Ting.
Bunyi dentingan nyaring garpu yang beradu dengan meja kaca membuat semua perhatian beralih ke asal suara dengan tatapan aneh dan bertanya. Penyebab suara itu hanya terdiam sambil mengelap sudut bibirnya pelan dengan serbet yang tersedia di meja tersebut lalu meminum jus jeruk miliknya.
“Kenapa? Makanannya tidak enak?”
“Asin,”
Balasan singkat itu membuat semuanya yang berada di ruangan termakan dalam diam. Serasa tak berselera lagi makan mendengar komentar pendek sekaligus menusuk itu, perlahan beberapa meletakkan alat makan mereka dan berfokus ke sumber suara.
“Jadi begini sikapmu bertemu setelah sekian lama?”
“Aku tak pernah berharap kita bertemu,”
“Lyn,”
Semuanya kembali termakan kesunyian. Di sisi lain adanya gigi yang sudah bergemeletuk sementara sisi lainnya lagi menghela nafas sembari mengurut kepala pelan karena situasi yang mendadak bersitegang.
“Boleh aku pergi, Nek?” Lyana nampak menoleh ke wanita tua yang duduk di sampingnya dengan wajah polos.
“Lyn, apa yang nenek bilang?” ucap yang tua dengan wajah tenang membuat Lyana mau tidak mau mengangguk lalu menghela nafasnya.
“Sopanlah sedikit!”
Suara baritone mengisi pendengaran membuat Lyana menatap lelah. Ia melipat kedua tangannya di depan dada lalu menyandarkan punggung pada kursi yang ditempatinya. Lawan bicaranya sendiri nampak menahan emosi dari ekspresinya.
“Memaksa keluar makan, itu sopan?”
Axel membuang muka segera sambil tertawa remeh, “Jika bukan karena mama yang mengajak, mana mungkin aku mau datang sekarang. Terlebih ada dirimu,”
“Aku bahkan tak pernah mengiyakan ajakan ini,” matanya beralih ke wanita anggun berusia empat puluhan yang masih menyantap makan malamnya dengan tenang.
Merasa diperhatikan ia mengangkat wajahnya lalu membalas, “Bukankah sudah lama kita tak saling berjumpa seperti ini,” ia meletakkan alat makannya, “Terlebih sebentar lagi kau akan kembali ke rumah bukan?”
Lyana tertawa, “Dalam mimpimu, mungkin?”
“Dita, sudah berapa kali kubilang kalau Lyn tak mau bersamamu,” interupsi dari sang nenek tentu membuat situasi meja makan restoran tertutup itu lebih tenang mengingat kuasa nenek tak main-main.
“Ibu~ Dia putriku! Kenapa harus kau yang merawatnya?” balas Afrodita dengan tampang memelas.
“Bahkan saat dulu ia tak bisa mengangkat kepalanya dengan benar dari kasur, kau malah sibuk dengan selingkuhanmu dan bersenang-senang. Sekarang kau mau mengambilnya dariku?” tutur panjang nenek sambil menatap nyalang mantan menantunya.
“Seorang ibu tak bisa dipisahkan dari anaknya. Terlebih Lyn yang melarikan diri, padahal kami benar-benar perhatian, terlebih kakaknya,” ucap Afrodita mengelus bahu anak lelakinya.
“Kau tahu bukan semuanya yang kulakukan itu karena kau yang salah?” ucap Axel membuat Lyana memutar kedua matanya malas.
“Axel, sejak kapan menghukum dan memarahi adikmu melebihi batas itu sikap seorang kakak?”
Axel terbungkam. Neneknya benar-benar sangat kuat untuk dihadapi oleh siapapun terlebih ia memiliki latar yang besar di belakangnya membuatny banyak segan pada wanita renta yang mulai termakan usia tersebut.
“Lebih baik kami pulang sekarang, kalian bisa menyelesaikan makannya,” lanjut nenek sambil perlahan bangkit dari bangkunya diikuti Lyana yang bersorak kemenangan dalam hati.
“Tunggu, Bu! Masih banyak yang ingin kubicarakan,” sela Afrodita berlari dan menahan lengan wanita tersebut.
“Lepaskan, jika itu semua tentang kau ingin mengambil Lyana, aku tak ingin mendengar apa pun,” ia menarik nafas panjang lalu mendekat ke telinga wanita itu dan berbisik pelan membuat tubuh Afrodita tegang dan melempar tatapan tajam.
“Sayang, maaf ak— Wow,”
Lelaki yang baru membuka pintu tentu terkejut melihat istrinya dan seorang wanita tua sudah ada di muka pintu menyambutnya. Bahkan bunga yang dibawanya terjatuh ke lantai begitu saja karena ia sempat limbung karena kaget.
“Kalau begitu kami segera pergi, maaf mengganggu,” kata nenek sambil berjalan lagi namun harus kembali tertahan karena mendadak lengan Lyana tertarik membuat sang gadis berteriak.
“Tunggu dulu Nyonya Fryderica, cucumu ini sepertinya belum membawa jawaban memuaskan sehingga istriku berwajah jelek seperti ini,”tutur lelaki itu mendekatkan wajah ke Lyana.
“Jangan sentuh cucuku!” neneknya; Fryderica segera menarik paksa lengan lain Lyana. Segera sang gadis bersembunyi di belakang sang nenek. “Kau tak pantas menyentuhnya, Andreas,”
Andreas Revendi, suami dari Afrodita itu melemparkan tawa kencang. “Sebaiknya berikan jawaban bagus secepatnya ya nenek tua! Jangan sampai aku yang turun tangan,”
Wanita itu tak membalas lagi. Ia segera melangkahkan tungkainya sambil menarik Lyana berjalan menjauh dari ruangan tersebut, terlebih tangan Lyana yang dirasa mengeluarkan keringat dingin membuat sang nenek cemas. Sementara begitu sampai di depan restoran, Aryla dan Sora menyambut mereka berdua mengingat nenek Lyana meminta mereka datang beberapa menit sebelum adu mulut sesaat itu terjadi.
Di sisi lain, ruangan yang ditinggalkan mereka menampakkan dua orang manusia yang beradu mulut karena semuanya tak sesuai rencana. Sementara lelaki yang juga berada di ruangan itu memerhatikan mobil yang melaju meninggalkan area restoran melalui jendela ruang makan mereka yang ada di lantai dua.
“Kau harusnya bicara baik-baik!” Andreas nampak frustasi.
Yang perempuan tak terima, “Kau kira kurang baik apa aku tidak menarik paksa dia ke rumah kita, hah?! Ini benar-benar sudah mencapai kesabaranku,”
“Selama nenek tua itu masih ada, sulit. Anak itu memiliki pegangan,”
“Tidak mungkin kita menyingkirkan wanita itu! Jika kau mau cari mati ya silahkan!”
Axel mengurut kepalanya pelan memperhatikan dua orang yang adu argument tak perduli bagaimana keadaan dan dimana mereka sekarang.
“Ah, sialan! Aku harus secepatnya mengambilnya,” Afrodita nampak menggigit kuku jarinya dengan gugup. Secepatnya ia harus membawa pulang Lyana.
“Aku tahu kau ingin mengambilnya karena perusahan Armantyo bukan? Tenang saja, aku tak akan memberikannya ke kamu maupun Axel,”
*
*