Hal pertama yang menyambutnya adalah ocehan dari seorang laki-laki.
Ya, bukan perempuan. Kali ini suara berat laki-laki yang memenuhi kepalanya dengan berbagai ceramahnya.
“Bisakah kau berhenti bicara untuk sebentar?” ucap Lyana mengurut kepalanya yang sudah sakit, ditambah ocehan menambah rasa peningnya saja.
“.. Ya, lagian ngapain kamu hujan-hujanan tadi? Sekarang demam ‘kan?” kicauan Ethan bertambah panjang membuat Lyana memejam mata dan memilih diam saja.
Karena Lyana menolak pulang, Ethan terpaksa membawa gadis itu ke rumahnya. Terlebih kondisinya yang pucat dan hampir tak sadarkan diri tentu membuat Ethan tambah panik dan segera memanggil ayahnya yang kebetulan di rumah saat itu mengingat sang ayah dokter.
Dan beginilah Lyana, menginap di rumah Ethan dengan kondisi demam. Ethan bilang tak perlu khawatir neneknya mencari dirinya karena ia telah menghubungi Aryla untuk memberitahu bahwa Lyana menginap di rumah Aryla dengan dalih tugas mendadak yang sebenarnya di rumah Ethan.
“Terimakasih,” lirih Lyana pada Ethan yang sedang menyuapinya. Tenaga untuk bangun sudah tak ada lagi membuat Ethan mau tak mau menyuapinya makan, terlebih ia hanya makan roti saja tadi.
“Simpan terimakasih mu nanti. Sebenarnya aku yang harus dirawat, lihat luka-luka ini,” ia menunjuk beberapa memar di wajah, “Kenapa aku malah merawatmu?”
“Kalau kau tak mau, aku bisa sendiri,” balas Lyana yang langsung disela Ethan dengan berbagai alasan membuatnya tertawa. Ya, setidaknya ia bisa melupakan beberapa hal untuk sebentar, tidak selamanya.
“Besok minta Aryla buatkan surat izin saja, kebetulan ‘kan aku juga di skors,” bukannya menampakkan wajah lesu ataupun sedih, malah cengiran senang.
“Papa mamamu tidak marah?” tanya Lyana memakan suapan bubur yang datang.
“Mmm.. Tidak sepenuhnya, ya karena sudah tahu alasannya mereka tak jadi memarahiku habis-habisan,” jawab lelaki itu meletakkan mangkuk bubur yang kosong dan mengambil tablet obat dan air putih.
“Memangnya kenapa kau bisa berkelahi dengan kak Axel? Bahkan sampai merusak fasilitas,”
Ethan terhenti bergerak sejenak, ia memasukkan tablet obat ke mulut Lyana dan memberikannya air minum, “Nanti akan kuberitahu, sembuhkan saja dulu dirimu,”
Ethan beranjak berdiri dari kursinya begitu meletakkan kembali air minum Lyana ke nakas dan mengambil mangkuk kosong tadi, “Sudah malam, istirahatlah,”
Baru ingin melangkah, tangannya tertahan dengan gapaian di ujung jemari kelingking dan manisnya. Ia membalas tatapan tanya ke dara yang terbaring dengan mata sayu; mengantuk karna efek obat yang mulai bekerja.
“Terimakasih, sungguh. Aku tak bisa membayangkan apa jadinya aku tadi jika tak ada dirimu tadi,”
Ethan menatapnya lamat kemudian mendekat ke arahnya. Kepalanya ia tundukkan ke dahi ke puan itu lalu mengecupnya lama, Lyana tidak menghindar namun ia terkejut dengan hal tersebut. Setelah beberapa saat, Ethan melepas koneksinya dan mengelus pelan kepala Lyana yang sebentar lagi terbang ke alam mimpinya.
“Apa ini.. Ciuman sebelum tidur?” canda Lyana menyentuh dahi bekas ciuman tadi.
Ethan nampak terkekeh, “Good night, princess,”
Lyana terdiam, agak ragu ingin menjawab sebenarnya namun bibirnya menyeplos duluan, “Too,”
Blam.
“HAH! Aduh…., Ma!”
