“KASUR!”
Teriakan ringan serta suara bantingan badan pada kasur pegas disertai roda-roda koper yang ditarik memasuki ruangan cukup luas tersebut mengisi liang dengar. Begitu tiba di tujuan, mereka berkumpul sesuai kelompok kamar lalu bergegas menuju ruangan masing-masing saat mendapat kuncinya.
“Bagus banget sini, viewnya dapet,” ujar seorang di kamar tersebut sambil menatap kagum air behijau biruan serta deburan ombak yang nampak mengundang untuk dipijaki.
“Ayo semuanya, beresin barang-barang lalu kita siap-siap buat schedule selanjutnya,” tukas seseorang di ruangan tersebut yang segera dikerjakan siswa lain.
Masing-masing blok kamar memiliki beberapa orang panitia yang bertugas menjadwal dan mengurus. Dibagi menjadi enam blok kamar yang berarti dari A sampai F, masing-masing memiliki empat panitia yang akan tidur di salah satu kamar siswa studytour.
Jika disebut Lyana tidak mujur, maka teman-temannya akan mengiyakan hal tersebut. Sementara Aryla yang panitia beserta Carla sekamar, ia sendirian di kamar bersama teman kelas lain yang bukan teman dekatnya. Setidaknya ia tidak terlalu merasa kesepian sebab—
“.. Kak Zelina, habis ini kita kemana?”
—Zelina sekamar dengannya selaku panitia.
Yang terpanggil hanya tersenyum menanggapi adik kelasnya tersebut lalu menjelaskan kembali sambil menyuruhnya membuka buku panduan berwisata sekolah yang sempat dibagikan.
Ia ramah, baik, terlebih parasnya yang dapat memikat kaum adam maupun hawa. Namun dibalik itu, ia memiliki sikap dominan dan tegas, ia tak kejam melainkan jika ada yang sudah tak sejalan maka ia akan meluruskannya.
“Lyn? Belum pergi ke kelompokmu?”
Pertanyaan dari yang lebih tua membuyarkan lamunan yang segera dijawab seadanya. Mempercepat gerak tangan dalam membereskan helaian baju koper serta barang-barangnya ketika tersadar masih tersisa dirinya dan Zelina di kamar tersebut.
“Permisi dulu, kak,” ucapnya sopan sambil berlalu yang dibalas senyuman oleh Zelina.
Sedikit tergesa, ia dapat melihat oraang-orang berkumpul di ujung jalan. Samar-samar ia melihat Carla yang memicing kesal dengan Aryla di sampingnya tengah mendengar pengarahan singkat dari guru di depan.
“Lyn kok lama?” sambut Carla begitu ia sampai di sampingnya.
Terengah-rengah, berusaha menggapai nafasnya sambil mengibas tangannya beberapa kali ke arah Carla seolah menjawab ‘Nanti saja, aku capek.’. Carla mau tidak mau menghela nafas gusar sambil kembali fokus ke guru di depan.
“Baik, sekarang semuanya pelan-pelan menuju bus,” final sang guru yang langsung dilakukan murid-muridnya. Semuanya segera berhamburan berdasar urutan kelompok menuju bus.
“Kita bakal mincing deh kayaknya,” Lyana segera melirik ke Aryla yang duduk di sampingnya, sementara Carla mengambil tempat di depan mereka bersama anggota kelompok lain.
“Mancing? Serius?” anggukkan Aryla menjadi jawaban langsung atas pertanyaan Lyana. Untung saja tidak ada keharusan dimana mereka harus membuat laporan kali ini. Jika tidak, pasti sekarang semuanya mumet karena harus menyusun laporan.
“Dibagi dua kok, ada yang ke peternakan lebah, ada yang ke pemancingan. Kebetulan kita ke pemancingannya,” Aryla kembali berucap lagi yang dibalas ‘oh’ oleh sahabat.
Sesudahnya tak ada lagi yang berucap, Aryla sendiri nampak memejamkan matanya. Ada rasa iba melihat kantung mata dan wajah memucat Aryla yang menyibukkan diri berhari-hari terlebih ia harus menyiapkan diri untuk prom.
“Lyn?”
“Hah? Belum tidur?” Lyana terkejut dengan bisikan pelan Aryla. Kedua matanya memang tertutup, namun bibirnya berucap pelan yang hanya bisa didengar dirinya.
Menggeleng samar lalu beringsut pelan ke bahu Lyana. Nampak ia masih memikirkan apa yang ia katakan, pikirannya menerawang jauh sementara masih mencari kenyamanan raganya.
“Pernah berpikir bagaimana cerita Lyn jika keduanya bertemu dalam cinta?”
