Universe.

Moon
Chapter #17

16.

Axel menyadari ada yang salah dalam hubungan kedua orang tuanya saat berusia lima tahun.

Masih terlalu kecil memang, namun mata Axel tak akan pernah salah. Ia tahu jika seharusnya sebuah keluarga harmonis bersama-sama dalam satu rumah, bukannya saling menghindari dan sering meninggalkan rumah.

Axel sedari kecil selalu diajak keluar. Saat bertanya kenapa tak mengajak sang adik, ibunya menjawab dengan acuh, “Adikmu tak suka keluar,”

Nyatanya saat akan ditinggal, adiknya menahan tangis melihat dirinya keluar dari rumah bahkan tak jarang memohon agar ikut. Itukah yang tak suka keluar?

Perlahan beranjak besar, Axel tahu bahwa orang-orang yang ditemuinya bersama sang ibu bukanlah teman biasa. Dilihat dari pakaian saja ia tahu bahwa itu orang-orang terpandang. Namun yang paling sering adalah mengajaknya pergi ke sebuah apartemen yang disana terdapat seorang gadis kecil bersama seorang pria.

Tak jarang ia memergoki sang ibu berpelukan, parahnya berciuman dengan pria tersebut. Axel memang tidak memerdulikan hal itu, ia memendam semuanya. Sampai di titik dimana ia kesal, ia membongkar semua itu pada ayahnya.

Ayres melepas kacamata yang menggantung di pangkal hidungnya saat sang anak melapor hal tersebut padanya. Ia berjalan lalu menepuk pelan kepala anak lelaki berusia sebelas tahun itu.

“Axel, papa tahu kau akan mengerti ini. Mamamu tidak mencintai papa, begitu juga papa,”

Laki-laki manis berusia sebelas tahun itu tertegun mendengar pernyataan sang ayah. Memang benar praduga yang ia miliki, keluarganya tak seindah yang dilihat orang luar.

Lyana yang saat itu polos dan mengetahui apa pun hanya bisa menangis saat sang ibu memarahinya untuk beberapa hal kecil dan kenakalan seorang anak muda, berbanding terbalik jika itu dirinya. Ia malah akan diceramahi sebentar lalu disuruh pergi, jika sekalipun ia mengulangi kesalahan yang sama ibunya tak akan pernah marah padanya seperti Lyana.

“Kalian hanya memiliki satu sama lain, papa harap kau selalu menjaga adikmu,”

Ibunya jarang berada di rumah membuat dirinya sering berbincang dengan sang ayah. Ayahnya sendiri sering mewanti-wanti banyak hal tentang sang adik dan ia tak merasa keberatan sedikit pun tentang hal itu. Sudah kewajiban seorang kakak melindungi adiknya, terlebih Lyana sangat rapuh.

“Apa Axel dan Lyn melakukan kesalahan jadinya papa dan mama tidak saling mencintai?”

Ayres yang sedang menyesap kopi pahitnya terdiam. “Bukan karena kalian, sayang,” Ia menarik nafas panjang, “Banyak hal yang tak cocok di antara kami,”

“Lalu kenapa kalian menikah?”

Senyum pahit hadir di bibirnya. Itu tak salah, malah terlampau benar. Jika memang banyak bagian diri yang tak cocok, kenapa mereka memaksakan diri bersama?

“Axel tahu bukan kalau nanti akan dijodohin?”

Kepala kecilnya mengangguk. “Iya, sama anak temen papa, ‘kan?”

“Ya.. Papa sama mama dulunya juga gitu. Nggak kenal, dijodohin terus disuruh nikah,” Ia menjeda. “Papa saat itu didesak nenek. Nenek cepet-cepet mau punya cucu, terus kalian deh yang datangnya,”

Axel tersenyum mendengarnya. Di ingatan terputar bagaimana antusias sang nenek dan kakeknya saat Lyn dan dirinya datang, tak dibiarkan istirahat barang sedetik mereka akan diajak bermain sepanjang hari.

“Apa pun yang terjadi kelak, itu salah papa dan mama, Xel. Kalian, anak-anak papa gak pernah salah,”

Dan seperti itulah akhir percakapan keduanya malam itu.

Waktu berlalu, Axel menginjak usia lima belas tahun saat pertama kali bertemu Zelina Eleadora. Matanya berbinar ceria, ia nampak benar-benar bersinar di mata Axel saat itu. Gadis yang akan tumbuh cantik dan anggun nantinya, pikir Axel.

Zelina orang yang baik dan perhatian juga selalu mengobservasi sesuatu sebelum melakukan hal yang dia inginkan. Untuk pertama kalinya, Axel merasakan rasa cinta hadir di dirinya yang sebenarnya masih ia tak mengerti apa itu.

Axel senang setiap kali Zelina berkunjung, Lyana juga kerap kali diajak berbincang dengan Zelina yang sesama gadis. Axel sendiri lega karena Lyana menerima Zelina, bahkan jadi lebih banyak tertawa dan berbicara.

Namun, kebahagiaan itu hanya sesaat.

“N-Nenek.. Papa… Lyn..” Bibirnya bergetar menatap bergantian antara ruang operasi dan sang nenek.

“Oh, Axel..” Ia mendekap erat cucu pertamanya itu. Axel terdiam dengan air mata menggenang di pelupuk sementara sang ibu menatap dingin ke arah ruang operasi.

“Apa ia akan selamat?”

Nenek tua itu menatapnya tajam. “Tentu saja, kau berharap dia tak selamat memangnya?”

“Ya.. Awalnya iya,”

Plak.

Axel terkejut, neneknya itu penyabar dan penyayang namun sekarang malah menampar kuat pipi ibunya. Tatapan penuh amarah dan kecewa memenuhi manik neneknya yang selalu menatap lembut dirinya dan Lyana.

“Jaga mulutmu! Kau benar-benar— Ah, tidak ada gunanya berbicara dengan orang sepertimu,” akhir nenek sambil membawa Axel menjauh dari dirinya.

Dan setelah kecelakaan itu, semuanya berubah drastis.

*

*

“Mm.. Anu..”

Lyana menoleh ke asal suara yang berasal dari arah kanannya. Nampak Axel berdiri di dekatnya membawa dua botol minuman di tangannya.

Keduanya sedang berada di taman rumah sakit dimana sang ayah dirawat. Suasana taman sendiri saat itu lumayan sepi mengingat waktu yang menunjuk jam makan malam, hanya ada suara makhluk malam dan dedaunan yang bergesekan ketika ditiup angin.

“…. Makasih,”

Kembali tenggelam dalam sunyi. Lyana enggan langsung meminum cairan di botol minuman tersebut, sementara Axel yang langsung menenggaknya sampai tersisa setengah. Gadis itu menggigiti bibirnya, menahan rasa canggung serta segala macam pemikiran yang memukul kepalanya.

Lihat selengkapnya