Tak pernah Lyana terpikir sedikit pun bahwa sang ayah tidak mencintai atau menyayanginya. Walau pria dewasa itu tak menunjukkan secara langsung, ia tahu bahwa ayahnya lah yang selalu diam-diam menyelimutinya saat ia tak sadar telah tidur saat bermain di kamar, menggendong tubuh kecilnya dulu saat tertidur di lantai, membelikannya Barbie serta boneka beruang besar bejejer di kamar. Tanpa diberitahu pun Lyana tahu itu ulah sang ayah.
Ibunya tak menunjukkan kasih sayang kentara pada dirinya. Ibunya lebih condong sering keluar rumah dengan dalih urusan bisnis atau sesekali mengajak sang sulung keluar ikut dengannya tanpa mengajak dirinya. Ayahnya yang tahu hal itu selalu diam-diam memperhatikannya walau ia sibuk dengan pekerjaannya.
Oleh sebab itu saat ayahnya mendadak menghilang, Lyana hampir gila berusaha mencarinya. Kehidupannya semakin memburuk dan membunuhnya perlahan dengan hilangnya semangat hidup dan kekuatannya tersebut. Tiada lagi orang yang selalu mengelus kepalanya saat di rumah atau menggandeng tangannya saat keluar bersama.
“Papa..”
Dan dihadapannya, laki-laki yang nampak besar dan kuat itu kini terbaring lemah dengan wajah pucat, kakinya yang terpaksa diamputasi pun membuat keadaannya kian memburuk. Wajah tirus itu membuat Lyana meneteskan air matanya, bagaimana bisa ia jadi seperti ini?
Bahkan yang Lyana ingat terakhir kali sebelum ayahnya menghilang adalah punggung ayahnya yang nampak kesepian.
“Sudah berapa lama paman seperti ini?” tanya Sora pada Ethan yang berada di dekatnya.
Ethan menghela nafas panjang, “Sudah hampir tiga tahun. Karena dia teman dekat papaku jadi ia mau menyembunyikannya disini,”
“Bagaimana bisa.. Papa..” lirih Lyana menggenggam erat tangan kurus itu. Hatinya teriris melihat orang yang dulu selalu terlihat kuat di matanya yang masih kecil sekarang nampak lemah dan tak berdaya.
“Kumohon kau mengerti Lyn, papamu memilih seperti ini agar mamamu tidak melakukan apapun padamu,” ujar Ethan mendadak. Lyana yang berderai air mata segera menatap dirinya tajam.
“Apa maksudmu berkata seperti itu?” cetusnya, Aryla pun perlahan mengusap punggungnya bermaksud menenangkan Lyana yang sekarang penuh akan emosi dalam dirinya.
Ethan kembali menghela nafasnya lagi sebelum melempar pandang ke lelaki tua yang terbaring di atas ranjang itu, “Hei, pak tua. Katakan sesuatu, aku tahu kau bangun,”
“Kau ini ben—”
“Khekhe.. Memang sampai kapan pun aku tak bisa mengelabuimu,”
“Papa??!!!?”
Yang dipanggil tersenyum tipis sebelum ia mengelus kepala dara itu lembut. Matanya nampak menatap sayang sang gadis yang berurai air mata. Seorang ayah mana tega membiarkan anaknya terlebih anak gadis meneteskan air mata di hadapannya.
“Stsst.. Sudah,” ucapnya pelan beringsut bangkit, bersandar pada kepala ranjang rumah sakit. “Anak gadisku kenapa menangis?”
Lyana segera menghambur ke pelukan sang ayah. Aryla di sampingnya pun ikut meneteskan air mata melihat sang sahabat menemukan salah satu kebahagiaannya di dunia. Sora menghela nafas lega sementara Ethan tersenyum melihat interaksi mereka. Perlahan Lyana berucap banyak hal di sela tangis, mengungkap perasaan yang selam sini ia pendam semenjak sang ayah yang mendadak menghilang.
“Pasti berat ya, sayang?” ucapnya lembut sambil mengelus kepala gadis muda. Ia mengurai pelukan dengan tatap sesal, “Ini salah papa ninggalin kamu,”
Sang putri sendiri sedang mengatur nafasnya agar teratur, “Kenapa papa hilang? Papa harusnya nemenin Lyn.. Lyn sedih banget harus berjuang sendiri selama beberapa tahun,”
Yang tua hanya tersenyum hambar. Matanya melirik kea rah Ethan sejenak sebelum beralih kembali ke anak gadis, “Papa gak bisa lama-lama disini, Nak,”
Dahinya mengernyit; tak mengerti. “Apa maksudmu, Pa? Lyn gak ngerti,”
Sora yang peka langsung menatap tak percaya ke arah Ethan yang menatap nanar pria tua tersebut. Aryla yang tidak mengerti tentu saja langsung menoleh ke sang kekasih yang hanya memberikan gelengan halus dan memberi tanda untuk menenangkan Lyana.
“Ethan yang bakal jagain kamu mulai sekarang, sayangku. Waktu papa gak banyak lagi,” ia tersenyum miris dan kembali berucap saat melihat sang gadis ingin segera memprotes ucapnnya, “Radang usus papa udah parah, kau tahu ‘kan papa sering sakit perut saat makan?”
“Ta—Tapi kita bahkan baru ketemu, Pa! Papa mau ninggalin Lyn lagi?” ia tak percaya. Takdir memang sekejam itu pada dirinya.
Tangan tuanya mengelus pipi putih yang terlihat jejak air mata, “Sayangku, papa diambil karena kau sudah memiliki ‘keluarga’ sekarang. Tak seperti dulu, kau punya teman yang mendampingimu, setia, peduli dan menyayangimu,” ia mengambil nafas sembari menahan liquid cair di ujung mata, “Bukannya papa nggak sayang kamu, Lyn. Waktu papa memang diberikan sesingkat ini, setidaknya papa masih diberikan waktu untuk bertemu dan berbicara denganmu. Itu merupakan salah satu kesempatan berharga,”
Lyana memejam erat, tak percaya dengan hidup ini. Aryla meremat erat bahu Lyana yang bergetar sementara maniknya teralih ke Ethan yang memberi anggukkan pelan, membenarkan ucapan pak tua itu. Sora segera berpindah ke sisi sang kekasih yang melemas. Terlalu banyak hal yang terjadi satu waktu ini.
“Kuatlah, Lyn! Papa bertemu kamu untuk menyemangatimu dan berbincang banyak hal tentang ibumu bersama temanmu,”
“Aku sudah diceritakan, Nenek. Aku sudah tahu semuanya kalau ibu berselingkuh bahkan punya anak,” balas Lyana dingin.