Hujan turun deras sekali. Suara pertemuan antara butiran air dan tanah terdengar jelas dan mengema di ruangan besar rumah mewah tersebut. Lampu yang tak dinyalakan membuat suasana mencekam dan suram terasa jelas. Di sudut suatu ruangan gelap itu, nampak samar-samar seseorang—atau mungkin dua orang yang terbawa ke pembicaraan berat dan dingin.
Udara yang dingin tak diindahkan oleh sosok yang terduduk di lantai marmer itu sambil meneteskan air mata sambil menatap lawan bicaranya di ruangan gelap tersebut. Jika dilihat dari jarak dekat, matanya agak membengkak dan membentuk lingkaran hitam kentara.
“Tidak bisakah kita mencoba? Semua orang memiliki kesempatan, mengapa kau tak berikan kesempatan padaku?” Tanya pilu sosok yang terduduk di lantai itu sembari menarik pelan celana lawan bicaranya.
Lawan bicaranya; lelaki itu menatapnya sinis, “Apa yang bisa kuharapka darimu? Kau tak bisa melakukan apapun untukku,”
Isak tangis tertahan terdengar jelas di bibir bergetar gadis itu. Ia menatap pilu, “Kenapa begitu sulit bagimu untuk mengatakan ‘ya’ untukku? Semua yang kau inginkan selalu kulakukan, tapi apa ini sekarang?!” jelas gadis itu sambil menekan dalam dadanya, menahan sesak relung hatinya yang terluka.
Lelaki itu tertawa remeh lalu berjongkok di depan sang gadis. Tangannya mencengkram dagu gadis itu membuat mereka bersitatap. “Kau itu lemah dan tidak berguna. Bagaimana bisa aku memberi kesempatan lain padamu?”
Gadis itu mengerjap beberapa kali membuat tumpahan air mata memenuhi pipinya. Ia menatap kecewa lelaki yang amat berharga baginya itu, “Kau memang kejam, tak berperasaan,” cerca gadis itu.