kedepan lo akan sadar kalau masalah ini nggak lebih besar dari kerikil.”
“Gimana caranya?”
Ursa berjalan beberapa langkah untuk mendekati Antari, ia meraih tangan Antari dan menggenggamnya. “Percaya sama gue, gue akan ngelindungin lo, gue nggak akan mengkhianati lo.”
Seutas senyuman terbit di wajah Antari. “Seperti Jupiter?”
Ursa mengernyit. “Aduh, gue nggak terlalu ngerti masalah per-langit-an. Tapi, yang jelas gue bakalan ngelindungin lo. Semacam perisai, hahaha.”
Antari tertawa mendengarnya.
“Jadi, kayaknya kita harus balik ke tenda supaya lo bisa ceritain semua masalah lo. Terutama kenapa lo ngebahas tentang cantik dan jelek itu,” Saran Ursa sembari menarik tangan Antari agar mengikutinya.
Tangan Ursa sangat dingin, tapi matanya memancarkan kehangatan. Terlihat kedua temannya sangat lega ketika melihat Ursa berhasil membawa kembali Antari. Untuk pertama kalinya, Antari berani menceritakan pengalaman pahit yang pernah ia alami. Meski lidahnya kelu, kalimat terus mengalir dari bibirnya.
Antari terduduk tepat di samping Dita. “Ghea itu menyukai Ra…, maksud gue cowok gue saat itu, kebetulan gue sebangku sama dia. Ghea juga punya geng, karena dia nggak suka sama gue, jadinya dia ngebuat kedua sahabatnya untuk nge-bully gue juga. Ghea selalu nyerang fisik gue, mulai dari kulit, bentuk fasial, tubuh, dan kadang ngomongnya suka berlebihan. Sisi baiknya, dia selalu jujur mengenai perkataannya, meski ya… suka dilebih-lebihkan. Sampai akhirnya cowok itu nembak gue dan ngebuat Ghea semakin ngebenci gue. Jujur, gue nggak tau apa yang ngebuat dia segitu bencinya sama gue, yang jelas bahkan sebelum gue pacaran pun dia udah ngebenci gue. Puncaknya adalah ketika gue udah muak banget dan gue ngaduin semuanya ke guru dengan harapan bisa keluar dari kelompoknya, bukti chat yang pernah tersebar itu ada benarnya. Setahu gue, setelah gue keluar dari grupnya, nilai mereka langsung memburuk.”
“Kapan lo sadar kalau Ghea benci sama lo?” tanya Dita penasaran.