Suara teriakan tertahan Ethan memenuhi lorong. Matanya memutar malas melihat sang ibu rupanya menunggunya di depan pintu, terlebih bersama ayahnya yang sepertinya telah menguping sejak awal Ethan masuk ke kamar tersebut.
“Ngapain mama disini?” tanya Ethan yang masih kaget. Bagaimana tidak, saat menutup pintu tahu-tahu sudah ada dua orang itu menyambutnya yang entah darimana munculnya.
“Itu… Anak om Ayres, ‘kan?” selidik sang ayah.
“Iya, tadi ketemu di jalan kehujanan,” jawab Ethan sambil melangkahkan kakinya ke ruang tengah diikuti pasangan suami istri tersebut.
“Kok sampe ga pakai sepatu? Kasian kakinya lecet-lecet,” tutur ibunya iba. Saat membawakannya pakaian ke Lyana, ia sempat melihat kakinya terluka terlebih wajahnya yang memucat.
Ethan mengendikkan bahu, “Enggak tahu, mungkin ada masalah di rumahnya,”
“Rawat dia yang bener, anak gadis orang. Besok bapaknya dateng,” tukas sang ibu yang hanya ditanggap seadanya oleh Ethan.
“Om Ayres mau dateng besok?” dahinya mengernyit mengingat kondisi ayah Lyana itu tak bisa berlama-lama di luar rumah sakit.
Kini sang ayah yang mengangguk dan membalas, “Iya, tadi papa kabarin. Katanya besok mau dateng,”
“Eh tapi, Lyana itu pacar Tatan ya?” pertanyaan yang terlontar dari sang ibu membuat putra semata wayang mereka tersedak air ludahnya sendiri. Terlebih apa itu, Tatan?
“Maa! Udah kubilang jangan panggil ‘Tatan’ lagi!” kata Ethan nampak memohon sekaligus malu dengan panggilan kecilnya tersebut. Ibunya suka memanjakannya seperti anak kecil, bagi seorang ibu anaknya akan tetap seperti anak kecil di matanya.
“Kenapa?? Malu ya sama pacar?” goda sang ibu sambil tertawa melihat wajah memerah Ethan.
“Bukan pacar, Ma! Belum lebih tepatnya,” gumaman di ujung kalimat membuat ibunya mencodongkan tubuhnya ke arah Ethan di hadapannya.
“Hah? Mama udah bilang, kalau ngomong tuh yang jelas! Tatan gimana sih,” gerutu ibunya seperti anak kecil, namun itu tampak lucu untuk seorang wanita paruh baya sepertinya.
“Sudah-sudah. Mending ke kamar sekarang, sudah malam,” sela ayahnya, pening melihat perdebatan ibu-anak di hadapannya.
“Ih, Pa! Belum kelar wawancarnya,”
“Oke pa, malam semua,” potong Ethan yang langsung berlari ke kamarnya, menghindari pertanyaan-pertanyaan lain yang akan dilontarkan ibunya.
Begitu mendengar suara debaman pintu tertutup, wanita itu menatap gusar sang suami. “Mama belum kelar nanyain Tatan, Pa!”
Pria tersebut menghela nafas lalu mengelus pelan punggung istri, “Tunggu aja, Ma. Pasti dapet kabar kok dari, Ethan. Dan jangan panggil dia ‘Tatan’ di depan Lyana kalau tidak mau ngeliat dia ngurung diri di kamar, ngambek,” ingat sang suami yang dibalas tawa jahil istrinya.
“Iya-iya, anak kita udah besar ya pa,”
“Iya,”
*
*
“Minumnya entar dingin, lho,”
“Hah? Oh, maaf. Ngelamun,”
Ethan mengajak Lyana ke kolam renang di rumahnya, lebih tepatnya ke bangku santai. Keadaannya sudah lebih baik dari kemarin malam jadi Ethan mengajaknya keluar karena tahu kalau Lyana pastinya bosan di kamar saja, hanya saja untuk menghindari masuk angin ia menyuruh gadis itu memakai jaket dulu.
“Ethan, mau tanya boleh?” buka Lyana meminum susu hangat miliknya yang dibawakan Ethan tadi.