“Bagaimana bisa hal seperti ini..”
“Bagaimana jika ia tidak bangun, apa yang akan kita lakukan..?”
“Ia pasti bangun, jangan bicara hal-hal yang buruk seperti itu,”
“Tapi.. Ia terlalu syok, tercebur di kolam tiga meter dalamnya. Bagaimana menurutmu?!”
“Ia pasti bangun, pasti.”
Hal pertama yang ia lihat adalah cahaya lampu yang menyilaukan kornea.
Lalu berikutnya teriakan histeris beberapa orang ketika ia melihat ke arah mereka, terlebih sosok lelaki yang menggenggam erat jemarinya yang menatapnya kosong.
“Lyn!!! Lyn kau dengar aku Lyn??!!?”
Dari gendang kanannya terdengar pekikan cukup keras. Wajah Aryla nampak kusut, matanya membengkak karna terlalu banyak menangis, dan tubuh yang gemetaran. Ia terlihat sangat ketakutan.
Lyana tak berucap sepatah kata apa pun selain memandang kosong dirinya. Tak beberapa lama, seorang dokter dan perawat masuk ke ruangan tersebut membuat semua orang di sekitarnya menyingkir dan memberi ruang pada mereka untuk memeriksa Lyana.
Ya, rumah sakit.
Aroma obat yang menguar kuat serta tusukan jarum di tangan kanannya, terlebih selang oksigen yang menyambung di hidungnya. Sepertinya ia benar-benar gawat setelah menyelam ke kolam renang saat prom kemarin.
“Kondisinya masih lemah, masih perlu pantauan untuk beberapa hari lagi. Jangan membicarakan hal-hal yang akan membuatnya stress, kami akan kembali nanti untuk memeriksanya kembali,” jelas dokter tersebut sebelum pamit undur diri dari ruang rawat.
“Lyn, bisa dengar papa?” tanya lelaki tua itu ketika kursi rodanya terdorong ke tepinya.
Hanya mengangguk pelan sebagai jawaban, binar matanya nampak kosong membuat semua orang di ruangan menatap sedih sampai terdengar isakan lirih di sudut ruangan. Ia ingin bicara namun entah kenapa rasanya berat sekali.
“Tak apa Lyn. Wajar kau merasa sangat sulit mengucapkan sesuatu, kau tidur untuk tiga hari,” tutur Ethan yang masih setia di samping kirinya sambil sesekali mengelus tangannya.
Tiga hari?
“A—pa yang ter—jadi?”
“Kau terdorong ke kolam, semua orang panik karena kau tak kunjung bangun setelah diberi pertolongan pertama, lalu kau segera dibawa ke rumah sakit,” jelas ayah. “Kau benar-benar membuat kami semua khawatir,”
Tersenyum lemah. “—Maaf,”
Ayres tersenyum samar. “Cepatlah sembuh, kau tak kasihan pada nenekmu yang menangisimu?”
Lyana terkekeh pelan lalu melempar pandang ke semua orang. “Maafkan aku menyusahkan kalian,”
“APAAN NGOMONG GITU, SINI CARLA TABOK!!!!”
“Lu mendingan cepet sembuh, Carla ga berenti nangisin lu tiga hari tiga malam,”
“Sumpah ya Lyn pas lu menang predikat Elegant Lady lalu kecebur, Zelina udah siap-siap buka heels buat lompat ke kolam,”
“Aryla juga, sampe kesandung pas lari ke kolam. Untung dia gak ikutan kecebur,”
“HEH, KALO KECEBUR KAN KAMU BISA IKUTAN NANGKEP?! Tapi Lyn, kamu bener-bener bikin jantung kami hampir copot,”
“Kamu gak bisa ditinggal bentar ya?”
Ia ingin tertawa, sungguh. Tapi tenaganya tak bisa menoleransi keinginan tawanya, ia benar-benar lemas untuk sekarang. Hanya bisa tersenyum mendengar ocehan-ocehan yang keluar saat sang papa telah pulang dari kamar rawatnya.
Mungkin ia masih diberi kesempatan untuk kembali.
“Makasih sudah nungguin,”
Semuanya tanpa terkecuali tersenyum lembut padanya. Ya, sebegitunya rasa sayang orang sekitarnya yang kadang tak disadari olehnya. Ia merasa begitu berharga disini, bersama mereka.
Brak.
“LYN!”
Teriakan diikuti suara debaman pintu rumah sakit mengalihkan perhatian mereka ke pintu masuk yang terdapat seorang gadis dengan nafas terengah-rengah dan menenteng keranjang buah di lengan.
“… Kak Zelina?”
“Aku langsung lari ke sini begitu dapat pesan kamu udah bangun,” Ia berjalan ke arahnya sambil meletakkan buah di atas nakas dekat tempat tidur. “Syukurlah kau sudah bangun,”
“Terimakasih sudah mengkhawatirkanku, kak,”
Zelina tersenyum lembut dengan tangan yang terulur mengusap helai rambutnya penuh sayang. Kelegaan mengisi hatinya, berhari-hari ia dirundung rasa ketakutan dan khawatir pada dirinya yang tak kunjung sadar. Ia benar-benar bersyukur.
Sempat berbincang beberapa saat sebelum Lyana tertidur saat sedang mendengar Leandro bercerita tentang malam prom saat ia meramaikannya dengan tarian maut yang menghebohkan pesta.
Zelina menatap Lyana yang tertidur pulas dengan Carla dan Leandro menjaganya dari luar kamar melalui kaca di pintu. Wajah tidurnya nampak lucu sehingga membuatnya tak bisa berhenti tersenyum sebelum ia berbalik dan menatap serius Aryla dan yang lainnya yang tengah menunggu di luar kamar.
“Bagaimana Cyara?”
Zelina mengurut kepalanya pelan, ia agak pusing mengurus banyak hal karna tragedi yang terjadi di prom. “Tidak sampai kepolisian, kami memanggilnya untuk rapat kedisiplinan dan memberikannya hukuman. Tapi aku sempat berbicara empat mata dengannya,”
Aryla mendecih ringan. “Tentu karena ibunya bukan?”
Hela nafas kasar keluar dari bibirnya. “Ya, ia tak terima. Ia terlalu membencinya, sehingga melakukan itu,”
“Dia benar-benar tak tahu malu,”