Suasana sidang cukup tegang sebab antara jaksa penuntut beserta pengacara adu mulut sepanjang sidang.
Lyana mengurut kepalanya pelan, pening karena perang kata yang terjadi terlebih ia ditatap tajam selingkuhan ibunya dari kursi terdakwa. Untung saja matanya tak menghasilkan cahaya laser, jika tidak sudah daritadi Lyana terbakar karena dari masuk ruang sidang sampai sekarang ia tetap menatap dirinya.
“Kami memiliki bukti dan saksi yang kuat untuk hal ini,” final jaksa penuntut yang kemudian kembali duduk tenang di tempat duduknya.
Jika dihitung dari sidang pertama dimana ayahnya drop, maka ini sudah sidang ketiga. Ia ingin cepat-cepat menyelesaikan hal ini, namun sepertinya sisi terdakwa memiliki banyak cara untuk mengelak yang entah siapa membantunya untuk itu.
“Kejadian ini sudah lewat tiga tahun lalu, banyak bukti yang bisa dipalsukan bukan?” ujar sang pengacara melempar umpan yang tentu membuat jaksa menggeram kesal.
“Korban memiliki masalah pribadi sehingga tak dapat langsung mengusut masalah ini ke jalur hukum, mereka pastinya ingin secepatnya ini diselesaikan namun waktu dan keadaan tak memungkinkan saat itu,”
“Ini sudah lama berlalu, bukti-bukti yang diajukan pun tak bisa diterima begitu saja, Yang Mulia,” pengacara tersebut menatap sang hakim.
“Sidang kali ini sampai disini dulu, kita akan melanjutkannya nanti dengan agenda mendengar dari sisi korban. Sampai jumpa dua minggu lagi,” ucap sang hakim sebelum mengetuk palu dan berlalu keluar dari ruang persidangan.
Lyana menghela nafas lega, badannya pegal duduk diam sejam lebih tiga puluh menit mendengar berbagai asumsi dan sanggahan yang terjadi sepanjang sidang. Ia menoleh ke sang nenek yang tersenyum padanya dengan sirat tatapan ‘Kau sudah bekerja keras hari ini,’
Baru saja ia ingin beranjak menghampiri neneknya, tangannya harus tertahan dengan genggaman erat dari seseorang.
“Ap— Tolong lepaskan saya,” seru Lyana yang segera dihampiri semuanya.
Andreas, suami Afrodita menatapnya nyalang. Petugas bergerak lambat sekali dalam hal seperti ini. “Kau benar-benar anak sial! Tak salah Dita sangat membencimu!!!”
Masih menggeliat dengan Ethan dan Sora berusaha memisahkan mereka. “Maaf, tapi aku juga membencinya. SANGAT!!!” teriak Lyana membuatnya sempat tertegun sejenak, Afrodita yang duduk diam di tempatnya pun melempar pandang padanya.
“Jika aku membuat daftar orang yang amat kubenci, maka wanita itulah yang menjadi urutan pertama,”
Mereka akhirnya terlepas dengan bantuan petugas. Pergelangan tangan Lyana nampak lecet dan memerah sebab dicengkram terlalu erat dengan kuku yang sempat tertancap disana.
“KAU AKAN MENYESALI INI!” raungnya berusaha melepaskan diri dari petugas. “SEHARUSNYA KAU TAK HADIR DI DUNIA!!! KAU HANYA PEMBAWA MASALAH!!! KAU TAK BER—”
PLAK.
“Tutup mulut tak beretikamu itu, lihat siapa yang harus menyesal sebab menghancurkan kehidupan seorang gadis yang bahkan sebenarnya tak ingin lahir dengan kondisi seperti itu,”
Gigi Lyana bergemeletuk, tangannya pun kebas sebab menampar kencang pipi lelaki tersebut. Pandangannya tak lepas dari Afrodita saat berucap demikian, ibunya itu pun hanya membuang pandangnya ketika merasakan tatapan amarah dan kecewa milik putrinya.
Lyana menarik diri sambil berusaha mengatur nafas, ia menatap Cyara yang duduk terdiam di kursi belakang. Tak sedikit pun ia bergerak saat sang ayah ditampar, ia benar-benar berubah dari dirinya yang sebelumnya.
“Harusnya kau pikirkan putrimu itu sebelum melakukan hal-hal keji seperti ini,” tutup Lyana sebelum beranjak keluar dari ruang sidang, meninggalkan Andreas yang masih berteriak memaki dirinya.
