“You are the warmest winter that melted my stubborn.”
“Ibu udah denger semuanya dari dosen dan teman-teman kamu.”
Seperti déjà vu, pagi kembali membiru. Salma duduk tepat di samping putrinya yang masih memalsukan tidurnya. Namun naluri keibuannya sudah terpanggil di tiap isak tangis Antari.
“Kenapa kamu nggak cerita sama ibu? Emangnya ibu nggak bisa kamu percaya?” jemari Salma mengelus lembut rambut anaknya. “Kenapa kamu menyimpan semuanya sendiri?”
“Kenapa ibu menyimpan semuanya sendiri?” tanpa membalikkan badan, Antari menanyakan hal yang sama. “Apa ibu sadar kalau aku sering ngeliat ibu nangis setelah ayah pergi sama wanita itu?”
Salma berdehem, merangkai kata-kata terbaik di otaknya. Setelah beberapa saat, ia tertawa kecil.
Antari membalikkan badannya, wajah sembabnya mengiris hati Salma.
“Waktu itu kamu masih kecil, ya. Ibu jadi merasa bersalah karena hal itu memengaruhi kamu.” Suaranya bergetar. “Apa aja yang kamu ketahui saat itu?”
“Percakapan ibu dan ayah terakhir kali. Aku mendengar hampir semuanya dari kamarku. Ibu mengatakan akan memaafkan kesalahan ayah asalkan ayah kembali ke keluarga kita.” Antari menceritakan semua yang ia ketahui. Salma tidak menggubris, ia menyesal.
“Setelah mengetahui ayah hidup bahagia dengan wanita itu, ibu selalu menangis.” Lanjut Antari. "Aku nggak mau jadi seperti ibu, aku nggak mau menangis di tiap malam karena ditinggalkan Raditya. Semuanya sudah terekam, tapi ternyata percuma aja..., Raditya tetap memilih Ursa."
Salma masih bungkam.
"Kak Ursa itu... cantik ya, Bu?" tatapan kosong Antari berubah, wajahnya memerah karena menahan tangis. "Saat aku kenal dia, aku langsung merasa kagum. Dia cantik, cerdas, cakap, dan pribadi yang sangat ceria. Kulitnya cerah, nggak kayak aku. Dia juga ramping, beda banget sama aku. Enggak heran Raditya suka sama dia."
Antari menyeka buliran air mata yang makin lama mengalir deras dari pelupuk matanya. "Mungkin karena Kak Ursa cantik, kali, ya, Bu?" kini tangannya mulai membekap mulutnya, tangisnya mulai memuncak. "T-tapi, emangnya aku sejelek itu, ya, Bu?"
Hancur sudah hati Salma. Ia menarik putri bungsunya ke dalam bekapannya.
“Saat itu ibu masih sangat muda untuk mengurus dua anak seorang diri, ada perasaan malu yang menyelimuti ibu. Tapi, apa kamu tau alasan ibu berhenti menangis?”
Antari tidak merespon, meski sebenarnya ia menunggu jawaban sang ibu.
“Ibu berpikir mungkin sudah takdirnya mereka bersama, mungkin mereka sudah berjodoh jauh sebelum ayahmu bertemu ibu. Meskipun kadang ibu suka mengutuk pertemuan kami, tapi ayahmu membawa kalian ke kehidupan ibu. Jadi menurut ibu, semua kejadian pasti ada hikmahnya. Mungkin sekarang kamu belum menemukan alasan untuk berhenti berduka, tapi suatu saat nanti, kamu akan tersenyum mengetahui jawabannya.” Salma mencium kening putrinya, lalu Antari tertidur di bekapannya.