UNIVERSE

Nadine Mandira
Chapter #15

ECLIPSE II - BULAN YANG MENDEKAP BUMI

Dari tempat diskusi mereka, Ursa telah datang dan terduduk tak jauh dari mereka. Dita sudah memesan tempat paling nyaman agar Ursa bisa menonton mereka dengan tenang. Meski awalnya dipaksa, tapi Raditya tetap menuruti kemauan Ursa. Sebenarnya ia sama sekali tidak mengatahui kalau tujuan Ursa adalah menghadiri kontes debat di kampus mantan tunangannya. Raditya hanya berharap ia tidak akan bertemu dengan Antari dan membuat keadaan jauh lebih canggung.

Kalo tiba-tiba perut kamu sakit, kita langsung pulang, ya. Pesan Raditya yang hanya dibalas, ‘Iya, bawel,’ oleh Ursa.

“Adit?!”

Baik Raditya maupun Ghea, keduanya sama terkejutnya.

“Lo ngapain di sini?” tanya Ghea lagi.

“Ssttt!” Raditya mengisyaratkan agar Ghea segera menutup mulutnya.

“Lo mau nonton Antari?” tanyanya lagi, jemarinya menunjuk ke dekat pos panitia. “Tuh, di sana!”

“Hah? Antari?” Spontan Raditya mengikuti arah telunjuknya. Seketika jantungnya berhenti berdegup, ia terdiam beberapa saat. Tiba-tiba saja hatinya kembali merasakan rindu yang sudah lama membelenggu. Debaran yang sama seperti hari dimana ia menyadari Antari begitu memukau. Dari kejauhan, Antari tersenyum kepada sejawatnya, ia telihat bahagia.

“Bukannya lo mau nikah, ya, Dit?” Ghea menginterogasi. “Jadinya lo balikan? Terus bay…,”

“Ge, sini! Bentar lagi mulai!” seru Rachel dan Anggi.

Ghea mengembuskan napasnya. “Padahal gue kepo banget, tapi yaudah deh.”

Raditya masih terfokus dengan visual Antari, sampai kemudian dia melihat pria lain datang dan memberikannya sebotol teh kemasan. Mereka tampak akrab dan serasi.

“Tunggu, Ge!”

Ghea menoleh.

“Cowok itu siapa?”

“Oh, itu Kak Tatang. Dari yang gue denger dia agak playboy, tapi akhir-akhir ini dia ngedeketin Antari terus.” Jelas Ghea. “Kenapa? Lo cemburu, ya?”

Suatu pertanyaan yang sudah ia ketahui jawabannya, tentu saja Raditya cemburu.

Sama seperti kemarin, perwakilan dua tim mengambil gulungan di depan meja juri. Bedanya kali ini, Ghea menjadi pemimpin tim nya untuk memilih gulungan. Jelas terlihat ada tanda pada gulungan itu, secepat mungkin Ghea mengambilnya. Benar saja, Ghea mendapatkan gulungan Tim Afirmatif dan sebaliknya. Lalu Semesta kembali membacakan tata tertib dan alur debat.

"Pagi semuanya, saya Semesta Agung Purnama," dahi Semesta mengerut. Suara dari mikrofonnya terlalu pelan. Namun dari kejauhan, Raditya masih bisa mendengarnya.

Hm... purnama, ya??? Raditya menyunggingkan bibirnya.

Semesta menepuk-nepuk kepala mikrofon di genggamannya, sesekali ia mendapati suara yang dikeluarkan belum maksimal. “Tes. Oh, ini udah oke, Jen!” ujarnya pada Jeno.

Sang moderator pun mulai mengucapkan kalimat pembuka dan beberapa sambutan. “Seiring berjalannya waktu, jaman telah berubah. Apa yang dianggap aib, kini sudah raib. Awalnya mencoba, akhirnya mencandu. Presentase kenakalan remaja yang berujung kehamilan tidak diinginkan terus meningkat, terutama di negara kita. Lantas, apa solusi terbaik untuk menanggulangi masalah ini? Faktanya, masyarakat kita kerap menikahkan keduanya. Namun, apa itu solusi terbaik?

