“Dek, ada temanmu datang,” panggil ibu dari luar kamarnya.
Antari membasuh wajahnya untuk meninggalkan kesan mendung di ekspresinya. Sampai sekarangpun ia masih belum mengerti alasan kenapa Ghea membencinya. Apa mungkin karena Raditya menyukainya? Atau karena pengaduannya kepada Bu Dian? Entahlah, tatapan intimidasinya selalu membuat Antari cemas. Sejujurnya, Antari sempat merasa pengaduannya sedikit berlebihan, tapi memang faktanya Antari merasa dirugikan jika lebih lama bersama mereka. Bodohnya, Antari tidak sadar kalau Ghea merupakan gadis yang pintar bersosialisasi dan merangkai kata untuk memanipulasi lawan bicaranya. Sekilas ia melihat pantulan wajahnya di meja rias. Sial, Antari terus mengutuk parasnya. Mungkin apa yang Lenna katakan benar, ia hanyalah gadis berkulit kusam dengan mata yang aneh.
“Kamu siapanya Antari?” suara berat Adam mulai menginterogasi tamu adiknya.
“Saya hanya kenalannya aja,” jawab si tamu malu-malu.
“Siapa nama kamu?” tanya Adam lagi.
Dari dalam rumahnya, Antari keluar dan menarik lengan Semesta. “Ayo, kita pergi, Kak.”
Tanpa berpamitan, Antari pergi meninggalkan rumahnya. Selama perjalanan, Semesta mencoba menghidupkan suasana. Ia mengatakan kalau ia harus mencari ulang data diri Antari untuk mengetahui alamat rumahnya. Semesta juga membantah pernyataan Denise yang mengatakan dia playboy, ia melontarkan banyak lelucon lucu saat membahasnya. Namun gadis yang ingin ia hibur, justru tidak tertawa.
“Ada bukti kuat kalau saya bukan playboy, Tar,” katanya. “Saya nggak pernah mau bawa motor ke kampus.”
Antari mengernyit.
“Karena saya nggak mau membuat mereka baper dengan cara nganterin pulang ke rumahnya. Saya takut orang tua mereka salah kira kalau saya suka sama anak mereka, padahal kan saya cuma…,”
“Main-main doang?” jawab Antari ketus.
Semesta tertawa sembari mengiyakan. “Tapi itu dulu, sebelum ketemu kamu.”
“Terus sekarang ada bedanya? Apa buktinya?”
“Bukti? Oke. Lihat aja besok!”
Bus berhenti di halte tujuan mereka. Sudah ada banyak orang yang berkumpul di aula untuk technical meeting. Denise melambaikan tangannya, mengisyaratkan Antari untuk duduk berdekatan dengannya. Rapat pun dimulai.
Di depan kelas, Semesta menjelaskan tentang mosi dan peraturan debat yang akan berlangsung hari ini. Di depan mereka juga disiapkan beberapa gulungan kertas yang akan menentukan mereka akan berada di tim pro atau kontra. Seperti yang sudah diinstruksikan Semesta, perwakilan peserta dari masing-masing fakultas akan mengambil gulungan yang berada di meja juri. Dita mengacungkan jempolnya dari kejauhan, sebagai tanda kalau mereka berada di Tim Afirmatif. Denise memeluk Antari, ia sangat senang mengetahui fortuna berada di pihak mereka, setidaknya hari ini.
Setelah beberapa menit, Semesta pun mengumumkan peraturan di babak penyisihan.
“Pagi semuanya. Saya Semesta, saya akan menjadi moderator pada kontes debat hari ini. Sistem debat yang akan digunakan dalam lomba ini adalah sistem debat parlemen Asia. Karena jumlah tim peserta kita ganjil, maka akan ada satu tim penggenap dari panitia. Total ada 12 tim. Babak penyisihan terdiri dari 6 pertandingan debat. Dua tim yang memiliki urutan nilai tertinggi dalam babak ini dapat melanjutkan ke babak final. Urutan nilai tertinggi ditentukan berdasarkan Victory Point atau VP. Jika terdapat VP yang sama, maka urutan nilai ditentukan berdasarkan skor. Jika terdapat kesamaan VP dan skor, maka urutan nilai akan ditentukan berdasarkan margin. Jika masih terdapat kesamaan VP, skor, dan marjin, maka nilai ditentukan oleh pendapat juri.
“Selanjutnya saya akan membacakan tata tertib debat dan alur debat…,”
Mereka mendapat urutan nomor empat dan akan bersaing dengan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, sedangkan Tim Ghea berada di posisi terakhir yang akan berhadapan dengan tim penggenap panitia.
“Eh, Dita,” sapa Rachel. “Sebentar lagi kelompok lo, ya,”
Dita bergidik. “I-iya, Kak.”
“Bagus deh, gue mau lihat skill tim lo. Kebetulan banget tim gue oposisi, jadi gue bisa pelajarin materi kalian. Lo harus menang, ya, jangan kecewain gue. Yaudah, deh, bye.” Rachel pun berlalu, kembali ke teman-temannya.
Antari mengernyit. Rachel kelihatannya baik, kenapa Semesta memperingatkannya soal gadis tadi?
“Kak Tari, kita harus hati-hati sama mereka,” bisik Denise. “Kak Rachel dan Kak Anggi itu menang lomba debat berkali-kali, bahkan pernah sampai semifinal debat nasional. Kak Rachel ibarat otak dan Kak Anggi itu otot. Mereka, khususnya Kak Anggi, jago banget speech yang membuat orang setuju sama dia. Dulu Kak Dita pernah jadi lawan Kak Rachel di salah satu debat, tapi Kak Rachel itu pintar banget mancing emosi lawan. Mungkin karena Kak Dita juga pinter, akhirnya mereka seri. Meskipun akhirnya Kak Rachel yang menang, sih.”
Antari mengangguk paham.
“Tapi ada satu momen dimana Kak Rachel dan Kak Anggi kalah dari Kak Dita. Saat itu, salah satu anggota tim-nya mengacau. Pada dasarnya, Rachel selalu menyusun materinya sendirian dan menjelaskan poin-poinnya secara singkat. Mungkin bagi Kak Anggi dijelaskan secara singkat saja sudah cukup membuat dia berimprovisasi, tapi berdasarkan cerita Kak Tari, Kak Ghea merupakan anak yang susah tanggap, kan? Karena itu isi debat Kak Tari akan sangat berat, tujuannya untuk mengecoh Ghea. Skenario yang sudah dibangun Rachel akan hancur, lalu dia jadi gugup dan melantur. Jadi, Kak Dita sudah mengatur strategi ini.” Denise mulai membisikkan rencana mereka.