Ia tahu kemana pembicaraan ini mengarah. Ia sosok yang cukup peka dalam kalimat tersirat Aryla tersebut. Helaan nafas mencelos di bibir, walau tak berucap kata-kata Aryla agak mencubit sudut hatinya yang menyimpan luka.
“Entahlah, Ryl. Mungkin saja aku akan bercerita tentang papa dan mama yang selalu melakukan hal romantis di depan mataku, kau tahu ‘kan betapa manisnya perlakuan papa?”
“.. Atau bagaimana kak Axel mengerjaiku dengan mudahnya, mengajarkanku pelajaran yang tak kuketahui. Mungkin saja kami akan berkunjung ke rumah nenek bersama," sudut bibirnya terangkat. Itu adalah mimpi yang indah.
“Tapi itu mustahil, ‘kan?”
Aryla hanya mengambil jemari Lyana lembut lalu mengelusnya. Walau sedang memejam, ia tahu betapa sedihnya dua netra cantik itu. Menyakitkan memang jika harus keluar dari imajinasi sendiri dan tertampar realita sebenarnya.
“Aku selalu berharap kebahagiaanmu, Lyn. Aku ingin kau merasakan kebahagiaan sebenarnya,” lirihnya hampir tak terdengar.
Lyana tersenyum kecut. “Ya, kuharap juga kebahagiaan akan menghampiriku suatu saat, Ryl. Jika saat itu datang, aku akan bilang padamu kalau aku sangat bahagia,”
Aryla tersenyum tipis. Sahabat masa kecilnya yang tumbuh bersama dengannya tentu membuat ikatan lebih dari sahabat, mereka seakan bersaudara. Aryla melihat jelas bagaimana gadis itu terpuruk bahkan sesekali menangis sehancur-hancurnya, namun ia dapat merasakan perubahan dari dirinya. Kebahagiaan akan datang tak lama lagi.
“Sabarlah, Lyn. Itu akan datang tak lama lagi, bahagia yang selama ini tak kau rasakan dengan benar,”
*
*
“PAK!!! IKANNYA TERBENG GIMANA INI!!??!!”
“PAK IKANNYA JATOH— BASAH IHH!!!!”
“PAK IKANNYA NGELEPAR-NGELEPER DI LANTAI INI KENAPA???”
“Permisi, pak. Ikan itu pernah tidur nggak?”
Dari kejauhan saja, banyak yang prihatin melihat bapak pembimbing di pemancingan tersebut. Teriakan histeris para anak perempuan memenuhi kolam satu yang berisi anak kelas sebelas yang hampir semua anak tersebut hidup dengan kehidupan mewah.
Maka tak salah mereka sedari tadi berteriak saat cacing-cacing dipasang di kail, ketika umpannya tertarik, ataupun ketika ikan yang didapat malah meloncat ke arahnya.
Lyana meringis melihat beberapa orang berlarian keliling karna kaget terhadap ikan. Guru-guru bahkan pemilik pemancingan sendiri sudah menggeleng frustasi karna mengurus mereka, untungnya untuk tingkat tiga sendiri tenang walau sesekali terdengar teriakan juga.
Carla sendiri sedang berada di kolam empat, terpisah lumayan jauh dengan Lyana yang kolam dua sementara Aryla yang terpindah ke kolam tiga karena seorang adik kelas merengek ingin pindah tempat karna diganggu kakak kelasnya.
Lyana tidak terlalu tertarik dengan hal seperti ini, mengingat ia memiliki kenangan buruk dengan namanya kolam air seperti ini. Walau terlihat dangkal, tetap ada rasa segan di dirinya berdekatan dengan tepi kolam ikan tersebut.
Hela nafas kembali mencelos di celah bibir, ia bosan. Terlebih tak ada lawan bicara yang dapat diajak bersenda gurau ataupun berbincang ringan saambil menunggu waktu memancing habis. Sesekali ia meregangkan tubuhnya yang penat duduk di tanah dengan kaki tertekuk ke dalam yang lalu memejamkan matanya menikmati angina yang muncul sesekali.
“Sendiri saja, kak?”
Lyana masih setia memejam, seolah tak perduli dengan pertanyaan seseorang yang tiba-tiba berbicara dengannya. Balasan yang diberi pun hanya dehaman malas dengan sebelah tangannya yang menopang dagu.
“Pancingnya nanti kebawa ikan, lho kalau tidak diperhatiin,” Kembali dehaman halus membalas pernyataan orang itu.
“Wah, kakak lupa cara bicara?”
Lyana membuka kedua maniknya setengah, tidak bisakah ia ditinggalkan begitu saja seolah transparan?