“Di samping kanan saya Tim Afirmatif yang merupakan perwakilan dari FEB dan di samping kiri saya Tim Oposisi dari FMIPA. Terkait mosi kita, ‘Solusi Pergaulan Bebas yang Melahirkan Keluarga Prematur: Pernikahan Dini atau Perjanjian di Atas Materai?’, Tim Afirmatif akan memberikan pandangannya mengapa pernikahan tetap menjadi solusi terbaik, sedangkan Tim Oposisi akan menyanggah dengan mengemukakan cara terbaik selain pernikahan.”

Anggi meraih mikrofon yang berada di mejanya. “Selamat pagi. Kami merupakan perwakilan dari FEB dan gulungan yang kami terima adalah Tim Afirmatif. Saya Anggi, selaku pembicara pertama. Lalu ada rekan saya, Ghea, selaku pembicara kedua. Dan yang terakhir, Rachel, selaku pembicara ketiga.” Anggi memberikan isyarat kalau pembukaannya telah selesai dan siap memulai orasi. “Remaja merupakan masa transisi anak menuju dewasa. Pada fase ini, setiap insan memulai pencarian jati dirinya. Sejatinya, orang tua bertanggung jawab untuk menanamkan paham agama dan moral. Namun penelitian Soetjiningsih pada tahun 2006 menunjukan bahwa faktor–faktor yang memengaruhi perilaku seks pranikah remaja adalah hubungan orang tua dengan remaja, tingkat pemahaman agama, tekanan negatif teman sebaya, dan eksposur media pornografi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku seks pranikah remaja.

“Lantas apa solusi terbaik jika orang tua mendapati anaknya telah berzina? Menurut kami, pernikahan tetap harus dilakukan. Karena anak yang terlahir di luar pernikahan hanya akan memiliki hak perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Tentunya hal itu akan membuat keluarga dari pihak ayah kesulitan untuk mendapatkan pengakuan hak asuh anaknya jika kedua orang tua sang anak bersitegang. Anak yang lahir di luar pernikahan juga berisiko dikucilkan dan menyebabkan luka di masa kecilnya, lalu kemungkinan terburuknya adalah sang anak kembali terjerumus ke pergaulan bebas yang sama seperti orang tuanya. Tentu kita tidak ingin remaja lainnya untuk mengemis atensi atau afeksi dari pihak luar, kan?”

Sindiran pertama sudah dilayangkan, bersamaan dengan itu bel berbunyi pertanda interupsi bisa dilakukan. Ghea menyeringai.

“Interupsi!” seru Antari.

“Maaf, interupsi ditolak!” tukas Anggi.

Bisik-bisik penonton menggema. Mereka menyukai percikan api yang mulai membakar sumbu lilin. Dari kejauhan, Raditya mengernyit. Sedikitnya ia tahu kalau Ghea membenci Antari karena suatu alasan, tapi ia pikir masalah mereka sudah terkubur ketika mereka lulus. Apa wanita selalu menyimpan dendam selama itu? Hal itu membuatnya berpikir berapa lama dendam yang akan Antari simpan untuknya? Tidak, itu tidak penting sekarang. Satu-satunya yang ingin ia lakukan adalah menarik Antari dari podium itu dan memeluknya. Di sisi lain, Semesta bergidik melihat cara curang yang Anggi lakukan. Strategi ini benar-benar seperti Rachel.

“Tanpa adanya pernikahan, rantai ini tidak akan pernah putus. Maka dari itu kami menyarankan pernikahan sebagai solusi terbaik, namun kami tidak bisa melupakan fakta mentalitas remaja yang masih abu-abu. Kami dari Tim Afirmatif setuju kalau remaja-remaja yang mengalami kasus ini harus dikonseling sebelum pernikahan. Pernikahan baru bisa dilakukan jika kedua pihak sudah siap secara mental, selanjutnya orang tua wajib membimbing mereka secara finansial. Orang tua harus bisa mengajari mereka cara mencari nafkah atau bekerja, mengurus anak, dan lain-lain. Sekian dari tim kami.” Tutup Anggi yang disambut tepukan meriah dari penonton.