“Lyn, gimana nanti dia malah nekat ngelakuin hal buruk?” oceh Aryla khawatir, bisa saja sebab kejadian ini terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
Sang nenek mengelus bahu Aryla pelan membuat dirinya segera menatap nenek. “Tenanglah, Ryla. Kita hanya berharap bagian keamanan tidak lalai seperti tadi,”
Sora nampak mendecih. “Bahkan sudah ditahan seperti itu ia masih memberontak,”
“Dua minggu lagi bukan?” ucap Lyana begitu keluar dari pengadilan megah tersebut. “Lebih baik kita mempersiapkan semuanya, sepertinya mereka masih menyembunyikan sesuatu,”
Ethan mengangguk. “Ya, mereka masih memiliki sesuatu yang disembunyikan untuk dikeluarkan di sidang selanjutnya,”
“Nek, ayo pulang. Aku lapar sekali!” seru Lyana menarik sang nenek masuk ke mobil yang dibalas gelengan kepala darinya.
“Kalian semua makan di rumah nenek juga, ya! Harus, nenek maksa!”
Semuanya hanya bisa tersenyum pasrah dan mengangguk menyetujui permintaan— perintah nenek Lyana. Mobil hitam tersebut segera melaju meninggalkan kawasan pengadilan tanpa mengetahui ada yang memperhatikan dari kejauhan.
“Tunggu sedikit lagi, semuanya akan siap,”
*
*
Kedua meregang pelan sambil bersandar nyaman di sofa dengan secangkir the chamomile hangat dan manis. Sepasang irisnya menatap lurus ke arah foto keluarga yang terpampang jelas di atas TV dengan bingkai emas besar.
“Seandainya..”
Ia menggeleng samar, nyatanya membayangkan hal-hal dan berandai akan menyakiti dirinya saat kembali ke kenyataan bahwa ekspetasinya tak sesuai dengan realita yang dijalani.
Ia letakkan cangkir teh di atas meja dengan memori yang kembali memutar potongan gambar seperti film di dalam kepalanya. Kembali di masa dimana mereka masih piknik bersama ayah di belakang rumah walau berakhir ditinggal sebab pekerjaan yang menunggu, dimandikan sang nenek beserta kakek yang mengajaknya membaca, sang kakak yang selalu memarahinya jika terjatuh menuruni tangga, dan ibu yang selalu Ia tatap punggungnya.
Itu indah.
Sebuah kenangan yang terlampau indah, sempurna.
Menghela nafas samar kemudian beralih ke jam dinding yang baru menunjukkan pukul dua siang dan ia bosan. Sang nenek jarang di rumah akhir-akhir ini, selain sibuk mengurus ayahnya, neneknya jadi sering pergi ke perusahaan pusat keluarga yang dulunya jarang Ia kunjungi.
Sebenarnya bisa saja ia menunggui ayahnya, hanya saja neneknya melarang sebab Lyana benar-benar kehilangan berat badan setelah seminggu menunggu ayahnya terus menerus. Ia diperbolehkan mengunjungi sesekali saja, tidak sampai menginap di rumah sakit.
Setidaknya ia bisa tenang, ada ayah Ethan yang menungguinya sebab ia juga kepala rumah sakit sehingga masih sering datang ke sana juga ada seorang perawat yang diminta khusus untuk merawatnya.
Menarik tubuhnya dari sofa nyaman, tungkainya melangkah menuju pintu utama kemudian membukanya. Ia dudukan diri di bangku di teras sambil mengeratkan kain hangat yang ia pakai sedari tadi.
Akhir-akhir ini cuaca tak menentu. Jika kemarin panas terik sampai bisa memasak telur mata sapi rasanya, sekarang malah turun hujan deras. Banyak yang terjangkit penyakit sebab cuaca yang seperti ini, Lyana bahkan sudah lelah mendengar ceramah sang nenek agar ia menjaga kesehatannya.
Walaupun penglihatannya terbatas sebab tertutup kabut tipis dan air hujan, ia dapat melihat cahaya yang memancari dari arah luar halaman rumah yang kemudian meredup. Sontak Lyana berdiri dan segera memegang gagang pintu saat dirasa melihat seseorang berlari ke arahnya.
“LYN!!!”
Plak.
Bugh.