Matanya mengerjap lemah. Hal pertama yang menyambutnya adalah langit kamar yang tak asing bagi dirinya; kamarnya sendiri. Kepalanya menoleh sekeliling beberapa kali sebelum bangkit perlahan namun rasa sakit menyambut kepalanya sehingga membuat gadis muda itu terbaring lagi.
“Uh? Sudah bangun?”
Suara tua itu membuatnya menoleh ke pintu yang terbuka menampakkan sosok yang merawatnya beberapa tahun belakangan. Sembari diikuti Aryla dan Carla yang membawa makanan, mereka masuk ke dalam dan duduk di tepi ranjang yang kosong.
“Lyn.. Masih sakit?” tanya Carla lembut. Carla segera datang ke kediaman Lyana begitu mendapat pesan dari Aryla kalau Lyana pingsan.
Empunya hanya mengangguk lemah sambil mengurut kepalanya pelan. “Tapi bukannya tadi aku di rumah sakit? Kok bisa sekarang ada di rumah?” nampaknya ia tak sadar apa yang terjadi.
Carla dan Aryla nampak saling menatap sesaat sebelum melempar pandang ke yang lebih nenek tua yang duduk di kursi dekat Lyana. Ia mengambil tangannya dan menggenggamnya lembut dengan senyuman hangatnya.
“Tadi kamu drop, terus Ryl nelpon nenek. Nenek bawa kamu pulang,” ujar wanita tua itu.
“Terus papa? Nenek ketemu papa?” tanyanya lagi.
Nenek berusia lebih dari setengah abad itu hanya tertawa ringan sebelum membalas, “Tentu ketemu, sayang. Nenek sempat ngomong malahan pas kamu pingsan,”
“Lyn mau ketemu papa lagi, Nek,” lirihnya sambil memilin selimut yang menyelimutinya. Rindu serta perasaan yang sudah lama dipendamnya membuncah ketika melihat sang ayah kemarin.
Sang nenek hanya menghela nafas, tangannya terulur mengelus surai gadis tersebut, “Sembuh dulu, ya! Nenek gak suka liat kamu sakit,”
“He’em! Sembuh cepetan, Lyn!!” Carla ikut menyemangatinya sambil menggenggam erat tangan satunya dan menatap berbinar dirinya.
“Jangan lupa bentar lagi ujian, jangan sakit,” ucap Aryla tersenyum hangat. Setiap gadis itu tersenyum, ia nampak bagaikan seorang dewi yang turun dari khayangan untuk menjadi sosok yang mebantunya.
“Iya-iya, aku kuat kok pasti cepet sembuh,” ucapnya menanggapi semuanya. Banyak orang yang menyayanginya sekarang, benar kata ayahnya padanya kalau sekarang berbeda dengan dulu yang hanya ia sendiri. Sekarang ia memiliki Neneknya, Aryla, Carla, dan banyak lagi. Semuanya pasti membantu serta mendukung dirinya.
Sementara para perempuan berbincang di dalam, di luar terdapat Ethan dan Sora serta ayah Lyana yang keluar dari rumah sakit karena takut terjadi apa-apa pada Lyana yang pingsan mendadak di rumah sakit barusan.
“Jadi apa rencana om?” tanya Ethan langsung pada intinya.
Pria tua itu terkekeh dan menyeringai, “Kau memang suka to the point ya, sama seperti ayahmu itu,” ia bersandar ke kursi rodanya, “Kejadian tiga tahun itu sepertinya sebuah kesengajaan,”
“Ada yang sengaja mau mencelakai om? Tapi siapa yang berani pada om saat masa itu?” Sora masih heran saja, terlebih saat itu ayah Lyana cukup berkuasa memegang banyak perusahaan.
“Ya, memang, saat itu banyak yang segan padaku bukan? Namun tentu itu tak memperkecil kemungkinan ada yang berniat menjatuhkanku, terlebih yang berada sangat dekat denganku?”
Ethan dan Sora nampak tertegun beberapa saat sebelum saling berpandang satu sama lain yang mengucap melalui tatapan ‘Dia kan maksudnya?’. Mendadak udara sekitar menjadi berat untuk bernafas. Ternyata seberat ini mengetahui sebuah kebenaran yang ada, maka dari itu banyak orang ingin hidup dalam kebohongan. Ya, kebohongan yang indah.
“Jangan bilang orang itu…” bahkan Sora tak bisa melanjutkan ucapannya. Serasa berat hanya berucap kata saja.
“…Ya tentu saja, bukan? Orang yang mengharapkan aku menghilang,” pria tua itu mengeluarkan seringaian remehnya. Bahkan di keadaan sudah kehilangan kaki dan renta, ia masih memiliki karisma yang kuat.
“… Ibu Lyn sendiri orangnya,”
*
*
“HAH! KAPAN KELARNYA INI?!!”
Brug.
Brak.
Plak.
“AWWWW!!!”
Suara geraman tertahan itu memenuhi ruangan sunyi tersebut sampai beberapa orang menatap mereka aneh. Bagaimana tidak? Mereka sedang di perpustakaan, tentu saja kebanyakan orang ingin ketenangan dan kedamaian namun mereka malah mendengar suara asing yang menggema di ruangan tenang tersebut.
“Leandro! Sssttt! Bisa-bisa bu perpus ngusir kita,” cecar Aryla menatapnya tajam.
“Kalo mau diusir, sendiri aja jangan bawa-bawa kami,” balas Alvaro menyenggolnya.
“Cocok lu sama Carla, hobi ngeluh berdua. Gak kebayang misalnya kalian ada masalah pas pacaran,” ceplos Sora yang mendapat cubitan dari Carla dan tendangan kaki dari Leandro membuatnya yang gentian menahan sakit.
“No romance when exam,” tutur Carla kembali membaca bukunya yang langsung mendapat seruan dari mereka.
“Widih, anak kamu udah gede, Ryl,” ujar Lyana sambil menahan tawanya.
“Akhirnya anak bunda gede juga, udah bisa cinta-cintaan,” lirih Aryla sembari mengusap sudut matanya; seolah-olah terharu langsung saja mendapat cubitan gemas dan malu dari Carla yang langsung menutup wajahnya dengan buku pelajaran yang dipegangnya.