“Kepada pembicara pertama dari Tim Oposisi, lima menit dari sekarang, kami persilakan.” Semesta menengok ke arah Dita.

Sama seperti yang Anggi lakukan, Dita mulai memperkenalkan tim-nya. “Selamat pagi semuanya. Kami dari FMIPA dan akan mewakili Tim Oposisi. Saya Dita, selaku pembicara pertama. Lalu ada rekan saya, Antari, selaku pembicara kedua. Dan yang terakhir, Denise, selaku pembicara ketiga.”

Dita menarik napasnya, lalu mengembuskannya perlahan. “Kami kurang setuju dengan pernyataan lawan mengenai pernikahan sebagai solusi terbaik. Sedikitnya kami harus menyetujui faktor keluarga dan faktor pertemanan merupakan awal dari terjerumusnya remaja ke pergaulan bebas. Remaja yang hamil di luar nikah rentan mengalami stres dan depresi karena rasa malu, dikucilkan dari lingkungan pergaulan, maupun hambatan meraih cita-cita. Secara psikologis, anak belum siap untuk menjadi orang tua. Kehamilan usia dini dapat memengaruhi perkembangan kepribadian mereka. Jika kelak dilanjutkan dengan pernikahan, usia remaja yang masih labil memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perselingkuhan, maupun perceraian.

“Kami juga sangat menghargai solusi dari pihak lawan mengenai konseling untuk menghilangkan trauma dari diri remaja. Namun kami tidak setuju kalau tanpa adanya pernikahan membuat salah satu pihak orang tua kesulitan untuk mengasuh anaknya. Mengutip Pasal 7 ayat 1 UU Perlindungan Anak, ‘Setiap anak berhak mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri’, menunjukan kalau kesulitan yang Anda maksud tidak bisa dibenarkan. Anak di luar pernikahan juga memiliki hubungan perdata dengan ayahnya selama itu bisa dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lain.

“Seperti yang kita ketahui, pergaulan bebas memiliki ruang lingkup yang luas, contohnya adalah seks bebas. Dua orang asing yang berzina, lalu mendapati pihak wanitanya hamil. Apa pernikahan merupakan solusi terbaik? Tentu saja tidak. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, jika hal ini dilanjutkan ke pernikahan, kemungkinan terburuk adalah perceraian yang kembali menjadi trauma bagi sang anak.

“Menurut kami, pernikahan tidak selalu menjadi solusi terbaik, melainkan komitmen dalam membesarkan anak. Perjanjian resmi untuk memberi tahu kedua orang tuanya, mengasuh, dan memberi nafkah.”

Rachel membunyikan bel, tanda ia ingin menginterupsi.

“Interupsi diterima.” Jawab Dita.

“Bagaimana dengan diskriminasi terhadap sang anak? Kita harus realistis, negara kita memiliki norma. Baik ibu atau anaknya akan menerima sanksi sosial, yaitu dikucilkan. Lalu, apa solusi untuk diskriminasi ini?” tanya Rachel yang mendapatkan banyak dukungan dari penonton.

“Berdasarkan poin yang terlampir di UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi, ‘Bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945’, menunjukkan kalau anak yang lahir di luar pernikahan memiliki hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang bebas dari kekerasan dan diskriminasi. Sekian dari saya, terima kasih.”

Penonton bertepuk tangan, mereka sangat menyukai pembukaan yang dibawakan Anggi dan Dita. Terutama interaksi antar rival, Dita dan Rachel. Mereka sudah bisa merasakan ketegangan.

“Baik, kami akan memberikan waktu jeda untuk berdiskusi selama sepuluh menit kepada kedua tim. Kami ingatkan lagi, setiap tim wajib menerima interupsi, setidaknya sekali. Terima kasih.” Semesta mengingatkan.

Lihat selengkapnya