Universe.

Moon
Chapter #5

04.

“Kak, jangan pergi kak, Lyn mohon..”

Sang gadis nampak berusaha menggapai tangan lelaki yang lebih tua setahun daripadanya itu namun tepisan kencang didapati. Tatapan nyalang dihadiahi oleh sang pemuda padahal itu adalah saudari serahimnya sendiri namun ia tak segan sama sekali dengan sikapnya.

“Hentikan, pada akhirnya ini karena dirimu,”

“Bukan kak.. Ini murni kecelakaan, bahk—”

“DIAM! TAK USAH BICARA LAGI KAU!”

Hening.

Genangan air memenuhi matanya. Bahkan ia tak bisa berucap apapun lagi mendengar teriakan dari yang tua. Seumur-umur, tak pernah sekali pun sang kakak meneriakinya. Ia menutup perlahan kedua kelopak matanya membuat aliran air mata itu meluncur bebas sembari beringsut berbaring menghadap arah lain.

“Keluar. Pergilah sesukamu,” ucapnya dingin.

“Axel! Ayo pergi!”

Tiba-tiba suara feminism terdengar di daun pintu yang dibalas anggukan pelan dari sang lelaki. Atensinya kembali beralih ke gadis yang nampak menyedihkan itu, ia mendekat dan berbisik pelan di pendengarannya.

“Aku membencimu,”

“Maaf, tapi aku juga,”

Itulah akhir pecakapan mereka hari itu sebelum sang gadis ditinggalkan di rumah besar itu berdua saja dengan ayahanda. Sepi dan gelap. Tanpa ada tangan yang mendukung, semuanya sirna dalam sekali kedipan mata.

Bahkan jikapun ini scenario yang ada, pada akhirnya keluarga dara itu tak berakhir manis rupanya. Semuanya meninggalkan mereka dalam keterpurukan dalam bahkan tak sedikit pun memberikan bantuan ataupun rasa iba akan hal yang menimpa mereka.

Kedua netra gadis itu alihkan ke atas, menatap langit-langit kamar kosong. Entah sudah berapa kali ia menangis, menangis, dan menangis lagi karena semua kejadian yang menimpanya. Ia membenci keadaan dan dirinya. Ia juga membenci keluarganya yang tak utuh lagi. Tapi ia lebih membenci sang ibu yang berani berkhianat dalam ikatan suci ayahnya, bahkan sejak awal pernikahan.

Tapi rasa benci kuat tertanam pada sang kakak.

“Pengecut, kau yang sebenarnya lari. Bukan aku,”

***

“ALVAROO!!!”

Suara teriakan kencang membuyarkan lamunan. Butir-butir pasir bertebangan mengikuti tapak lari Carla yang mengejar Alvaro yang melempar bola mengenainya membuat minuman yang dipegang Carla tumpah ruah di pasir diikuti Leandro yang membantu Carla mengejar Alvaro.

Sementara itu, Sora dan Aryla nampak menikmati waktunya di dalam pondok berdua mengingat waktu bertemu mereka yang semakin jarang terlebih Sora menyiapkan diri untuk ujian kelulusan. Waktu seperti ini bagus digunakan untuk dua sejoli itu berbincang, terlebih mereka bukan berstatus pacaran lagi melainkan tunangan.

Lyana memilih di duduk di kursi santai berpayung yang tersedia sembari menikmati jus jeruknya. Kegiatan bermain bola dan air rupanya bisa semelelahkan ini bahkan Lyana rasa kakinya keseleo saat berusaha menangkap bola tadi. Sesekali ia menyentuh kakinya dan memijit perlahan, nampak agak membiru ia mengira-ngira mungkin saja akan membengkak esok hari.

“Kakimu keseleo?”

Suara berat menginterupsi membuat Lyana terkejut, ia segera menoleh ke belakang dimana seorang pemuda berdiri memperhatikannya. Baiklah, Lyana sempat terpana beberapa saat melihat pahatan karya seni Tuhan itu berjalan ke sampingnya dan duduk di kursi sampingnya sambil sesekali melihat ke kakinya yang membiru.

“A— Iya,” balas Lyana singkat. Mungkin mengingat wanti-wanti sang nenek agar tidak berbicara dengan orang asing.

Menyadari sang dara menghindar, ia tertawa kecil lalu berucap “Tenang saja, aku berteman dengan lelaki yang sedang mabuk cinta disana,” tangannya menunjuk ke arah Sora yang berbincang dengan Aryla. “Tak usah khawatir,”

Lihat selengkapnya