Sudah berlalu lima tahun sejak hari terakhir ia melihat punggung sang kakak di bandara.
Bahkan tanpa terasa, kuliah untuk mengambil sarjananya hampir usai. Ia tinggal mempersiapkan diri untuk wisuda kelak. Waktu memang berlalu terlampau cepat, banyak hal terjadi baik suka maupun duka.
Dua tahun kepergian sang kakak menuntut ilmu, Fryderica, neneknya menutup usia.
Kejadiannya ini cukup memukul untuk Lyana yang dirawat dan dekat dengan sosok tua itu. Tapi justru mengekangnya jauh lebih lama disini justru akan menyiksanya dengan sakit tua yang diderita.
“Lyn ku yang cantik.. Lyn ku yang baik, bahagia terus ya..”
Masih terngiang jelas kata-kata terakhir sang nenek sebelum akhirnya pergi selamanya dari sisi mereka.
Selama lima tahun itu pula, ia tahu kalau sang ayah sering mengunjungi ibunya di penjara. Entah apa yang diperbincangkan oleh mereka yang pasti ayahnya tak ingin memberitahu apa pun untuk Lyana, begitu juga ibunya saat Lyana sempat bertatap muka.
Hembusan nafas lelah serta secangkir kopi di tangannya tergenggam erat, sudah masuk musim penghujan dimana kapasitas langit mendung dan air yang turun semakin sering dan bertambah tiap harinya.
“Melamun apa?”
Suara seseorang memecah keheningan yang tercipta, ia menoleh sesaat dan membalas dengan mengendikkan bahunya sambil menyeruput kopinya selagi bisa menghangatkan tubuhnya.
“Bentar lagi kamu ulang tahun, mau hadiah apa?”
Lyana mencebik, kupingnya jengah mendengar pertanyaan yang sama dan selalu ia jawab dengan cara dan kata-kata yang sama tiap ditanyakan yaitu—
“Nggak mau apa-apa. Ethan, kalau kau berani bertanya lagi, jangan berani menemuiku seminggu penuh,”
Lelaki itu, Ethan hanya tertawa renyah sambil menduduki kursi di hadapan Lyana. Sesekali ia melihat sekeliling yang ramai akan orang-orang yang silih berganti duduk di café hangat tersebut, tempat yang sama saat ia minum kopi bersama Ethan bertahun-tahun yang lalu.
“Kenapa?”
Lyana menggeleng dan kembali meminum kopinya, Ethan masih menatapnya untuk beberapa lama. Lyana dan segala tentangnya adalah hal yang tak akan pernah membuatnya bosan ataupun sekedar lelah bahkan muak.
“Lyn,”
“Hm, apalagi?”
“Galak banget sama pacar sendiri,”
Pipinya bersemu. Hubungan yang dijalani dua tahun belakangan ini memang tidak disangka, pada akhirnya ia menerima eksistensi Ethan yang mengambil bagian dalam perjalanan hidupnya walau ada beberapa masalah kecil mengingat di awal kisah mereka Ethan mudah merajuk.
Bagaimanapun juga mereka sampai di titik ini, masih setia saling menggenggam, enggan melepaskan. Walau Lyana sering berdalih kalau malas mencari tambatan hati baru, jauh di dalam diri ia menyimpan rasa besar pada lelaki tersebut.
“Pengen kasih kado, Lyn..” agak merengek, Lyana segera melotot padanya.
“Berapa kali harus kubilang nggak usah!?”
“Sampai bilang ‘Iya’!”
“Nggak. Sekali nggak tetep nggak,”
“Tapi aku maksa nih, gimana dong?”
Lyana mengernyit heran saat ia nampak mencari-cari sesuatu di jaketnya. Nampak wajahnya berubah panik saat tak menemukan sesuatu yang dicari yang mendadak menjadi lega. Wajah penuh senyuman itu menatap Lyana bahagia membuat Lyana meremang. Ada yang tak beres.
“Apa, mau apa?”
“Lyn, may I ask you something?”
Matanya memutar malas. “What?”
“You are the love of my life, my precious, my Queen?”
“Hm, hm, hm. And then?”
“Mau jadi istriku?”
Lyana tersedak air ludahnya sendiri sampai terbatuk keras, seisi café melihat ke arahnya aneh yang tak lama kembali diabaikan lagi. Lyana menatap tak percaya dengan pertanyaan lelaki di hadapannya tersebut.
“You.. insane,”
“Yeah, because of you, right?”
“Tidak romantis sekali,”
“Pas nembak kamu juga sama kok. Malahan parahnya lagi makan bakso di warung pas itu,”
Lyana melempar tisu yang ia gunakan untuk mengelap tangan tadi ke arah Ethan yang langsung dihindari olehnya. Deretan giginya muncul sebab senyum kelewat lebar, di mata Lyana saat ini Ethan nampak konyol.
“Nggak tanya papaku gitu?”
“Udah, tenang. Restu sudah di tanganku,”
Lyana mendengus. “How if I said no?”
Ethan menyeringai. “It means, I should work hard again,”
Lyana menarik sudut bibirnya, membentuk senyuman kecil. “Will you waited for me?”
Tangannya diraih Ethan lembut yang sedang menyelipkan cincin ke jari manisnya. “Always,”
“Calon istriku emang lucu banget,”
“Calon-calon… Kerja dulu yang bener!”
“Iya.. Iya.. Aduh galak bener, calon..”
“Apa? Ngomong sekali lagi?”